10 | Saya Mencintai Kamu

1706 Words
Pulang nanti tunggu saya di lobi. Jangan coba-coba pulang duluan. Saya sedang tidak ingin ditolak! Sabiya kembali berdecih setelah membaca pesan yang dikirimkan Romeo siang tadi. Kakinya mulai pegal terus berdiri di lobi yang mulai sepi. Sesekali tersenyum membalas sapaan karyawan yang lewat untuk pulang. Shilla cs yang biasanya selalu ada di sekitar Sabiya juga sudah pulang sejak setengah jam lalu. Ini bahkan sudah pukul 16.30. Romeo tidak sedang mengerjainya, 'kan? Jadwal pulang kerja itu tepat pukul 16.00. Dan si pak bos dengan teganya membiarkan Sabiya berdiri setengah jam lamanya. Ayolah, waktu setengah jam memang terdengar sebentar. Tapi tidak berlaku untuk kegiatan dengan nama menunggu sembari berdiri juga. Benar-benar double sialan! "Ekhem, belum pulang?" Sabiya menoleh mendapati Mira dengan senyuman meremehkan seperti biasanya. Berdiri diam dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Nampak jelas keangkuhan dari wajah cantik itu. Ya, sebenarnya Mira terlihat sangat cantik dengan tinggi semampai dan tubuh idealnya. Dibalut setelan kerja yang membuatnya nampak professional. Jika saja perempuan itu tidak angkuh, mungkin ada banyak karyawan yang mau berteman dengannya. Sayangnya, baru melirik saja, wajah Mira sudah menampilkan ketidaksukaan. Seolah-olah Mira dan manusia lain ada di level yang berbeda. "Ehm belum, Mbak," jawab Sabiya seadanya. Rasanya tidak perlu berbicara panjang lebar jika Mira yang menjadi lawannya. Akan sulit dan Sabiya hanya akan terus dipojokkan. Tatapannya itu selalu mengintimidasi membuat Sabiya enggan bertatapan mata terlalu lama. Tiba-tiba saja terlintas Alvaro dalam pikiran Sabiya. Apa lelaki lembut itu bisa mengimbangi Mira yang terlihat begitu dominan dalam segala hal? Hah! Sudah Sabiya! Cukup, cukup! Tidak ada Alvaro dalam kehidupannya mulai sekarang. Lelaki itu sudah menentukan pilihannya sendiri. Waktunya mulai membuka hati untuk Pak Romeo yang terhormat itu. Walaupun nyatanya sangat sulit menerima lelaki dengan kepribadian yang tidak bisa Sabiya tebak. Terkadang lelaki itu baik, penuh kelembutan, dan menghargainya sebagai seorang perempuan. Tapi terkadang benar-benar mengerikan sampai Sabiya tidak bisa terus bersama si lelaki. Parahnya, lelaki itu mengatasnamakan cinta untuk perlakuannya pada Sabiya. Benar-benar tidak masuk akal. Ahh tapi bukankah cinta memang begitu. Tidak pernah memiliki alasan yang jelas, sampai tidak bisa diproses dengan kerja otak jenius sekalipun. "Udah jauh ya sama Pak Romeo?" Haa? Sabiya blank seketika. Menatap Mira dengan pandangan tidak mengerti. Apa maksud pertanyaan itu? Bukankah selama ini tidak ada yang tahu tentangnya dan Romeo? "Gue kira Alvaro jadi satu-satunya pemeran antagonis di sini, karena dia mutusin pacar empat tahunnya demi bisa dapatin gue. Tapi ternyata lo jauh lebih jahat daripada kelakuan Alvaro." Sabiya benar-benar tidak mengerti dengan pembicaraan Mira. Semua yang dikatakan tidak bisa diterima otaknya dengan baik. Hanya mampu diam dengan otaknya yang terus bekerja, mencerna kata demi kata yang terucap dari mulut pedas itu. Berharap bisa menemukan jawaban. Tapi nyatanya Sabiya masih tidak tahu dengan topik yang dibawa Mira untuk pembicaraan di sore hari ini. "Nggak nyangka sih anak magang loh, belum lulus pula. Gue kalah banyak sama lo Sabiya." Perempuan itu bergerak perlahan. Berdiri lebih dekat dengan Sabiya. Jangan lupakan seringainya yang terlihat begitu menakutkan. Sabiya dibuat merinding saat itu juga. Belum lagi sebelah tangan Mira menyentuh bahu Sabiya, masih menunjukkan seringainya itu. "Menurut lo apa yang bakalan dilakuin anak magang dan bosnya di luar? Kalau di kantor aja mereka bisa ciuman panas?" Sabiya tersentak. Mira membisikkan kalimat yang terasa seperti jarum tajam. Menembus dadanya dan menusuk di bagian hati terdalamnya. Setelahnya kembali tercabut perlahan. Membuat dadanya terasa begitu nyeri. Mira tersenyum meremehkan setelah melihat respon Sabiya. "Lo jauh lebih unggul dari gue Sabiya. Gue cuma dapat kelas manajer, sedangkan lo? Ehm gue nggak bisa bayangin setelah lo nyerahin semuanya, ternyata Pak Romeo bosan dan ninggalin lo. Coba pikirin pakai otak lo, yang katanya mahasiswi pintar. Sekelas manajer aja bisa dengan mudah merelakan empat tahunnya buat perempuan biasa kaya gue, gimana sama Pak Romeo?" Mira kembali menampilkan senyumannya. Terlihat manis di luar namun begitu menusuk di dalam. "Good luck Sabiya, semoga nggak jadi korban untuk kedua kalinya." Mira sempat menepuk bahu Sabiya beberapa kali. Kembali menampilkan senyuman mengejek. Setelahnya berjalan dengan gaya elegannya menuju mobil Alvaro yang sudah menunggu di pelataran kantor. Alvaro sempat menoleh, hanya untuk saling tatap untuk beberapa saat. Setelah itu mobil Alvaro bergerak dengan kecepatan standar. Semakin menjauh dan hilang dari pandangan Sabiya. Meninggalkan satu perempuan yang terpaku di tempatnya. Dengan beragam pemikiran yang membuat kerja otaknya semakin terasa berat. Rasa sakit hatinya semakin terasa, menimbulkan sesak di dadanya. Beban di kedua pundak itu terasa semakin berat. Membuat kedua kaki Sabiya terasa lemas. Seperti tidak mampu menopang berat badannya sendiri. Sabiya mencoba menepis pikiran buruk yang muncul setelah rentetan kalimat itu. Romeo tidak mungkin sejahat itu 'kan? Selama ini Romeo baik padanya. Sedikit perhatian walaupun terkadang menyebalkan. Tapi coba pikirkan, apa yang membuat Romeo memilihnya? Menjadikan Sabiya sebagai calon istrinya dengan alasan cinta. Itu hanya omong kosong. Cinta jenis apa yang tumbuh hanya dalam waktu beberapa hari bertemu? Romeo mungkin saja hanya sekadar bertanggung jawab. Lelaki itu tidak mencintai Sabiya. Romeo hanya ingin meminta maaf atas kesalahannya dengan menikahi Sabiya. Karena tidak ada cinta, Sabiya harus siap jika sewaktu-waktu lelaki itu meninggalkannya. Entah karena adanya perempuan yang jauh lebih segalanya dibanding Sabiya, yang bisa membuat Romeo jatuh cinta. Kenapa memikirkan itu membuat hati Sabiya semakin sakit? Air matanya sudah lolos perlahan. Melampiaskan beragam rasa. Berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Tapi semakin deras air mata itu, Sabiya merasakan hatinya semakin sakit. "Bi maaf kamu sudah lama di sini?" Romeo baru datang. Memasang wajah sebaik mungkin dengan senyuman manisnya. Anggap saja sebagai tameng agar Sabiya luluh dan tidak jadi marah-marah. Atau marah-marah pun tidak masalah. Romeo suka mendengar suara cerewet Sabiya. Romeo merasa diperhatikan penuh sampai Sabiya bisa menyampaikan kalimat panjang yang begitu detail. Tapi bukan sambutan wajah cantik yang cemberut karena kesal menunggu, atau suara Sabiya yang menyapa lembut telinganya. Romeo justru disambut isakan tangis Sabiya dengan bahu yang sudah bergetar hebat. Membuat hati Romeo teriris setiap kali mendengar suara isakan itu. "Hey, kenapa?" tanyanya lembut. Meraih bahu Sabiya. Menatap sepasang galaxy itu yang sudah beberapa kali mengeluarkan air mata. Membuat binarannya meredup. "Kamu kesal menunggu?" Sabiya menggeleng. Sebelah tangannya sibuk mengusap air matanya dengan kasar. Membuat Romeo meraih tangan itu. Menggantikan kegiatan Sabiya. Menangkup pipi perempuan itu lembut. Dan memaksa Sabiya agar menatapnya. "Kenapa?" tanyanya lagi. Dengan nada yang lebih tegas. Sedetik setelahnya air mata Sabiya kembali menetes perlahan. Haish! Kenapa akhir-akhir ini Sabiya senang sekali membuatnya khawatir? Baru tadi pagi perempuan ini menangis terisak di pantry. Sekarang, saat pulang kerja masih melakukan hal yang sama. Apa Sabiya tidak lelah menangis terus? Romeo yang menenangkannya saja sudah dibuat kebingungan. Harus dengan cara apa lagi agar Sabiya tidak terus-terusan bersedih. "Kenapa Bapak mencintai saya?" Romeo sukses terdiam dengan pertanyaan itu. Apa Sabiya bercanda? Sedang mencoba menjebaknya atau bagaimana. Tidak adakah pertanyaan lain yang lebih mudah dijawab. Ayolah. Ini masalah hati, soal cinta yang tidak bisa dijawab dengan sekali tarikan napas. Bukan karena Romeo tidak mencintai Sabiya sampai tidak bisa mengajukan satu alasan saja. Tapi karena Romeo mencintai perempuan di hadapannya tanpa alasan. Hatinya sudah memilih dan itu tertuju sepenuhnya pada Sabiya. "Bapak nggak bisa jawab, 'kan? Ucapan cinta tadi cuma omong kosong, 'kan? Bapak menjanjikan pertanggungjawaban karena merasa bersalah. Bapak cuma nggak mau hidup dalam kesalahan. Begitu 'kan Pak?" Sabiya tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri. Yang sempat dibuat melambung karena ungkapan cinta itu. Tapi setelah beberapa kalimat Mira terucap, Sabiya sadar sekarang. Tidak ada satu pun yang berhak menjadi alasan untuk Romeo mencintai Sabiya. Hanya perempuan biasa, dari keluarga biasa yang tidak memiliki harta berlimpah seperti Romeo. Bahkan Sabiya belum lulus. Masih menjadi mahasiswi akhir yang kesulitan mengerjakan Tugas Akhir. Paras Sabiya juga biasa saja dengan gaya pakaian yang terkesan sederhana. Romeo bahkan bisa mendapatkan perempuan yang lebih darinya dalam segala hal dengan mudah. Sadar Sabiya! Romeo hanya ingin menebus kesalahannya. "Kalau memang Bapak hanya ingin menebus kesalahan lebih baik kita nggak usah melaksanakan pernikahan itu," ucap Sabiya lirih. Menatap Romeo yang masih diam di tempatnya. Tanpa mengucapkan apapun, atau berusaha memberi penjelasan. Setidaknya untuk membuat Sabiya tetap di sini. Pada pilihan awalnya, mulai menerima Romeo. Sabiya tersenyum pahit. Mengusap air matanya yang kembali lolos. Setelahnya berbalik. Sudah tidak ada lagi yang diharapkan dari sosok Romeo. Lelaki itu memang tidak mencintainya. Dan ucapan Sabiya, mungkin menyadarkan Romeo. Membuat si lelaki memilih berhenti. Untuk apa menikahi perempuan yang tidak dicintai hanya karena alasan pertanggungjawaban. Konyol. Sabiya sudah menghabiskan banyak waktu untuk menangisi semuanya. Tapi malah berakhir seperti ini. Bodoh! Kamu benar-benar bodoh Sabiya! Tepat langkah ketiga, tubuh Sabiya tertarik ke belakang. Menghantam d**a bidang itu membuat Sabiya memekik lirih. Saat si perempuan mengangkat wajahnya untuk mengutarakan protes, Romeo sudah terlebih dahulu membungkam bibir itu. Bergerak kasar dan menuntut. Memaksa untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dengan Sabiya yang masih sibuk dengan keterkejutannya. Tidak sedikit pun memberikan waktu untuk Sabiya berpikir. Romeo kembali bergerak mengangkat tubuh lemas itu, tanpa melepaskan Sabiya sedikit pun. Memasuki mobil yang entah sejak kapan terparkir di sana. Duduk di kursi belakang dengan Sabiya di pangkuannya. Masih sibuk dengan kegiatannya tanpa memikirkan sekretaris Romeo yang berusaha mati-matian agar tetap fokus dengan kemudinya. Romeo harus membayar mahal untuk tugas sekretarisnya sore ini. Membiarkannya mengemudi dengan si bos dan calon istri yang sibuk di kursi belakang. Romeo baru melepaskan Sabiya saat perempuan itu mulai kehabisan napas. Memberikan ciuman penutup pada bibir bengkak itu. Setelahnya membiarkan Sabiya menarik napas sebanyak-banyaknya dengan kepala bersandar di d**a bidang itu. Sebelah tangan Romeo terangkat, memberikan usapan lembut pada kepala Sabiya. "Berhenti memikirkan hal yang tidak perlu," bisiknya lembut membuat debaran jantung Sabiya semakin terasa. Menggedor-gedor hebat. Seolah ingin loncat dari tempatnya. "Saya memiliki hak untuk menjawab apa-apa yang kamu tanyakan, dan saya juga memiliki hak untuk tidak menjawab. Bukan karena saya menyangkal pertanyaan kamu. Hanya saja, saya tidak memiliki alasan untuk itu." Sabiya tidak memberikan respon. Otaknya masih sibuk meresapi kejadian yang terasa begitu cepat. Dengan kalimat-kalimat sederhana yang entah bagaimana membuat hatinya tenang. "Tapi jika kamu memaksa, jawaban saya hanya satu." Romeo menjeda kalimatnya hanya untuk menunduk. Menatap wajah Sabiya yang sudah memerah. Dengan napas yang masih tersengal. "Saya mencintai kamu." Sabiya sudah benar-benar lemas. Hanya mampu membalas tatapan itu dengan mata sayunya. Romeo benar-benar sialan! Menggunakan pesonanya untuk membuat Sabiya diam, tidak berkutik. Hanya pasrah dengan dua jantung yang saling bersahutan. Bukti dari kata cinta yang diiyakan hati masing-masing. Hanya saja Romeo masih membutuhkan waktu untuk membuat Sabiya mengakui perasaannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD