1 - Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

1383 Words
1- CINTA BERTEPUK SEBELAH TANGAN “Faras, ayo kenalkan gadis cantik ini namanya Sofika, panggil saja Fika. Dia calon istrimu,” ujar sang Ayah dengan raut bahagia. “Hah,” tentu saja Faras terkejut luar biasa, saat melihat sang calon istri yang bentukannya bulat berisi seperti bola. Faras langsung terkekeh geli, membayangkan dirinya menikah dengan wanita gendut yang ada di hadapannya ini. “Apa tidak salah, jadi Aku akan menikahi buntelan kayak Dia,” rasanya Faras seolah sedang bermimpi. Dia menelan salivanya beberapa kali. Bukan karena tergoda, tapi merutuki nasib yang menurutnya buruk. “Jadi, Dia calon suamiku,” berbeda dengan Faras, Sofika begitu memuja Faras saat awal bertemu. Bagaimana tidak, pria itu tinggi, tampan dan mapan. Dengan raut bersahabat dan sikap yang sopan. “Apa dia serius akan menikahi Kamu, Fika.” Ali merasa tak percaya, Faras yang tampak sempurna benar-benar mau menikahi sahabatnya itu. Mendengar bisikan Ali, Sofika mencubit lengan sahabatnya itu cukup keras. “Iya, iya, Aku tau Kamu itu sebenarnya cantik. Tapi sayangnya hanya Aku yang sadar itu,” bisik Ali kembali. “Siapa bilang, gendut-gendut gini Aku tuh banyak yang naksir,” balas Sofika dengan berbisik pula. Sementara Ali dan Sofika terus saling berdebat dengan berbisik-bisik. Faras menatap mereka dengan ilfil. Dia menganggap, Ali menyukai gadis bertubuh besar alias gemuk itu. “Rupanya ada ya yang naksir cewek gendut kayak dia,” gumamnya dengan geli, diiringi gelengan kepala. “Ekhm, Fika. Calon suamimu bisa kabur, kalau Kamu malah asyik dengan Ali.“ Ibunya sampai merasa gemas melihat anaknya yang malah saling sikut, dan cubit dengan Ali, tetangga sekaligus sahabatnya. “Eh, hehehe.“ Fika menyengir malu. “Perkenalkan dirimu Nak,” itu adalah suara ayahnya. “Iya, Ayah,” sahut Fika patuh. “Fika,” sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum malu. Tapi, Faras masih diam menatap tangan Sofika yang menggantung di udara. “Ini tangan gadis, atau tangan gajah. Pada buntet begini, yang mana jari telunjuk dan yang mana jempol? Semuanya mirip begini,” dalam hatinya, Faras tertawa geli. “Faras, itu!“ Ibu Faras, menyikut lengan anaknya itu pelan, dengan mata memberi isyarat agar menerima jabatan tangan Sofika. “Eh, ekhm. Iya Bu,” dengan malas, Faras menerima uluran tangan Sofika. “Faras,” ujarnya, dengan mata yang menatap tangannya yang hampir tenggelam dalam genggaman tangan bulat-bulat Sofika. “Gila, Aku beneran bakal menikahi dia kah?“ pekik Faras dalam hati. Sofika tersenyum senang dengan mata berbinar, “ah Dia ganteng banget, suaranya juga lembut dan senyumannya mengandung madu,” jerit Sofika dalam hati. “Ekhm, ekhm,” yang berdehem adalah Ali. Sofika mendelik jengkel kepada Ali. Mengganggu saja! Jabatan tangan berakhir. Acara dilanjutkan dengan jamuan makan malam, kemudian setelahnya dilanjutkan dengan berbincang hangat sambil ngopi. Saat ini, Sofika dan Faras duduk berdua di atas bangku yang ada di halaman belakang rumah mewah ini. Hanya lampu taman yang menghiasi. Langit tampak cerah secerah hati Sofika saat ini. Berbeda dengan Sofika, hati Faras tak karu-karuan. Masih tak percaya kalau dirinya akan mempunyai istri wanita yang sebaliknya dengan tipenya. Gadis tipenya adalah cantik, seksi dan pintar. Tapi yang sekarang ada di sampingnya adalah gadis yang menurutnya tidak cantik, tidak seksi, ya meski katanya pintar sih. Huuh, Faras membuang napas kasar. Keduanya masih saling diam. “Ekhm, menurut Kamu bagaimana?“ Faras memulai obrolan yang canggung ini. “Apanya?“ tanya Sofika dengan bingung. “Katanya pinter, tapi mengobrol kayak gini aja nggak nyambung,” cibir Faras dalam hati. Dia semakin tak suka saja dengan perjodohan ini. “Perjodohan kita. Aku yakin kalau Kamu nggak mau kan menikah denganku.“ Faras menoleh ke arah gadis gendut di sampingnya ini. Menatapnya sebentar, dan dalam hatinya berharap agar Sofika menolaknya. “Oh perjodohan Kita. Tentu saja, Aku mau. Aku menerimamu, jadi Kamu nggak perlu sedih karena takut ditolak ya,” dengan tanpa tau malu dan penuh kepercayaan diri, Sofika berkata. Dia memang perempuan yang penuh rasa percaya diri, meski tubuhnya gempal. “Apa!“ rasanya kepala Faras sampai berdenyut mendengar jawaban dari Sofika. “Apa-apaan si gendut ini.“ Faras hanya mampu mengembuskan napas kasar secara perlahan, dan mencibir dalam hati. “Maksud Aku, kita baru pertama bertemu. Belum saling kenal, dan…” “Tak masalah, setelah menikah Kita bisa saling kenal,” potong Sofika. Faras sampai berdecak kesal, tapi hanya mampu dalam hati saja. Dia selalu menjaga imejnya sebagai pria ramah dan sopan santun kepada siapa pun, termasuk wanita gendut yang seenaknya main potong perkataannya. “Iya, iya. Tentu saja,” akhirnya Faras pasrah saja. Sofika tersenyum senang dengan lebar, sampai matanya nyaris tertutup karena pipi cabinya itu. “Kalau tidak butuh tambahan modal, mana mau Aku menikahi gajah bengkak kayak dia,” decih Faras dalam hati. Dalam pertemuan ini, Sofika terus saja berbicara panjang lebar dan menceritakan banyak hal. Sedangkan, Faras, Dia hanya menanggapi dan menjawab seperlunya disertai senyuman palsu yang ia paksakan. Dia sama sekali tidak tertarik dengan calon jodohnya yang punya berat badan delapan puluh kilogram dengan tinggi hanya seratus lima puluh lima Senti saja itu. “Apa kamu menyukaiku?“ Faras berharap jawabannya tidak. Sofika tertawa renyah. Ali yang mengintip sejak tadi, dia geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Faras untuk Sofika. “Tentu saja Fika suka Kamu, kalau tidak sudah pasti Dia akan menolakmu,” gerutu Ali dalam persembunyiannya. Saat melihat tawa Sofika, dia menatapnya dengan terpana. “Ah tawamu sungguh manis,” gumam Ali. Tentu saja tawa itu bagi Faras sangat jelek sekali. “Ck, baru sekarang ada wanita tertawa dengan seburuk ini.“ Faras menatapnya geli. Dia jadi membayangkan, saat harus setiap saat bertemu dengan Sofika yang bertubuh gempal. “Iih,” bergidik. “Ada apa? Kenapa bergidik?“ Sofika yang sudah menghentikan tawanya pun bertanya. “Eh, ekhm tak apa, heheh,” segera membuang wajahnya ke arah lain. Eh tanpa sengaja melihat kepala seseorang yang sedang nongol di balik pohon cemara yang berada tidak jauh dari bangku tempat mereka duduk. “Hantu!“ pekik Faras, karena terkejut. Ali yang memang sedikit penakut dan tidak suka film horor, langsung melompat keluar dari persembunyiannya dan berlari menghampiri tempat duduk Faras dan Sofika. “Hantu, mana hantu! Ada hantu!“ dengan terbirit-b***t ketakutan, mukanya sampai memucat. Sementara Sofika terkejut untuk sesaat, dia sempat berdiri. Tapi, hanya sekejap saja. Lalu duduk kembali. “Mana ada hantu di sini, Kak Faras,” kekehnya. “Dia kali hantunya,” menunjuk Ali yang sudah sampai di hadapan mereka dengan ngos-ngosan. Faras merasa malu mendengar perkataan Sofika. Lagian kenapa Ali ada di sana segala? Apa sedang mengintip? Dasar kurang kerjaan! Faras geleng-geleng kepala. “Kamu mengintip?“ tanya Sofika menatap Ali dengan kesal. “Heheh, iya. Hanya untuk memastikan keamanan gadis secantik kamu saat bersama dengan lelaki asing,” jawab Ali sambil melirik Faras sekilas. Faras sampai ternganga mulutnya, bahkan tawanya sampai pecah. “Cantik katanya? Cantik dari Hongkong! Cantik apanya! Gendut begitu! Ambil saja kalau kamu mau! Eh jangan-jangan, Aku butuh uang keluarganya,” teriak Faras dalam hati. Ali dan Sofika saling tatap untuk sekilas, kemudian menatap Faras dengan intens. Menyadari kedua manusia itu tengah menatapnya lekat, Faras segera berdehem untuk mengatur mimik wajahnya agar terlihat biasa saja. Sekarang, Dia sudah lebih bisa menguasai diri. “Ada apa?“ tanyanya dengan nada lembut. Membuat Sofika semakin jatuh cinta dan klepek-klepek saja. Ali yang sudah tau betul dengan semua sikap dan raut wajah sahabatnya itu, menggelengkan kepalanya geli. Dia tidak menyukai Faras sebenarnya, karena merasa pria itu tidaklah tulus kepada Sofika sahabatnya. “Ish, ganjen banget sih Kamu.“ Ali menyikut pelan lengan Sofika. “Iri,” dengan mendelikkan mata, Sofika menjawab Ali. “Ternyata sudah semakin larut, maaf ya. Karena, Saya harus segera pulang,” pamit Faras dengan lembut dan seulas senyuman hangat. “Iya silakan, bagus itu,” bukan Sofika yang menjawab, melainkan Ali. Faras menatap jengah Ali. “Maafin temanku ini ya, dia memang rada-rada orangnya,” dengan cepat Sofika menyahuti. Ali hanya mendengus tak suka mendengar perkataan Sofika. “Tak apa, Fika,” ujar Faras dengan lembut. Dan, Sofika mengantarkan Faras sampai ke teras. Orang tua Faras pun ternyata sudah menunggunya di teras. Mereka pulang. Sepulangnya Faras dan keluarga, orang tuanya mulai bertanya. “Bagaimana, Kamu suka Faras? Kamu mau menikahi dia?“ itu adalah suara Ayahnya. Sofika tersenyum malu-malu, mulutnya sudah terbuka hendak berkata. Tapi, Ali menyelanya dengan perkataan yang membuat seluruh keluarga dan juga Sofika geleng-geleng kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD