SUDAH waktunya makan siang, tapi Devan masih belum beranjak dari kursinya. Ia masih memeriksa beberapa berkas yang harus ditandatanganinya sampai suara ketukan terdengar. “Ya, masuk,” ucap Devan dari dalam tanpa mengalihkan
pandangan dari berkas yang dipegangnya.
“Hai, Sayang ….” Terdengar suara wanita yang berjalan pelan menuju ke arahnya.
Devan tersenyum melihat siapa yang menyapanya. “Jihan?” Ia tidak percaya akan penglihatannya.
“Surprise.” Jihan segera memeluk Devan, menarik pria itu agar duduk di sofa dan mulai mencium pipi dan leher Devan dengan rakus. Ia tidak bisa mencium bibir Devan karena laki-laki itu tidak pernah mengizinkannya. Namun, ciuman yang dilancarkan Jihan segera berhenti begitu Devan sedikit mendorongnya untuk menjauh.
“Aku kangen sama kamu, Baby,” rengek Jihan manja denganmasih memeluk Devan.
“Kamu kapan datang? Kenapa tidak mengabariku kalau mau datang?” Devan menyelipkan rambut ke belakang telinga Jihan.
“Tadi malam.” Jihan hendak mencoba mencium bibir Devan, tapi tangan pria itu mencegah gerakan Jihan yang langsung mencebik. Devan selalu begitu. Ia juga tidak bisa kembali mencium Devan di titik lain selain bibir karena pria itu hanya mau dicium satu kali, setelah itu tidak sama sekali.
“Kamu tidak berubah. Aku, kan, kangen sama kamu.” Jihan mengalungkan tangannya di leher Devan manja. “Kamu selalu begitu, harus aku yang mulai.” Bibir Jihan yang semakin cemberut membuat Devan tertawa geli.
“Terlalu banyak ciuman nanti malah jadi bosan,” ucap Devan yang membuat Jihan mencoba tersenyum walau pahit.
Sementara itu, Rini dan Mila baru tiba di kantor Devan. Mila sengaja memasak makanan spesial, jadi ia ingin suami dan putranya menikmati makan siang buatannya. Rini juga banyak menyumbang ide untuk resepnya.
Tiga puluh menit yang lalu, sebelum tiba di kantor, Rini yang sedang membantu Bi Sumi beres-beres setelah memasak diminta Mila untuk ikut ke kantor mengantar makan siang. Sebenarnya Rini malas, tapi menolak juga tidak enak.
Setelah mencuci muka, memakai kaus, celana jeans, dan sneakers, Rini hanya memakai riasan tipis liptint di bibir dan diakhiri dengan bedak bayi di wajahnya.
“Rini … kamu antar ini ke ruangan Mas Devan, ya. Mami mau ke ruangannya papi,” ucap Mila saat sudah berada di dalam kantor yang dibalas anggukan patuh Rini.
Rini berjalan mencari ruangan Devan. Ia mengutuk dirinya yang tidak bertanya lebih dahulu pada Mila di mana ruangan Devan. Rini bingung sendiri mencari ruangan itu.
“Mencari siapa?” Satu suara mengagetkannya. Berdiri di sampingnya seorang pria dengan senyuman bagai gula.
“I-itu cari ruangan Pak Devan,” ucap Rini kaget.
“Oh … kamu siapanya?” tanya si pria lagi. “Oh … kamu pengantar makanan, ya?” tanya pria itu cepat sebelum Rini sempat menjawab.
“Iya … jadi, di mana ruangan Pak Devan?” Rini mulai tidak sabar. Ia sengaja mengiakan tebakan pria di depannya daripada terus bertanya.
“Kebetulan saya mau ke sana, jadi ikuti saya saja.”
Rini melangkah mengikuti pria yang tidak dikenalnya itu menuju ruangan Devan. Saat berada di dalam lift, si pria asing terus saja bicara. Entah apa yang dibicarakan karena Rini tidak fokus mendengarkan dan hanya mengangguk-angguk saja.
Tiba di depan ruangan Devan, tanpa mengetuk, si pria segera masuk diikuti Rini yang refleks menutup matanya dengan satu tangan saat melihat ada wanita yang sedang memeluk Devan di sofa.
“Halo, Jihan … kapan datang? Maaf, aku ganggu.” Pria itu tersenyum, lalu dengan santainya duduk.
Devan menatap ke arah Rini. “Ada apa?” tanya dia tanpa basa-basi.
“Ini disuruh Nyonya,” jawab Rini yang lalu meletakkan lunch box di atas meja. “Saya permisi dulu.” Rini hendak berbalik pergi.
“Tunggu!” Suara wanita yang duduk di samping Devan. “Dia siapa?” tanya si wanita sambil menatap Devan.
“Dia ….”
“Saya pembantu di rumah Pak Devan,” sela Rini cepat sebelum Devan selesai menjawab.
Devan hanya melongo mendengar jawaban refleks dari Rini.
Padahal ia mau bilang kalau Rini saudara jauhnya.
“Oh … kirain pengantar makanan tadi.” Laki-laki yang mengantar Rini ke ruangan Devan juga ikut berbicara.
“Saya permisi,” ucap Rini lagi, lalu buru-buru pergi.
“Hati-hati di jalan.” Devan bersuara juga sebelum Rini hilang di balik pintu.
Rini menarik napasnya lega setelah keluar dari ruangan Devan. Ia tidak menyukai tatapan wanita yang bersama Devan. Angkuh dan terkesan meremehkan. Rini menoleh ke sana kemari mencari seseorang yang akan turun juga.
“Permisi, ada yang bisa dibantu?” tanya seorang wanita cantik dengan sangat ramah.
“Eh … iya itu … saya mau turun ke bawah, tapi saya bingung bagaimana memencet tombol yang ada di dalam lift. Maklum saya dari kampung.” Rini menjelaskan sambil tertawa, lalu menggaruk rambutnya yang tidak terasa gatal.
Perempuan di depannya juga tertawa. Sangat cantik. “Ayo, mari saya antar,” ucap perempuan cantik itu, lalu berjalan ke arah lift. Rini mengikuti. Sepertinya ia harus banyak googling atau melihat tutorial. Hidup modern ternyata susah juga.
“Terima kasih banyak, Kak,” ucap Rini tulus pada perempuan yang telah membantunya.
“Tidak apa-apa, santai saja.”
“Nadine?” Satu suara terdengar memanggil seseorang. Tampak Mila berjalan ke arah mereka. “Halo, Sayang … apa kabar?” Mila segera memeluk perempuan yang dipanggil Nadine itu.
“Kabar baik, Tante, senang jumpa Tante di sini.” Nadine tersenyum manis.
“Kok, bisa sama Rini?” tanya Mila sambil berpaling ke arah Rini.
“Oh … kebetulan tadi saya juga mau turun, jadi kami searah,” jawab Nadine ramah.
Mila manggut-manggut tanda mengerti. “Kapan-kapan main ke rumah, ya. Semoga kamu bisa tahan menghadapi sikap Devan yang terkadang super menyebalkan.” Mila tertawa pelan mengingat putra sulungnya itu.
“Baik, Tante, kapan-kapan saya ajak mama juga ke rumah.” Nadine tersenyum lagi. “Saya sekretarisnya, jadi mau tidak mau harus tahan akan sikapnya.” Nadine dan Mila kompak tertawa. Rini hanya mendengarkan dua orang yang sepertinya sedang reuni itu sambil netranya mengitari seluruh gedung. Mengagumi sekaligus membandingkan penampilannya yang lusuh dengan orang-orang yang lalu-lalang dengan tampilan
elegan.
“Nah … Rini, makan siang Mas Devan sudah kamu antar, ‘kan?” tanya Mila pada Rini akhirnya.
“Sudah, Nyonya,” jawab Rini kalem.
“Hmm … anak ini, susah sekali disuruh panggil mami.” Mila protes karena Rini kembali lagi memanggilnya nyonya sedangkan Nadine heran melihat kedekatan Rini dan Mila.
“Jangan heran begitu. Ini perkenalkan, namanya Rini, ia anak angkat tante.” Ucapan Mila yang memperkenalkan Rini sebagai anak angkat membuat Rini melongo sedangkan Nadine menyodorkan tangan pada Rini dan mengucapkan salam kenal. Setelah basa-basi sejenak, Mila dan Rini berpamitan pada
Nadine.
****
Malamnya di kediaman keluarga Devan, seperti biasa Rini bermain bersama kucing gembulnya setelah membantu Bi Sumi beres-beres. Terdengar ketukan dari pintu kamarnya. Rini segera bangun dari duduknya dan membuka pintu. Tampak Devan berdiri di depan pintu, lalu menyodorkan sesuatu pada Rini. Tanpa mengambilnya, Rini bertanya, “Ini apa, Pak Devan?”
“Ini ponsel, ponselmu retak karena ikut jatuh dari pohon, kan, kemarin?”
Rini mengerjap. Dia bahkan nyaris lupa keretakan di ponsel pintar jadulnya karena jatuh dari pohon. Belum sempat Rini menolak, Devan mengambil tangan Rini agar segera mengambil apa yang ia berikan.
“Aduh … tidak usah, Pak Devan. Toh, ponsel saya masih bisa digunakan walau retak.” Rini menolak dengan halus.
“Pakailah.” Devan pergi tanpa membalas lagi perkataan Rini. Saat Devan pergi, Rini membuka ponsel yang diberikan Devan. Ia meringis sambil memerhatikan ponsel pintar keluaran terbaru yang pernah ia lihat saat googling.
Dengan langkah cepat, Rini segera keluar kamar menuju ke kamar Devan, mengetuknya pelan. Tidak berapa lama, si empunya kamar muncul.
“Saya tidak bisa menerima ponsel ini. Terlalu mahal untuk saya pakai. Toh, saya hanya pakai buat lihat-lihat resep makanan atau nonton drakor terbaru sama lihat video saja.” Rini berbicara tanpa jeda, lalu menyodorkan benda itu pada Devan.
“Pakai saja, siapa tahu masakanmu jadi lebih enak karena pakai ponsel yang bagus untuk googling resep baru.”
“Tapi ….”
“Sudahlah, pakai saja. Kalau suatu saat kamu ada uang, ganti saja ponsel itu dengan uang. Anggap saja aku memberikan pinjaman.” Devan berbicara dengan tenang. “Satu hal lagi, kalau kamu melihat aku sedang bersama teman wanitaku seperti saat di kantor tadi, jangan bilang pada mami atau dia bakal heboh sendiri.” Devan hampir lupa menyampaikan.
“Jadi, Bapak nyogok saya ceritanya?” ledek Rini pada Devan setelah tahu ‘fungsi’ ponsel baru ini.
“Terserah bagaimana pendapatmu, anggap saja begitu.” Setelah berbicara, Devan masuk kembali ke kamar dan menutup pintu.
Rini memandang kotak ponsel di tangannya. Biarlah, ia akan memakainya terlebih dahulu. Membaca resep menggunakan ponsel yang retak memang tidak nyaman. Jika obat tutup mulutnya sebagus ini, kapan-kapan ia perlu mengambil gambar jika Devan sedang bersama seorang wanita. Sepertinya mengancam seorang Devan terdengar mengasyikkan. Rini tersenyum jail sambil berjalan kembali ke kamarnya.