2- Calon Istri Berbobot
“Tidak usah menikah dengan lelaki itu, menikah saja denganku. Aku akan menjagamu dengan baik! Kalau lelaki itu belum tentu!“ sahut Ali menyela perkataan yang akan keluar dari mulut Sofika.
Membuat Sofika dan kedua orang tuanya geleng-geleng kepala.
“Ali! Apaan sih! Aku tau aku ini cantik dan menarik! Tapi nggak usah juga kamu naksir Aku! Yang ada, Aku merasa aneh, iih.“ Sofika malah bergidik geli.
Mendengar perkataan Sofika, kedua orang tuanya tertawa ngakak.
Putrinya sungguh kepedean sekali, pikir mereka.
Padahal, mereka menjodohkan pun karena takut tidak ada yang mau menikahi Sofika, melihat dari tubuh gemuknya itu.
“Aku ini kurang apa?“ Ali memberikan jurus memelas.
Bukannya kasihan, Sofika malah semakin membulinya. Dengan menggeplak kepalanya lumayan keras.
“Fika, sekarang kamu buli aku. Tapi nanti, aku yang akan kamu cari untuk menjagamu,” rajuk Ali.
“Masa? Perasaan selama ini, Aku yang menjaga kamu,” cibir Sofika.
“Ya kan itu karena badanmu yang besar kayak king…” Ali menyengir menjeda perkataannya.
“Apa? Mau bilang Aku kingkong?“ marah Sofika.
“Kamu loh yang bilang bukan aku,” sahut Ali.
Dan akhirnya mereka berkelahi.
Kedua orang tua Sofika hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
“Pak bagaimana ini? Ibu jadi takut,” ujar Ibunya Sofika.
“Takut kenapa?“ tanyanya heran.
“Ali dan Fika sangatlah dekat, takut kalau sebenarnya ada rasa yang tidak mereka sadari. Dan saat mereka sadar, semua sudah terlambat,” jawab Ibu.
Suaminya diam memikirkan perkataan istrinya, yang dirasa ada benarnya juga.
Sehari sebelumnya
Rumah keluarga Faras.
Saat itu, Faras baru pulang kerja. Dia masih sangat lelah, ditambah perusahaannya yang kekurangan investor, dan saham yang turun cukup drastis.
“Menikahlah kamu dengan anak teman ayah, namanya Sofika. Dia itu pintar dan anak yang baik,” ujar Ayah Faras.
Faras yang baru saja duduk, jadi merasa kesal.
“Maksudnya apa yah? Perjodohan? Zaman udah modern gini,” cibir Faras tak suka.
Rasa lelahnya semakin berlipat-lipat, saat mendengar apa yang disampaikan oleh ayahnya.
“Iya perjodohan, dan ayah tak mau kamu menolaknya!“ tegas perkataan ayahnya.
Faras mengembuskan napas kasar.
Ibunya datang dengan membawa segelas teh hangat untuk Faras dan juga suaminya.
“Anak baru pulang, masa udah dibuat kesel Pah,” ujar istrinya sambil menyimpan teh hangat di atas meja.
Suaminya hanya berdecak kesal, kepada anak dan istrinya.
“Minumlah dulu,” ujar sang ibu.
Faras tersenyum, Ibunya memang seperhatian itu. Meski, di rumah sudah ada asisten rumah tangga.
Setelah Faras dan suaminya meneguk teh manis, Ibu Faras mulai mengatakan sesuatu.
“Menikahlah dengan Sofika, anaknya cantik, pintar dan anak sahabat mama papa. Ini Fotonya,” menyodorkan foto semasa Sofika masih sekolah dasar.
Orang tua Faras memang terakhir melihat Sofika saat usianya tujuh tahun.
Waktu Sofika masih imut dan unyu-unyu, meski sudah ada tanda-tanda akan menjadi anak bertubuh gemuk sih.
Faras menerima foto yang diserahkan ibunya.
Matanya terbelalak, dan tawanya pecah sampai matanya menyipit dan memegangi perut.
“Bwahahahha”
Ayah dan Ibunya saling tatap untuk sesaat.
“Kenapa tertawa?“ tanya ayahnya dengan heran.
“Ya ini,” menunjukkan foto yang diberikan ibunya tadi.
“Apa yang salah?“ tanya ayahnya lagi.
“Ayah dan ibu kira aku ini paedofil!“ sinis Faras, yang dianggap bodoh kedua orang tuanya.
“Jadi kamu pikir akan menikah dengan anak kecil itu?“ kekeh ayahnya, yang diangguki oleh Faras.
Sekarang kedua orang tuanya lah yang tertawa terbahak-bahak.
Dan sekarang, Faras yang jadi bingung.
“Kenapa kalian tertawa?“ dengan penuh keheranan, Faras bertanya. Dahinya sampai berkerut.
“Kamu itu sungguh bodoh Faras, ck ck,” decih ayahnya.
Disebut bodoh, Faras langsung memasang raut kesal.
“Aku ini magister yah,” sahut Faras dengan nada kesal, meski pelan.
Ibunya langsung menggeplak kepalanya, karena gemas.
Anaknya itu lulusan sekolah luar negeri, tapi untuk urusan perempuan memang kurang peka.
“Ibu!” Faras mengusap kepala.
“Ini Foto Sofika waktu masih tujuh tahunan, sekarang tentu saja usianya sudah dewasa. Sudah dua puluh empat tahunan.“ Ibunya geleng-geleng kepala.
Faras akhirnya merasa malu, tapi juga mengatakan kepada orang tuanya kenapa tidak memberinya foto terbaru.
Dan orang tuanya mengatakan, pihak Sofika tak ingin memberikan foto. Lebih baik langsung bertemu saja.
“Satu lagi Faras,” ujar sang ayah.
Faras menatap ayahnya penuh rasa penasaran.
“Kamu harus benar-benar menikahinya, teman ayah itu konglomerat, mereka sukses dan memiliki beberapa Resort di beberapa kota. Resort yang sedang hits sekarang adalah salah satu milik mereka,” lanjut ayahnya.
Faras menyipitkan mata. “Apa ini untuk uang?“ tertawa kecil, tak percaya mendengar perkataan ayahnya.
“Tidak sepenuhnya. Mereka berjanji akan membantu dengan memberi tambahan modal usaha, untuk perusahaan kita yang terancam gulung tikar,” desah ayahnya.
Faras membeku. Perusahaan yang dikelolanya memang sedang terancam bangkrut saat ini.
“Jika kamu menikah dengannya, bisnis kita akan lancar, dan hubungan persahabatan kami semakin baik. Kamu pun mendapatkan istri yang berbobot,” ujar ayahnya.
Setelah berpikir dengan matang, akhirnya Faras setuju. Dia yakin, anak seorang konglomerat pastinya berwajah cantik, karena terawat.
Rumah Sofika
“Fika, ayah dan ibu memilihkan kamu calon suami, mau kan menikahinya? Faras itu anaknya sahabat ayah dan ibu. Kami yakin, dia anak yang baik,” ujar ibunya dengan lembut sambil mengelus lengan anaknya yang besar.
Sofika menatap ibunya dengan tatapan sedih. “Apa Ibu pikir, Aku nggak akan laku karena tubuh gemuk ku?“ tanyanya.
“Astagfirullah, kenapa berpikir seperti itu sayang. Tentu saja tidak! Ibu hanya ingin kamu kenal dulu, suka atau tidak itu urusan kamu. Berjodoh ataupun tidak itu urusan Yang Maha Kuasa,” sahut Ibunya berusaha menjelaskan.
Sofika hanya tersenyum kecut.
Setelah berpikir semalaman, akhirnya dia memutuskan sesuatu.
“Mungkin ini yang terbaik. Tapi, apa lelaki itu mau dijodohkan dengan wanita bertubuh gemuk sepertiku? Apa dia tidak akan menghinaku?“ hatinya begitu resah, dia takut dipermalukan.
Dan, besok paginya, Sofika menghubungi Ali sahabatnya sejak kecil.
“Ali datang ke sini! Aku mau curhat!“
Tut, setelah berbicara, Sofika langsung menutup kembali ponselnya secara sepihak.
Sementara, di tempatnya berada, yaitu rumahnya, Ali mendengus sebal.
Dia misuh-misuh, kesal kepada sahabatnya itu. Telepon baru saja menempel di telinga, eh Sofika sudah bicara keras, lalu menutup panggilan tanpa membiarkan dirinya menjawab.
“Untung sayang,” gerutunya.
Ali yang sebenarnya sedang memeriksa naskah yang deadlinenya adalah sore ini, pun terpaksa menghentikan pekerjaannya.
Ali adalah seorang pemilik perusahaan penerbit buku, sekaligus merangkap editor di perusahaannya sendiri.
Ali membawa laptopnya, menuju ke rumah Sofika yang tepat di samping rumahnya.
“Pak Jujun!“ teriak Ali.
Pak Jujun adalah satpam di rumah Sofika.
“Eh, Ali, pagi-pagi udah main aja, hehehe,” sambil membuka gerbang.
“Kenapa? Bosen ya?“ kekeh Ali.
“Iya, bosen!“ canda Pak Jujun.
Mereka memang sudah akrab. Sejak Ali kecil, Pak Jujun memang sudah menjadi satpam di rumah keluarga Sofika.
“Kapan atuh Ali jadi bagian keluarga di rumah ini?“ goda Pak Jujun.
“Apaan sih Pak,” tapi pipi Ali sedikit memerah, dan bibirnya tersenyum.
“Ah, bapak tau kok, kalau sebenarnya Ali itu suka kan sama Non Fika,” godanya kembali, yang membuat Ali geleng-geleng kepala dan tertawa lepas.
Ali memang sosok ceria dan suka bercanda.
“Udah ah, masuk dulu. Takut diamuk,” bisik Ali dengan nada bercanda.
Pak Jujun hanya tersenyum dengan tatapan menggoda.
Ali mencari keberadaan Sofika, yang ternyata ada di belakang rumah. Dia sedang duduk di gazebo sambil ngemil keripik kentang kesukaannya.
Sedangkan orang tua Sofika sedang pergi, mereka harus mengurus segala sesuatu untuk menyambut kedatangan keluarga Faras malam ini juga.
“Wey, ngemil Mulu! Tambah bulat tuh badan!“ Ali menggeplak lengan Sofika yang besar itu.
Sofika sontak terkejut, sampai menyemburkan keripik yang ada di dalam mulutnya.
“Ali!“ pekiknya kesal, sambil mengambil air putih dan meneguknya. “Untung nggak tersedak,” gerutunya usai minum.
“Maaf, maaf. Tapi, aku heran kamu kerjanya ngemil mulu,” geleng-geleng kepala.
“Suka,” lalu Sofika menyuap lagi.
“Olah raga lah sedikit, biar berat badanmu nggak makin naik,” ujar Ali sambil duduk di samping Sofika.
Dia terkekeh, melihat pipi Sofika yang menggembung karena penuh keripik.
Sofika mendengus.
“Aku mau dijodohkan,” setelah mulutnya kosong, karena keripik sudah ditelannya.
“Hah! Apa!“ Ali memekik kaget, dia sampai mengguncang-guncang tangan besar Sofika.
“Ish, biasa aja kali!“ Sofika menepis tangan Ali yang terus memegang lengannya.
“Itu bohong kan?“ tanyanya dengan berapi-api.
“Benar!“ Sofika mendelikkan matanya.
“Sama siapa? Kapan? Aku harus tau seperti apa orangnya! Aku tak mau yang menjadi suamimu orang jahat!“ Ali kembali berkata dengan menggebu-gebu.
“Anak sahabat Ayah dan Ibu, nanti malam katanya Kami akan dipertemukan,” sahut Sofika santai.
“Apa kamu senang dijodohkan?“ menatap Sofika dengan tatapan tak percaya, sahabatnya itu terlihat santai.
“Biasa aja, tapi kalau ternyata orang itu ganteng, dan keren, aku nggak akan nolak, hehehe.“ Sofika menyengir.
“Ck, sadar diri. Mana ada cowok ganteng dan keren mau sama cewek bulat kayak kamu,” ujar Ali dengan tatapan mengejek.
“Kamu sedang mengejekku kah?“ mata Sofika melotot.
Ali hanya tertawa.
Dan begitulah akhirnya, Sofika dan Faras pun dipertemukan.
Sepulangnya dari rumah Sofika, Faras menghempaskan tubuhnya di atas sofa di ruang keluarga.
Tawanya terdengar menggelegar.
“Kamu kenapa?“ tanya ayahnya.
“Iya, nggak nyangka aja akan dapat calon istri berbobot seperti kata ayah dan ibu,” jawab Faras, dengan penekanan pada kata berbobot.
Ya, calon istrinya benar-benar sungguh berbobot!
Dia tertawa lagi usai berkata.