SUDAH tiga hari Devan terlihat kusut. Rini sendiri malas menegur, kecuali Devan meminta tolong padanya untuk membuatkan kopi atau teh saat Bi Sumi sedang pergi.
Rini terbangun di tengah malam. Memandang sekeliling kamarnya, ia lalu beranjak keluar kamar, menyalakan semua lampu di depan kamarnya hingga dapur.
Masuk ke dalam kamar mandi, Rini mengikat rambut ikalnya ke atas, lalu menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah itu, ia segera menuju dapur. Sepertinya ia ingin makan sesuatu yang sedikit pedas.
Rini mulai berkutat di dapur. Hal yang sudah biasa ia lakukan beberapa hari ini untuk meredam rasa gelisahnya. Ia begitu merindukan sosok ayah yang selalu bisa diajak bicara apa saja, selalu mencicipi masakannya dan selalu memakannya sampai habis. Rini rindu tawa ayahnya saat ia bertingkah konyol. Rindu teriakan ayahnya saat ia dengan diam-diam memanjat pohon mangga di belakang rumah.
Rini tersenyum sambil menahan air matanya. Ia tidak boleh terlalu banyak bersedih. Setelah memindahkan masakannya ke piring, Rini mulai duduk dan menyantapnya.
“Ayah … Rini kangen,” gumam Rini sambil melamun.
“Kamu lagi ngapain?” Tiba-tiba saja Devan sudah berada di belakang Rini.
Masih dengan sendok di mulutnya, Rini berbalik menatap Devan yang terlihat kusut—tapi tetap saja tampan. “Bapak selalu saja mengagetkan saya.” Rini mulai menguasai keadaan dan balik mengomel.
“Lagian, kamu tengah malam sendirian di dapur dengan lampu terang benderang begini.” Devan menggelengkan kepala akan kebiasaan Rini akhir-akhir ini. Gadis itu tidak bisa berlama-lama di tempat yang gelap.
“Bapak sudah makan?” Rini enggan menjawab, malah balik bertanya.
Devan menggelengkan kepala tanda belum.
“Kalau mau, saya bisa membagi masakan saya sama Bapak, tapi, ya ... agak sedikit pedas.” Rini menawarkan pada Devan yang sepertinya terlihat menelan ludah saat menatap piring Rini.
“Sedikit saja, saya tidak terbiasa makan makanan yang asing,” ucap Devan masih dengan sikap cueknya.
Rini melambaikan tangannya agar Devan duduk di kursi. Kemudian, ia menyodorkan piringnya pada Devan. Devan mencobanya satu sendok kecil. Dari wajah kusutnya, ada setitik perasaan terkesima.
“Rasanya kenapa enak begini? Ada rasa manis dan pedas yang tidak menyengat,” gumam Devan dalam hati menilai masakan Rini.
“Bapak lagi lapar atau beneran suka sama makanannya?” tanya Rini, menghentikan gerakan tangan Devan yang hendak mengambil kembali rasa lezat dari atas piring.
Devan sendiri kaget melihat makanan yang tadinya banyak tinggal separuh. Ia tersenyum malu sambil menatap Rini yang kesal. Rini menarik piringnya, tapi Devan juga menahannya.
“Aku sudah makan, jadi biar aku habiskan!” ucap Devan penuh penekanan.
“Saya bilang hanya akan membaginya sedikit sama Bapak! Kenapa mau dihabiskan?!” Rini melotot berusaha menarik piringnya.
“Kita bagi dua,” ucap Devan tanpa malu-malu. “Lagian, aku masih suamimu, jadi aku juga berhak makan.” Pria itu tetap tidak mau mengalah.
“Kenapa Bapak menyebalkan begini? Mengancam atas nama suami. Padahal setiap hari bermesraan dengan wanita lain,” cibir Rini.
“Memang kenapa? Kamu cemburu? Atau kamu yang mau menggantikan mereka menghangatkan ranjangku?” Devan memandang Rini sambil tersenyum jail.
“Ish … melihat wajah Bapak saja saya sudah enggak suka, bagaimana saya bisa cemburu?” Rini berbicara sambil berusaha menarik piringnya, tapi tentu saja Devan tidak membiarkannya. “Baiklah, aku akan memisahkan bagianku.” Rini akhirnya mengalah, lalu mengambil piring dari hadapan Devan dan
membaginya menjadi dua ke piring yang lain.
Devan tersenyum melihat Rini yang mengomel sendiri. Melihat ekspresi lugu Rini ketika marah-marah ternyata merupakan hiburan tersendiri buatnya setelah beberapa hari ini Devan berada dalam keadaan emosi yang tidak stabil karena mengurusi Adrian yang menghilang tanpa kabar. Bersama kakak Freya, Devan mencari tahu otak di balik menghilangnya Adrian, yang tidak lain adalah Diana. Untunglah, saat ini Adrian sudah kembali bersama Freya.
Bersamaan dengan ditemukannya Adrian, ada kabar gembira lain yang membuat ia tenang. Sebentar lagi maminya pasti tidak akan terlalu sibuk mengkhawatirkan dirinya maupun Adrian. Kabar yang juga akan membuat Mila tidak
akan menanyakan kapan ia akan menikah. Freya hamil dan Mila belum mengetahuinya.
Sekali lagi, Devan memerhatikan Rini. Ternyata lucu juga melihat gadis itu marah. Sambil masih bersungut-sungut, Rini memberikan makanan bagian Deva.
“Nah, ini punya Bapak.”
Devan langsung menyantapnya. Tak berapa lama, Devan langsung kepedasan, tapi tetap saja berusaha menghabiskan makanan itu. Rini menahan tawa. Ia sengaja memasukkan bon cabe level 30 ke dalam makanan bagian Devan.
Akan tetapi, akhirnya dia kasihan juga. Devan sudah gelagapan mengunyah. Bulir keringat mulai menghiasi dahi dan dekat telinganya. Rini menarik piring dari hadapan Devan dan cepat-cepat menyodorkan gelas berisi air hangat. Devan meminumnya hingga habis.
“Sudah tahu pedas, kenapa masih dimakan juga!” omel Rini dengan marah yang dibuat-buat. Walau berniat menjaili Devan, bukannya marah, pria itu malah mengikuti permainannya. Devan tersenyum melihat Rini yang mulai kembali mengomel.
“Tidak apa-apa. Kalau aku tidak makan, kamu akan kecewa, bukan?” Raut wajah Rini melurus. Ucapan Devan mengingatkan Rini pada ayahnya. “Terima kasih untuk makan tengah malamnya, aku mau istirahat dulu.”
Devan melangkah keluar dari dapur, tapi tiba-tiba saja ia kembali berbalik dan mengangkat kedua jempolnya. “Masakan kamu enak. Aku akan mempertimbangkan untuk memasukkanmu ke kelas memasak dan merias seperti yang pernah Bi Sumi ceritakan,” ucapnya yang lalu melangkah pergi meninggalkan Rini yang kembali melanjutkan makannya.
Rini termenung. Devan kadang berubah-berubah. Malam hangat, bisa saja besok pagi kembali dingin. Karakter yang menarik, batin Rini sambil meneruskan makannya.
****
Dua hari kemudian, seperti biasa kediaman keluarga Devan sejak pagi hari sudah mulai sibuk. Mami terlihat semringah. Bagaimana tidak? Sebentar lagi ia akan menimang cucu. Freya hamil. Mila tersenyum di awal hari karena terlalu bahagia.
Rini terlihat mondar-mandir membersihkan rumah dibantu asisten rumah tangga yang lain. Demikian dengan Bi Sumi yang juga terlihat sibuk.
“Tante ....” Terdengar suara menyebalkan yang selalu didengar Rini beberapa hari ini. Siapa lagi kalau bukan Adelia, dengan gayanya yang angkuh bak nyonya rumah?
“Ish, pagi-pagi sudah datang. Gak nyaman di rumah, ya?” gumam Rini yang didengar Bi Sumi dan membuat wanita yang sudah tidak lagi muda itu tertawa kecil.
Rini menampilkan deretan giginya melihat Bi Sumi tertawa. “Bibi dengar, ya?”
“Iya.” Bi Sumi tersenyum simpul. “Sudah, yuk. Cepat siapkan semuanya. Sebentar lagi Non Freya sama Mas Adrian datang. Kamu bakal senang lihat Non Freya. Orangnya ramah sekali seperti Mas Adrian dan Mas Devan,” ucap Bi Sumi yang membuat Rini tertawa dalam hati.
“Pak Devan ramah dari Mars, juteknya minta ampun gitu,” gumam Rini lagi yang masih bisa di dengar Bi Sumi.
“Hahaha … Mas Devan itu suami kamu, lho. Kok, dikatain begitu,” bisik Bi Sumi yang kembali dibalas tawa Rini.
“Suami boongan,” bisik Rini lagi membalas ucapan Bi Sumi yang hanya gelang-gelang kepala. Namun, dalam hatinya mendoakan semoga anak angkatnya itu dan anak majikannya akan benar-benar menjadi pasangan yang tidak akan terpisahkan seperti harapan ayah Rini sebelum meninggal. Menurut Bi Sumi, Devan laki-laki yang tepat untuk melindungi
Rini dari rahasia besar keluarganya dan ancaman tantenya yang tidak pernah ia ketahui.
“Eh, Rini ... ambilin air, dong, aku haus.” Sekonyong- konyong, Adelia sudah ada di depan pintu dapur dan menyuruh Rini yang sedang menggoreng daging.
“Kamu ambil saja sendiri, saya lagi sibuk,” tolak Rini yang sedang fokus pada gorengannya.
“Kamu ini pembantu! Disuruh, kok, begitu?! Aku adukan sama Tante Mila kamu nanti, ya!” pekik Adelia tak terima.
“Sudah, sudah.” Bi Sumi memberikan segelas air pada Adelia. “Ini, Non, airnya.” Namun, bukannya diambil, gelas itu malah ditepis oleh Adelia hingga terjatuh dan pecah.
“Tuh, pungut!” perintah Adelia pada Bi Sumi yang membuat Rini emosi.
“Jangan, Bi! Biar dia sendiri yang mengambilnya!” cegah Rini sedikit kasar sambil menatap marah pada Adelia.
Kesal, Adelia maju dan hendak menampar Rini. Gerakan tangan itu ditahan oleh Rini, membuat gadis tetangga itu semakin kesal.
“Sudah … sudah, Non Adel, Rini.” Bi Sumi menengahi.
“Cih! Dasar anak pembantu tidak punya sopan santun! Awas, ya, aku bakal buat kamu sama ibumu ini diusir dari sini!” ancam Adelia sebelum akhirnya pergi meninggalkan dapur dengan hati yang sangat panas.
Tanpa mereka ketahui, diam-diam Devan melihat pertengkaran mereka dari balik pintu. Ia yang semula hendak masuk untuk melerai, akhirnya urung karena melihat sikap berani yang ditunjukkan Rini. Devan tersenyum melihat pertahanan diri yang dimiliki oleh gadis itu.
Modal awal yang bagus sebelum memulai peperangan.