Secret Marriage 5

1210 Words
SETELAH dua minggu berlalu, akhirnya kaki Rini sembuh. Ia malas jika hanya duduk tanpa beraktivitas. Setiap hari hanya makan dan minum tanpa mengerjakan apa pun membuatnya malu. Walau Bi Sumi atau suaminya tidak mempermasalahkan, Rini tetap saja risi. Apalagi kemudian Bi Sumi berkeinginan untuk membiayai kulian Rini, tapi Rini masih belum mau meneruskan kuliah. Ia ingin mengambil kursus memasak atau penata rias. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Rini bergegas mengganti pakaiannya selesai salat subuh karena ingin mengepel lantai. Walau sudah dilarang oleh Bi Sumi karena kakinya baru sembuh, Rini enggan peduli. Dia harus tahu balas budi. Sebenarnya Bi Sumi sudah mengajarkan Rini menggunakan robot vaacum, tapi ia malas memakainya karena ingin menggunakan tenaga untuk membersihkannya. Agar berkeringat dan sehat! Selesai membersihkan seluruh ruangan dan kamar, Rini masuk ke dalam kamar Devan. Pelan-pelan ia buka pintu kamar Devan. Begitu pintu dibuka, menyeruak aroma kamar yang manis—entah campuran apa—dan Rini menyukainya. Rini masuk, tapi tidak melihat Devan karena sedang lari pagi. Ia membersihkan kamar Devan terlebih dahulu sebelum mulai mengepelnya. Kamar Devan sangat rapi, sepertinya pria itu tidak menyukai suasana yang berantakan. Rini mengepel semua ruangan hingga terlihat sangat bersih, lalu mengambil ember air pelnya dan membawanya turun dari tangga. Begitu tiba di bawah, pundaknya disentuh seseorang yang membuatnya kaget sehingga refleks berbalik dan menyiramkan air bekas mengepel yang dipegangnya hingga mengenai wajah dan badan orang yang mengagetkannya. Saat melihat siapa yang sudah dibuatnya basah, Rini segera berlari. “ARINI!!” teriak Devan kencang. Rini sudah tidak memedulikan teriakan di belakangnya. Ia bersembunyi di balik pintu sambil melihat Devan yang basah kuyup bekas air pel. “Keluar dari persembunyianmu, kamu harus tanggung jawab sudah membuatku basah kuyup. Cepat ambilkan handuk di kamar!” perintah Devan yang membuat Rini pelan-pelan keluar dari persembunyiannya. Bi Sumi yang melihat dari balik pintu segera kembali ke belakang karena ia berpikir akan terjadi perang dunia. Rini segera melesat meninggalkan Devan yang menatapnya dengan tatapan mematikan. Tidak butuh waktu lama bagi Rini untuk kembali dan memberikan handuk pada Devan. Tanpa bicara, pria itu menuju ke kamar mandi belakang. Rini masih mematung di tempatnya hingga Devan keluar kamar mandi. Rini tidak berkedip menatap ke arah Devan yang hanya mengenakan handuk. Melihat tubuh atletis Devan dan roti sobek suami rahasianya membuat Rini menelan ludah beberapa kali. “Oh, eotteoke … itu kenapa indah?” gumam Rini dalam hati dengan matanya yang masih belum berkedip hingga Devan berdiri di depannya. “Cepat kamu bereskan air yang menggenang sebelum ada yang menjadi korban lagi,” ucap Devan tepat di depan wajah Rini yang refleks membuat gadis itu mundur dan sadar. “I-iya, Pak Devan,” ucap Rini pelan, entah didengar atau tidak oleh Devan yang sudah berjalan meninggalkannya. Setelah Devan hilang dari pandangan, dengan cepat Rini menepuk keningnya dan segera membereskan kekacauan yang sudah ia buat. Kemudian, Rini segera menuju ke dapur, mencuci tangan dan membantu Bi Sumi mempersiapkan sarapan. Rini sendiri sedang malas sarapan nasi dan hanya menyantap roti yang diolesi selai kacang juga minum segelas air putih hangat. Setelahnya, ia segera duduk di bawah pohon taman belakang, menikmati mentari yang sudah mulai panas. “Rini!” panggilan Mila membuatnya segera berlari kecil menghampiri. Tampak Mila menggendong kucing anggora cantik. Rini senang melihatnya. “Kamu suka kucing?” tanya Mila yang dibalas anggukan cepat Rini. Wanita itu tahu karena beberapa kali Mila melihat Rini sering sekali memberikan sisa makanan pada kucing- kucing tetangga. “Ini, tolong kamu pelihara baik-baik. Ini anak kucing milik almarhum neneknya Devan. Kebetulan sudah besar dan sudah lepas dari induknya, jadi mami minta dari adik mami yang memeliharanya,” ucap Mila yang ditanggapi Rini dengan heran karena Mila menyebut kata mami untuknya. “Loh, kok, diam begitu?” tanya Mila yang heran melihat Rini bengong. “Itu ... kok Nyoya tadi bilangnya Mami ke saya?” tanya Rini memastikan. “Iya ... terus? Kamu panggilnya mami saja seperti Devan, Ian, dan Freya. Panggil papi juga begitu, ya. Kan, mami enggak punya anak cewek, jadi Rini mami anggap seperti anak bungsu mami saja.” Mila menatap Rini dengan sayang. Pasti berat sudah harus menjadi yatim piatu di usia yang semuda ini. Apalagi Rini sudah kehilangan ibunya dari kecil. “Enggak, ah, enggak sopan, Nyonya, kalau saya harus manggil Mami,” ucap Rini sambil menunduk menahan air matanya yang hendak keluar. Ia kembali teringat ayah dan ibunya. “Enggak apa-apa, Sayang. Mami lebih senang kamu panggil begitu. Kamu juga harus membiasakan panggil Devan sama Adrian Mas, jangan panggil Pak Devan atau Pak Adrian lagi. Hahaha … nanti mereka protes karena merasa tua.” Mami berbicara sambil mengangsurkan kucing ke dalam pelukan Rini yang segera mengelusnya lembut. “Kalau masih panggil nyonya juga, nanti mami bakalan pecat Bi Sumi,” ucap Mila mengancam dengan candaan yang membuat Rini langsung tertawa kecil. “Makasih Nyonya ... eh, Mami,” ucap Rini pada akhirnya. Mila menepuk pelan pundak Rini, lalu melangkah meninggalkannya. Rini memeluk kucing lucu itu yang sepertinya merasa nyaman dalam pelukannya. “Hai,” sapa Rini pada kucingnya yang sangat menggemaskan. Ia masih memikirkan nama yang tepat untuk kucing kesayangannya. Sungguh, Rini bersyukur pada Tuhan karena telah mengirimi orang-orang baik padanya. **** Malam hari setelah makan malam dan melihat suasana telah sepi, pelan Rini berjalan menuju kamar Devan. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan. Pelan diketuknya kamar Devan karena takut terdengar oleh mami atau papi Devan. Pintu kamar terbuka menampilkan wajah Devan. “Ada apa?” tanya Devan yang segera keluar kamar, lalu menutupnya. “Saya ingin bicara dengan Bapak.” Rini segera mundur karena Devan berdiri sangat dekat dengannya. “Ke taman belakang saja,” ucap Devan yang segera melangkah, diikuti Rini di belakangnya. Meong, meong …. Terdengar suara kucing yang diberikan Mila pada Rini. Buru-buru Rini menggendong kucing yang menggemaskan itu, lalu membawanya sertamengikuti Devan menuju taman belakang. “Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Devan sambil duduk di kursi taman, sedangkan Rini hanya berdiri sambil menggendong kucingnya. “Masalah pernikahan kita,” ucap Rini tanpa basa-basi. “Maksud kamu?” tanya Devan tidak paham. Ia hilang fokus saat ini karena melihat leher Rini. Sama seperti tadi pagi, bulir keringat di sana ingin membuatnya segera pergi sebelum setan benar-benar menggodanya. “Kapan kita akan bercerai? Ayah sudah pergi dan ini sudah lebih dari empat puluh hari semenjak kepergian ayah. Sesuai janji, kita bisa bercerai.” Rini berbicara sambil menatap Devan. “Hmmm … aku belum bisa memutuskan kapan karena aku masih memiliki janji pada ayahmu. Setelah keadaan benar- benar aman, baru kita akan bercerai,” ucap Devan sambil memandang ke arah jajaran pot bunga yang tertata rapi di depannya. Ia belum bisa melepaskan Rini saat ini karena nasib gadis itu akan berada di ujung jurang jika sampai tantenya menemukannya dan menikahkan ia dengan laki-laki lain. Rini hanya diperalat untuk mendapatkan warisan miliknya. “Jika saatnya tiba, kamu bisa pergi. Untuk saat ini, kita jalani saja pesan ayahmu. Sampai waktu itu tiba, aku akan menjagamu dengan baik.” Devan menghela napasnya pelan, lalu melangkah meninggalkan Rini yang hanya diam mematung. “Tapi, sampai kapan?” Rini cepat menginterupsi langkah Devan. “Sampai hidupmu aman,” sahut Devan, lalu kembali melangkah. Belum saatnya Rini tahu alasan perpanjangan pernikahan rahasia ini. Rini hanya diam. Percuma saja ia membantah karena tatapan Devan lebih mengerikan saat berbicara serius seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD