Part 11 - Temu Kangen Karyawan Apotek
Apotek Medical Sehat adalah tempat di mana Raisa berkembang. Pelajaran tentang obat. Raisa pelajari di sini. Bukan hanya tentang obat. Karena di apotek medical sehat ada kliniknya juga. Raisa bisa belajar tentang ilmu kedokteran juga. Bahkan Raisa menangani beberapa persalinan dan pasien gawat darurat lainnya. Dulu Raisa sangat dipercaya oleh dokter Rina. Untuk memegang apotek ini. Semenjak Raisa yang pegang. Apotek berkembang pesat sampai buka klinik dan UGD untuk pasien yang gawat. Hal itu membuat Raisa ingin sekali mempunyai rumah sakit. Dan beruntungnya, keinginan Raisa dikabulkan oleh Riyan. Karena Riyan juga ingin mempunyai rumah sakit. Kemudian terciptalah Raiyan Hospital. Hasil kerja sama dengan Hardi dan pemegang saham lainya.
Nasib baikpun menghampiri mereka. Raiyan Hospital mampu bersaing dengan rumah sakit lainnya. Raiyan Hospital mulai mempunyai dokter-dokter kompeten dibidangnya. Seperti dokter Remon dan Raisa, mereka adalah dokter bedah spesialis jantung. Dokter Rina dan dokter Raihan, dokter spesialis syaraf. Dokter Husna, spesialis kandungan. Dokter Dianti, spesialis kulit dan kecantikan. Dokter Dewanti, dokter gigi. Dokter Junia, dokter umum. Dan masih banyak dokter kompeten lainnya yang bergabung di Raiyan Hospital.
Sekarang yang memegang apotek adalah Nadien. Memang baru sekitar tiga bulan Nadien yang pegang. Sementara Riska yang yang menjadi kepala apotek. Karena Nadien juga masih perlu banyak belajar.
Tidak lama Raisa dan Ririn ngobrol soal paracetamol. Laila dan Riska datang. Rasanya mereka seperti temu kangen. Sudah hampir dua tahun juga Raisa tidak berkumpul dengan karyawan apotek. Yang selama ini terlah menjadi teman selama Raisa kuliah dan bekerja di apotek ini.
"Raisa! Ya ampun kangen banget sama bu dokter satu ini," sapa Riska pada Raisa.
"Iya aku juga kangen banget sama Raisa. Enggak nyangka sekarang Raisa udah jadi dokter spesialis jantung. Terus punya anak kemnar juga. Pasti lucu-lucu deh," oceh Laila. Laila yang sekarang tidak begitu pendiam seperti dulu. Sekarang sudah cerwet. Mungkin ketularan Ririn. Hehhe
"Kalian ini hehe. Aku juga kangen sama kalian. Adit mana?" tanya Raisa.
"Kak Adit shift siang, Rai. Ada karyawan baru namanya Shella dan Nabila," ujar Riska.
"Oh gitu. Syukur deh. Oh iya, dokter Husna sekarang ada?" tanya Raisa.
"Dokter Husna masih dinas di Raiyan Hospital. Loh kamu ga kerja?" Riska balik nanya.
"Aku off hari ini," sahut Raisa singkat.
"Ini Rai, obat buat anak kamu," Ririn memberikan paracetamol siyup pada Raisa.
"Anak kamu kenapa, Rai?" tanya Riska yang baru memang tadi baru datang.
"Cuma demam biasa kok. Ok thank's, ya. Aku pulang dulu," pamit Raisa. Saat Raisa akan pergi. Ada sesorang yang memanggilnya.
"Raisa!" panggil seorang cowok yang memang sudah tidak asing di telinga Raisa suaranya. Raisa langsung menoleh ke arah suara.
"Adit!"
"Gile elo. Udah jadi dokter spesialis jantung yang hebat aja. Gue denger spesialis jantung di Raiyan Hospital itu nomor satu terbaik di Indonesia. Hebat!" puji Adit. Ya, memang sekarang ini Raiyan Hospital sedang dikunjungi banyak pasien. Dan paling banyak justru yang sakit jantung.
Sebetulnya Raisa juga mau menambah dokter spesialis jantung. Karena memang kalau berdua sudah tidak tertangani lagi. Jumlah pasien yang periksa setiap harinya semakin mertambah. Belum pasien yang di rawat, yang harus diperiksa setiap hari. Menunggu jadeal operasi yang tepat untuk memperbaiki bagian jantung mana yang terjadi masalah.
"Bisa aja lo, Dit. Gue cuma seorang dokter biasa kok," ucap Raisa merendah seperti biasa.
"Enggak percaya gue. Elo tahu, Rai. Istri gye bangga-banggain elo terus loh!" ujar Adit.
"Hei ngomongin gue, ya," tukas Ribka yang baru saja masuk ke apotek.
"Hhehe kepergok sama istri," ucap Adit sambil nyengir kuda.
"Loh kenapa kamu ada di sini Ribka?" tanya Raisa.
"Gue kerja lagi dikl apotek. Awalnya Adit enggak izinin, tapi akhirnya izinin. Karena anak sekarang udah bisa ditinggal sama neneknya," jelas Ribka. Kondisi perekonomian mereka memang sedang guncang. Karena orang tua Adit yang terlilit hutang. Jadi mau enggak mau, Adit dan Ribka harus kembali bekerja. Karena siapa lagi yang bisa membantu perekonomian orang tua Adit. Selain mereka.
"Ya udah ya, semuanya gue pulang dulu," pamit Raisa lagi. Kali ini Raisa benar-benar pergi dari apotek.
"Raisa keliatan cape banget ya, kak," ceplos Ririn..
"Gimana enggak capek kerjanya kadang dua puluh empat jam. Seneng aja lihat dia mampir ke sini. Dulu kan kurang lebih tahun kita bersama dia," sahut Ribka.
"Iya. Dia paling ulet di antara kita. Raisa slalu tenang menangani pasien," dukung Ririn.
"Jadi inget Riyan yang slalu nebus obat dan ngobrol bareng Raisa di sini," cetus Riska.
"Cintaku bersemi di Apotek. Atau Apotek in Love. Aahhha persis kayak kak Ribka sama kak Adit," oceh Ririn seperti biasa.
"Bisa aja kamu, Rin. Inget banget pas Aliya minta kita-kita buat nyomblangin Raisa sama Riyan. Sekarang Raisa sama Riyan udah nikah dan punya anak kembar," ucap Ribka.
"Jadi pengen lihat si kembar deh," ujar Riska.
Sementara Raisa dari luar apotek kembali membayangkan apa saja yang terjadi di apotek.
Saat itu, mereka semua nampaknya sudah siap untuk pergi. Mereka bergegas keluar dari ruang loker. Di depan apotek, mereka melihat dokter Rina memapah seorang ibu-ibu muda yang sedang hamil. Sepertinya akan melahirkan.
"Raisa bantu mama. Ibu ini kayaknya mau melahirkan. Kalo dibawa ke rumah sakit ke jauhan. Kita bantu persalinan di sini aja. Lagian diluar masih hujan juga. Kalian udah mau pulang yah? Bisa bantu saya sebentar tolong ibu ini?" pinta dokter Rina.
Raisa, Ribka, Ririn dan Adit tidak mungkin menolak membantu dokter Rina. Lagian kasian juga ibu-ibu itu. Kelihatannya ketubannya sudah pecah. Ibu itu terus saja meringis kesakitan. Apa bisa dokter Rina menangani persalinan? Dia kan bukan dokter kandungan. Raisa juga hanya mahasiswa kedokteran. Meski Raisa memang sudah beberapa kali membantu dokter kandungan di klinik. Untuk menjadi asistennya saat menangani persalinan.
"Oke tante saya ikut bantuin," Riyan langsung berinisiatif menggotong ibu hamil itu. Adit, Raisa, Ribka dan Ririn ikut membantu Riyan. Sepertinya acara nongkrok malam ini harus ditunda dulu. Mereka engga mungkin hanya membiarkan Raisa dan dokter Rina, membantu ibu hamil itu.
Ruang bersalin.
Ibu muda itu di baringkan disebuah bankar. Untung saja mereka belum pulang. Kalau tidak, mungkin dokter Rina akan kerepotan. Dokter Rina meminta bantuan Raisa untuk menjadi asistennya. Sementara teman-teman yang lainnya. Diminta untuk menyiapakan alat dan obat-obatan, yang diperlukan selama proses persalinan berlangsung.
Sedanngkan Riyan menunggu di depan ruang bersalin. Ia sama tegangnya seperti Raisa, Adit, Ribka dan Ririn. Meskipun Riyan hanya membantu menggotong ibu itu. Riyan ingin tahu kabar dari ibu itu. Semoga saja persalinanya berjalan dengan lancar. Riyan tidak mungkin pulang begitu saja, sebelum dia memastikan. Kalau ibu muda itu baik-baik saja.
Ribka, Adit dan Ririn sibuk di apotek. Menyiapkan semua peralatan dan obat-obatan yang di minta dokter Rina.
Sementara Raisa dan dokter Rina mempersiapkan untuk persalinan. Dokter Rina telah mendapatkan persetujuan dari ibu muda itu, untuk melahirkan di klinik dengan bantuan dokter Rina. Dokter Rina menjelaskan padanya, kalau ia bukan dokter kandungan, tapi ibu muda itu bersi kukuh agar dokter Rina membantunya. Mau tidak mau, jiwa dokternya dokter Rina bangkit. Ia harus bertanggung jawab pada pasiennya. Setidaknya ia dan Raisa pernah menangani sebuah persalinan sebelumnya.
"Rai, siapkan air hangat, handuk, kapas dan gunting," perintah dokter Rina.
"Siap mah. Aku ke luar dulu mau ambil air hangat. Sekalian ke apotek minta handuk, kapas sama gunting ke anak-anak di apotek," ucap Raisa. Ia mulai tegang. Karena ada nyawa yang harus ia tolong. Raisa keluar ruang bersalin, untuk mngambil air hangat.
Riyan yang berada di luar ruang bersalin. Langsung bangkit saat melihat Raisa keluar ruangan. "Gimana Rai, persalinannya?" tanya Riyan penasaran.
"Belum, Ian. Aku sama mama lagi mempersiapakan semuanya dulu. Aku ambil air panas dulu, ya. Karena hari ini dokter kandungannya engga datang. Jadi aku sama mama yang nanganin persalinannya. Kita juga udah dapet persetujuan dari pasiennya kok," jelas Raisa.
"Ya udah. Semangat ya, Rai. Aku akan nunggu di sini sampai persalinannya selesai," ujar Riyan.
"Eh jangan, ini bakalan lama banget. Kamu pulang aja. Ini udah malem juga," cegah Raisa.
"Engga apa-apa. Kalo aku pulang. Yang ada, aku malah kepikiran tentang persalinan ibu muda itu. Lebih baik aku tunggu sampai selesai," ucap Riyan. Benar juga. Kalau Riyan pulang dia pasti penasaran dan kepikiran.
"Rai, ini air hangat, handuk, kapas sama guntingnya. Ini juga obat-obatan yang di minta dokter Rina tadi," ucap Ribka. Ia memberikan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan di ruang bersalin. Tadinya Raisa yang mau mengambil air hangat dan mampir ke apotek. Untuk mempersiapkan semuanya. Ternyata malah teman-temannya yang sudah menyiapkan semuanya.
"Oke makasih yah, aku kedalam lagi," setelah menerima semua barang yang di berikan Ribka. Raisa kembali masuk ke ruang bersalin.
"Kamu belum pulang, Riyan?" tanya Adit.
"Belum, aku masih penasaran sama persalinannya. Kalian juga belum pulang?" tanya Riyan.
Kompak Adit, Ribka dan Ririn menggeleng. "Kita juga penasaran sama hasil persalinanya. Meskipun kita cuma bisa bantu dikit, tapi kita harus bertanggung jawab sampai akhir. Belum lega rasanya, kalau belum lihat hasilnya," ucap Adit.
"Lebih baik kamu pulang aja. Kita aja yang jaga di sini. Kasian kamu kemalaman," usul Ririn. Ririn kasian dari tadi Riyan harus nunggu di apotek. Sekarang harus nunggu lagi? Nunggu persalinan itu membutuhkan waktu yang lama. Tidak sebentar. Pasti Riyan akan pulang larut malam. Kalau mereka sih sebagai karyawan sudah biasa lembur.
"Engga apa-apa kok. Lagian rumah aku juga deket kok. Di komplek merpati putih. Aku engga tenang, kalau aku pulang. Jadi aku akan ikut kalian nungguin hasil persalinannya.
Di ruangan bersalin
Dokter Rina memasang infus pada ibu muda itu. "Ayo tarik nafas," perintah dokter Rina pada ibu muda itu.
"Aaaaaahhhh sakit dokter tolong sakit," ibu muda itu mengerang kesakitan. Darah sudah berkeluaran dari jalan rahim ibu itu.
"Tenang ya, kami lagi bantu persalinan kamu. Raisa, tolong ambilkan obat perangsang," pinta dokter Rina pada Raisa.
"Ini mah," Raisa memberikan suntikan yang berisikan obat rangsangan yang di minta dokter Rina.
"Ketuban kamu pecah, tapi belum ada pembukaan. Jadi saya kasih rangsanganya. Kamu harus tetap tenang. Ayo tarik nafas," dokter Rina menjelaskan apa yang baru saja terjadi kepada pasien.
Ibu muda itu menarik nafas panjang. "Sakit dokter sakit!!" teriak ibu muda itu. Wajar saja, ini mungkin pertama kalinya ibu itu akan melahirkan. Jadi belum ada pengalaman. Ibu muda itu mungkin usianya kisaran dua puluh tahunan. Berarti tiga tahun diatas Raisa. Hebat usia muda seperti itu sudah mau menjadi seorang ibu.
"Ayo mba, tarik nafas," Raisa ikut memberikan instruksi pada ibu muda itu.
"Ayo! Keluarkan bayinya perlahan-lahan. Biar saya bantu untuk menariknya keluar. Alhamdulillah, kepalanya sudah muncul. Ayo sedikit lagi!" tidak henti-hentinya dokter Rina membemberikan instruksi pada ibu muda itu.
"Aaaaaaaaaaahhhhhgggg," ibu muda itu mengejan sekuat tenanga. Dan..
Terdengar suara kencang tangisan bayi mungil. Tangisannya melengking keras hingga terdengar keluar ruangan. Riyan, Adit, Ribka dan Ririn. Senang mendengarkan suara tangis bayi. Itu artinya persalinan sudah selesai.
"Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan.
Jantung Riyan mulai berdegup tak menentu. Keringat dingin juga sudah mulai membanjiri keningnya. Namun, Riyan mencoba kuat. Ia tidak mau mereka tahu soal penyakitnya. Riyan mencoba berusaha menstabilkan detak jantungnya. Riyan duduk, sesekali ia mengusap-ngusap dadanya. Jangan sampai ia kambuh.
Akhirnya persalinannya berjalan lancar. Tanpa harus menunggu lama. Memang tadi setelah dikasih obat perangsang. Pembukaanya sangat cepat. Dari mulai pembukaan dua sampai langsung melahirkan.
"Selamat, ya. Bayinya perempuan," ucap dokter Rina pada ibu muda itu."Rai, tolong bersihkan bayinya," perintah dokter Rina sambil membersihan rahim ibu muda itu. Takutnya masih ada sisa ari-ari yang masih menempel di dinding rahimnya.
"Iya mah, siap. Tapi nanti yang potong tali pusarnya mama ya," ujar Raisa.
"Kamu dong sayang yang potong. Kemaren-kemaren kamu pernah ajarin kan sama dokter Siska? Mama mau bersihkan ibunya. Sekalian mau jahit robekan di vaginanya," jelas dokter Rina.
"Oke mah," sahut Raisa. Tadinya Raisa sempat ragu, untuk memotong tali pusar bayi itu. Tapi ia harus berani. Nanti mungkin, kalau sudah jadi dokter. Akan ada hal yang lebih menantang. Di bandingkan harus memotong tali pusar bayi. Kalau hal ini saja Raisa tidak bisa ia lakukan. Gimana nanti?
Raisa mulai membersihkan bayi itu. Setelah cukup bersih. Raisa memasang penjepit yabg biasa di gunakan. Untuk menejepit tali pusar bayi. Ia memberkkan jarak kurang lebih, lima senti dari perut bayi.
"Bismillah," ucap Riasa saat memotong tali pusar bayi itu. Raisa selesai membersihkan bayi itu. Ia mulai mengenakan baju pada bayi itu. Untung saja di ruangan bersalin ada baju bayi. Mungkin baju bayi yang tertinggal oleh pasien lain. Saat melahirkan di sini. Engga apa-apa. Baju itu bermanfaat di pakai, saat situasi seperti ini. Tidak mungkin Raisa membiarkan bayi itu tanpa baju. Bayi itu akan kedinginan. Tidak mungkin juga Raisa meminta baju bayi, pada ibu muda itu. Kejadiannya saja mendadak. Mana mungkin ibu muda itu membawa bekal baju bayi.
"Ini mah," Raisa memberikan bayi itu pada dokter Rina.
Dokter Rina mengendong bayi itu. "Ini bayinya mba, kasih asi dulu bayi kamu. Oh iya, sampai lupa. Nama mbak siapa?" saking tegangnya dokter Rina sampai lupa menanyakan nama pasien itu.
"Aku Nikmah dokter. Makasih ya, sudah mau bantu saya. Kalo tadi saya dibawa ke rumah sakit. Mungkin ceritanya akan lain. Saya mungkin harus operasi caesar," ternyata ibu muda itu bernama Nikmah. Ia sangat berterimakasih pada dokter Rina dan Raisa.
"Kenapa harus caesar mbak? Bukaanya bagus ko. Engga sampai harus di caesar," terang dokter Rina.
"Teman saya kemarin pecah ketuban juga. Dia di bawa ke rumah sakit. Eh langsung di suruh caesar. Makannya tadi pas dokter bilang, ketuban saya pecah. Saya engga mau dibawa ke rumah sakit. Saya memilih melahirkan di klinik ini. Soalnya saya takut di caesar," ucap Nikmah sambil menyusui bayinya.
"Mbak, mbak ada-ada aja. Kalaupun di bawa ke rumah sakit. Ya, pasti diobservsi dulu. Engga langsung ambil tindakan caesar. Kalau memang tidak ada indikasi yang membahayakan bayi dan ibunya. Tidak semua kasus pecah ketuban harus di caesar, mbak. Selagi masih bisa melahirkan normal. Kami akan usahakan pasien untuk lahiran normal," jelas dokter Rina. Ia harus mengubah persepsi mbak Nikmah yang salah.
Nikmah tersenyum malu. "Iya dokter maaf. Maklum anak pertama. Aku engga mau aja, kalau sampai di Caesar. Saya takut. Lahiran normal aja saya takut. Apa lagi caesar. Oh iya, anak ini akan saya kasih nama Arina Andara. Boleh kan?"
"Loh itukan.."
"Nama dokter Rina sama nama panjangnya Raisa. Saya sengaja pakai nama Arina. Karena ada nama Rinanya. Nama dokter Rina. Dan Andara nama panjangnya Raisa. Engga apa-apa kan, dokter Rina sama Raisa. Saya pake nama kalian berdua? Anggap saja sebagai kenang-kenangan buat anak saya. Kalau kalianlah yang membantu persalinan ibunya," Nikmah masih menunggu jawaban dari Raisa dan dokter Rina
"Engga apa-apa sih. Silahkan saja, kalau saya. Kalau Raisa gimana?" dokter Rina malah bertanya pada Raisa.
"Iya mbak silahkan. Suatu kehormatan, nama saya ada dalam nama anaknya mbak. Oh iya, mah. Mbak Nikmah ini selama hamil, suka beli suplemen di sini. Tadi terakhir mbak Nikmah beli obat. Ga taunya malah sekarng lahiran," jelas Raisa. Kenapa juga dia baru sadar sekarang.
"Iya, mbak Raisa. Saya juga engga menyangka bisa lahiran secepat ini. Dibantu sama dokter Rina dan mbak Raisa pula. Saya sangat terimaksih sekali lagi," Nikmah terus mengucapkan rasa terimakasihnya. Pada dokter Rina dan Raisa.
"Iya mbak, saya juga senang bisa membantu mbak. Sehat terus yah bayi dan ibunya," ujar Raisa.
"Lihat deh lucu banget bayinya," ucap dokter Rina.
"Oh iya mah. Aku kayanya harus keluar dulu. Mau mengabarkan dulu sama anak-anak. Kalau persalinannya berjalan dengan lancar. Kasian kayanya mereka nunggu dari tadi," pamit Risa.
"Ya udah sana. Biar mama aja yang jaga mbak Nikmah. Kasian kamu udah seharian juga jaga apotek. Kamu kan besok harus kuliah. Dokter UGD juga udah pulang kayanya. Kasian, kalau mbak Nikmah harus pulang sekarang. Kesehatannya pasca melahirkan harus tetap dipantau," dokter Rina memang sangat bertanggung jawab. Ia harus merawat pasiennya sampai benar-benar pulih. Padahal Raisa tau, dokter Rina pasti lelah.
Pekerjaan dokter memang cukup berat. Dokter dituntut untuk siap siaga melayani pasiennya. Dan itu tidak mengenal waktu. Jadi kadang seorang dokter itu. Waktu istirahatnya sangat sedikit. Karena waktunya, banyak ia habiskan untuk menolong pasien. Ia selalu mengkesampingkan rasa lelahnya. Demi menolong pasien.
"Bener nih mah engga apa-apa. Kalau aku harus pulang? Soalnya aku harus ngerjain tugas," Raisa jadi engga enak sama dokter Rina. Tapi mau bagaimana lagi. Tugas kuliahnya harus segera ia kerjakan di rumah.
"Udah engga apa-apa. Sekalian suruh teman-teman kamu pulang juga. Mama bisa sendiri kok. Buat jaga mbak Nikmah sama bayinya.
"Ya udah. Kalo gitu, aku keluar dulu ya," Raisa keluar dari ruangan bersalin. Ia melirik ponselnya, ternyata waktu menujukan pukul satu malam. Sudah larut malam sekali.
Raisa melihat ternyata teman-temannya sudah tertidur tidak beraturan. Mereka menunggu di luar ruangan sampai pada ketiduran. Mereka memang paling setia pada pekerjaannya. Belum lagi Riyan, yang bela-belain nunggu persalinan. Padahal engga ada kewajiban bagi Riyan untuk tetap di sini.
Adit, Ribka dan Ririn tertidur di lantai. Dengan menggunakan tas, sebagai bantalnya. Sementara Riyan tidur sambil terduduk. Mereka pasti kelelahan. Raisa bangga mempunyai teman-teman yang bertanggung jawab seperti mereka. Susah sekali mendapatkan teman seperti mereka. Yang setia menemai dan bertanggung jawab. Harus apa Raisa sekarang? Membangunkan temannya? Rasanya tidak tega. Tapi tega tidak tega. Raisa harus tetap membangunkan teman-temannya. Raisa harus menyuruh mereka pulang agar cepat istirahat di rumahnya masing-masing.