9 | Kertas Undangan

1995 Words
Setelah bolos seminggu lamanya, hari ini Sabiya kembali memunculkan dirinya di kantor. Kedatangannya pagi ini tentu saja disambut dengan antusias oleh Shilla cs. Ketiganya langsung mengerubungi meja Sabiya seperti biasanya. "Bi akhirnya. Sakit apa sih lo nyampe seminggu? Kita mau jenguk tapi nggak tahu alamat lo," cerocos Erika seperti biasanya. Gaya seorang reporter yang penasaran nampak jelas di sana. Sabiya hanya tersenyum. Dalam hati bergumam, kenapa Erika tidak bekerja di media saja yang jelas sesuai dengan kemampuannya itu. Malah memilih bekerja di kantor yang lebih sering mengurusi laporan-laporan memuakkan. "Mbak udah hubungi kamu berkali-kali tapi nggak nyambung. Kami 'kan khawatir Bi," sahut Shilla tidak kalah antusias. Sedangkan Jerry bagian mengangguk setuju saja. "Nggak enak badan aja kok Mbak. Udah nggak apa-apa sekarang. Nggak usah khawatir." Sabiya menjawab itu dengan senyuman lebarnya. Tidak mungkin juga akan menceritakan yang sebenarnya. "Lo tirusan tahu Bi. Nih lihat mata lo juga bengkak begini, lo kurang tidur?" Erika menangkup pipi Sabiya yang memang lebih tirus dari sebelumnya. "Jangan dipaksain Biya. Kalau capek ya istirahat aja, malah sampai sakit begitu." "Iya Bi, nggak lulus tahun ini lo bisa lulus tahun depan. Jangan dipaksain begitu. Kasihan badan lo," sahut Jerry yang langsung mendapat pukulan keras di bahunya. Pelakunya tentu saja Erika. Tidak ada makhluk lain yang hobby memukul Jerry kecuali Erika. "Lo kalau mau kasih nasihat yang bener. Emang lo lulusnya telat!" Jerry hanya berdecih sebal. Baru juga mengatakan satu kalimat panjang, tapi sudah dianggap salah oleh Erika. "Bi nggak usah dengerin dia. Maksudnya begini, lo emang harus lulus tahun ini tapi jangan sampai kecapekan juga. Lo harus jaga kesehatan." Sabiya tertawa pelan dengan tingkah tiga seniornya itu. Tapi walaupun begitu Sabiya merasa banyak yang peduli padanya. Sampai tiga karyawan yang baru ditemuinya di kantor belum lama ini juga sepeduli itu. Hanya saja Sabiya juga tidak tahu apakah ketiganya akan tetap peduli padanya seperti ini, jika sudah tahu satu rahasia antara dirinya dengan bos mereka. "Ehh tahu nggak sih kabarnya Pak Manajer mau nikah?" Erika mengalihkan pembahasan dengan berita terbaru di kantor. "Manusia satu kantor udah tahu kali, Er. Gue aja udah dapat undangannya." Jerry berujar sombong sembari menunjukkan kertas undangan. Disusul Shilla, melakukan hal yang sama. Erika tentu saja dibuat melongo. Merasa tidak terima karena berita yang dibawakannya kali ini, lagi-lagi sudah diketahui oleh orang lain. Sepertinya kemampuan Erika untuk bergosip mulai menurun. "Kok gue belum dapat undangannya?" sahutnya dengan nada kesal. Ketiga rekannya hanya tersenyum singkat. "Mungkin Pak Manajer males ngundang lo, nanti ada kurangnya lo gosipin lagi di kantor," jawab Jerry seadanya. Erika hanya berdecih sebal. Beralih merebut kertas undangan itu dan diperhatikan dengan seksama. "Ck, ck, ck gue nggak nyangka selera Pak Manajer yang modelan jutek nggak berperikemanusiaan kaya si Mira," komentar Erika setelah melihat-lihat isi undangan itu. Shilla otomatis melotot karena Erika berucap keras. Sudah jelas-jelas Mira satu divisi dengan mereka. Bisa-bisanya Erika dengan entengnya mengucapkan kejelekan Mira. "Santai kali Mbak, si Mira 'kan lagi keluar." Santai, santai! Erika 'kan memang begitu. Tidak pernah peduli dengan sekitar. Memang Mira sedang keluar tapi di ruangan ini tidak hanya ada mereka berempat. Siapa tahu 'kan ada yang bermulut ember dan mengatakan celaan Erika pada Mira. Sabiya yang baru sadar akan satu hal meraih undangan itu. Menatap dua nama yang ditulis besar di sana. Entah bagaimana dadanya mulai sesak. Kenyataan menyakitkan memang selalu tepat sasaran saat menghantam. Membuat luka di hati Sabiya yang belum sembuh, kembali tergores. Bahkan menorehkan luka yang lebih dalam. Yang Sabiya tahu tidak akan semudah itu sembuh. Alvaro benar-benar melakukan pengkhianatan terus-terusan. Setelah aksi perselingkuhan itu, tanpa adanya ucapan maaf. Lelaki itu justru kembali muncul dengan membawa kertas undangan. Jangan lupakan perempuan yang digandengnya, dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah menertawakan Sabiya yang saat ini sedang berusaha mencapai permukaan. Tapi kembali dibuat tenggelam oleh kenyataan yang ada. Sabiya memperhatikan dalam diam. Matanya terus menyorot ke arah Alvaro yang sedang menyampaikan maksudnya. Mengundang karyawan satu divisi untuk menghadiri pesta pernikahannya. Disambut sorakan bahagia para karyawan. Sabiya menghela napas panjang. Apa ia sedang menjadi peran antagonis saat ini? Menjadi satu-satunya manusia yang tidak senang dengan berita pernikahan itu. Apa Alvaro tidak punya otak sampai bisa bertingkah dengan santai? Mengatakan maksud pernikahannya dengan si selingkuhan, tepat di hadapan sang kekasih yang sudah disakiti. Ahh ralat, mantan kekasih lebih tepatnya. Ya, seharusnya Sabiya sadar akan hal itu. Saat ini ia tidak lebih dari seorang mantan kekasih. Si masa lalu yang harus segera dilupakan. Atau lebih tepatnya, Alvaro sudah melupakan keberadaannya. Menutup rapat kisahnya bersama Sabiya. Menyisakan Sabiya di sini yang susah payah melupakan semuanya. Jika sudah seperti ini tidak ada alasan, selain melupakan semuanya. Walaupun Sabiya sudah mencobanya berkali-kali beberapa hari ke belakang. Dengan hasil yang tidak bisa dikatakan baik. Sabiya tidak bisa melupakan semuanya dengan mudah. Alvaro terlalu mendominasi dalam kehidupan masa lalunya. "Bi, saya harap kamu bisa datang ke pernikahan kami." Sabiya yang sebelumnya menunduk, mulai mengangkat wajahnya. Menatap Alvaro dan uluran tangannya itu bergantian. Menghela napas, kemudian menunjukkan senyuman manisnya. Menerima undangan itu dan mengiyakan ucapan Alvaro. Lelaki itu sempat tertegun. Menatap lekat pada wajah Sabiya yang terlihat semakin cantik, dengan senyuman yang sama. Sabiya sudah merelakannya kah? Sampai tidak terlihat wajah kehilangan sama sekali. Justru senyuman mengembang yang penuh ketulusan. Sementara Mira sedikit menunjukkan wajah juteknya. Berdecih sebal karena Alvaro lagi-lagi hanyut terlalu dalam pada wajah Sabiya. Menarik sebelah tangan Alvaro untuk memutus kontak. Setelahnya kedua pasangan itu berlalu. Masih ada beberapa divisi lain yang harus menerima undangan itu. Termasuk Pak Romeo yang terhormat. *** Pantry, satu-satunya tempat yang Sabiya tuju. Menyeduh teh hijau mungkin bisa membuat kondisinya lebih baik. Setidaknya aroma menyegarkan itu membuat pikirannya tenang. Sabiya sedang tidak ingin memikul beban apapun kali ini. Sebentar saja, biarkan Sabiya bernapas dengan baik. Tanpa perasaan menyakitkan yang setiap harinya semakin menyiksa. "Di sini ternyata, pantas di ruangan tidak ada." Sabiya menoleh. Disambut senyuman Romeo yang baru saja memasuki pantry. Berjalan mendekat dan berdiri tepat di samping Sabiya. Menelisik pada gelas Sabiya yang sudah terisi penuh dengan aroma menenangkan. Membuat Romeo bisa merasakan ketenangan yang sama. Apalagi jika kedua tangannya merengkuh tubuh mungil di sampingnya, dengan dagu yang menumpu pada bahu sempit itu. Ahh Romeo mulai lagi. Jangan berpikir bisa melakukan hal-hal seperti yang ada dalam otakmu, Romeo! Sabiya masih belum menerima maaf itu sepenuhnya. Romeo juga tidak ingin memaksa Sabiya untuk segera memaafkannya. Biarkan, semau Sabiya. Dengan begitu Romeo akan semakin gencar mendekati Sabiya. Agar perlahan, perempuan itu bisa melihat kesungguhannya dan berakhir menerimanya. "Bapak mau apa?" tanyanya pelan, tanpa menoleh. Sabiya masih sibuk mengaduk teh hijaunya. Romeo sedikit tersentak. Sabiya bertanya padanya? Tiga kata yang terlampau singkat tapi menimbulkan senyuman Romeo terbit di sana. "Kopi," jawabnya singkat. Sabiya menghela napas, menoleh ke arah samping. Membuat pandangan mereka bertemu. Untuk sesaat Romeo kembali terhipnotis oleh binaran indah di kedua galaxy itu. Benar-benar cantik sampai Romeo enggan mengalihkan pandangannya. "Saya 'kan udah bilang, Pak. Jangan kebanyakan minum kopi! Pasti pagi tadi sebelum sarapan Bapak udah minum kopi 'kan, sekarang kopi lagi, siang nanti kopi lagi, malam juga. Rusak nanti lambung Bapak!" Romeo tidak bisa menahan senyumannya. Astaga! Ini dia yang Romeo suka dari diri Sabiya. Si perempuan cerewet yang bisa mengeluarkan rentetan kalimat panjang. Bernada kesal tapi ada perhatian di sana. Membuat Romeo melambung. Meskipun belum memaafkannya tapi tidak bisa mengelak, jika perempuan itu peduli. "Bi sepertinya saya tidak bisa mengulur waktu lagi," ucapnya lembut. Sabiya dibuat merinding. Entah Romeo sengaja atau hanya kebetulan. Tapi suara itu masuk perlahan ke telinganya. Seolah mengetuk dengan begitu sopan. Membuat bulu-bulu halus di sekitar lehernya meremang. "Maksud Bapak?" Sabiya sudah merasakan hawa buruk di sekitarnya. Instingnya seolah memberikan sinyal bahaya yang membuat diri Sabiya lebih mengetatkan pertahanan. Apalagi napas Romeo semakin lembut menyapa sekitaran leher. Sialan! Romeo memang sialan! Si pencari kesempatan. Kemarin saja saat keduanya berhadapan, ada Mama dan Bunda juga. Romeo hanya diam, tidak berkutik. Tapi saat hanya berdua begini, sifat aslinya langsung terlihat. "Saya sudah tidak sabar menjadikan kamu istri saya." Kurang ajar! Setelah kalimat yang berhasil membuat kaki Sabiya lemas itu, si lelaki dengan tidak tahu diri memberi kecupan singkat di sebelah pipinya. Sabiya sebisa mungkin menahan amarahnya. Masih sadar betul. Ini kantor Romeo. Sabiya hanya ingin menghormati Romeo seperti yang dilakukan karyawan lain. Jangan sampai ada yang menangkap keduanya dalam keadaan bertengkar. Tidak mau melunturkan kewibawaan Romeo di hadapan para karyawannya. Bagaimanapun Romeo adalah pemimpin yang harus dihormati. Tapi perilakunya saat ini berhasil membuat darah Sabiya mendidih. Sekali tidak sopan tetap tidak sopan. Sayangnya Sabiya tidak memiliki banyak tenaga untuk menentang kelakuan menyebalkan itu. "Pak!" panggilnya pelan. Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menahan suara aneh yang timbul begitu saja akibat perlakuan Romeo. Yang saat ini sedang menenggelamkan wajahnya di lehernya. Gerakannya cepat dan berantakan. Sabiya juga bisa merasakan gigitan di beberapa bagian. Apa Romeo memandangnya serendah ini? Bisa sesuka hati dimainkan. Tanpa memikirkan perasaan Sabiya yang semakin digerogoti rasa sakit. Romeo masih menjelajah di sana. Matanya sudah terpejam erat. Kedua tangannya mengukung Sabiya di antara tubuhnya dan pantry. Anggap saja Romeo gila karena kembali menorehkan rasa sakit pada diri Sabiya. Tanpa disadari oleh dirinya sendiri. Romeo hanya terlalu mendamba pada perempuan ini. Ingin memilikinya lebih, hanya untuk dirinya sendiri. Namun sayangnya, cara yang digunakan salah. Isakan Sabiya menyadarkan Romeo dari kegiatannya. Kedua mata itu seketika melebar dengan wajah blank. Bodoh! Sabiya kembali terluka karena kelakuannya. Baru saja hari kemarin Sabiya mulai menerimanya. Sialan! Romeo berkali-kali mengumpati dirinya sendiri dalam hati. Menatap penuh rasa bersalah pada perempuan yang saat ini sudah sibuk dengan air matanya. Romeo kembali tenggelam. Niatnya menyusul Sabiya ke pantry tentu bukan untuk alasan yang satu ini. Romeo baru saja mendapatkan undangan yang sama. Berniat menemani Sabiya yang sedang sakit hati. Berperan sebagai sosok yang mendampingi Sabiya dalam segala kondisi. Bukan malah menambah rasa sakit itu dalam hati si perempuan. "Bi," panggilnya lembut. Meraih sepasang bahu yang sudah bergetar. Dengan kondisi tubuhnya yang sudah lemas, Sabiya masih melakukan penolakan. Membuat sudut hati Romeo tercubit. Kepercayaan yang Sabiya bangun kembali runtuh. "Maaf. Lagi-lagi saya menyakiti kamu," ucapnya lembut. Masih berusaha membawa Sabiya ke pelukannya. Tapi si perempuan masih kukuh dengan penolakannya. "Terserah kalau kamu masih mau marah. Tapi kamu harus mendengarkan ini baik-baik. Apa yang saya lakukan tadi, itu murni karena perasaan saya." Sabiya mengangkat wajahnya. Menatap penuh kebencian dengan air mata yang masih mengalir deras. Romeo lagi-lagi merasakan dadanya sesak. Ia tidak suka melihat Sabiya begini. Dan bodohnya, itu terjadi karena kesalahannya. "Saya hanya berharap, Bapak nggak memandang saya sebagai boneka. Yang bisa Bapak mainkan dengan sesuka hati." Seperti tamparan yang begitu keras. Sabiya mengucapkan kalimatnya dengan nada datar yang dingin. Setelahnya Sabiya berlalu dari sana. Meninggalkan Romeo dengan kepercayaan yang sempat tumbuh, kembali hilang perlahan. Digantikan rasa benci yang membuat dua hati itu semakin merasakan sakit. Romeo tidak mau kehilangan kesempatan itu lagi. Tidak ingin kepercayaan yang susah payah Sabiya tumbuhkan kembali runtuh. Membuat perempuan itu kembali membencinya. Dengan gerakan secepat yang ia bisa, Romeo meraih sebelah tangan Sabiya. Menjatuhkannya ke dalam pelukannya. Sabiya memberontak beberapa kali, memukuli dadanya, dengan isakan yang kian menusuk pendengaran. Namun tenaga Romeo yang lebih besar itu, membuat Sabiya menyerah. Lelah dengan penolakannya yang selalu ditepis kuat oleh Romeo. "Saya mencintai kamu Biya. Benar-benar mencintai kamu," bisiknya lembut saat Sabiya sudah diam di posisinya. Memeluk tubuh itu lebih erat. "Berhenti berpikir kamu tidak berarti apa-apa. Karena pada kenyataannya kamu begitu berharga. Saya mencintai kamu sampai rasanya hampir gila. Saya ingin memiliki kamu untuk diri saya sendiri. Perlakuan saya itu murni karena saya mencintai kamu." Romeo menutup percakapan itu dengan ciuman lembut di kening Sabiya. Isakan Sabiya yang sempat terhenti kembali terdengar jelas setelah pernyataan cinta itu. Perlahan, kedua tangan Sabiya merambat naik. Membalas pelukan Romeo. Membuat hati Romeo menghangat. Itu berarti Sabiya kembali memberinya kesempatan bukan? Tanpa keduanya sadari, tepat di depan pintu pantry Alvaro mendengarkan percakapan itu sejak awal. Ada yang terasa mengganjal dalam hatinya. Seperti jarum kecil yang menusuk begitu dalam. Membuat napasnya sesak. Tapi semua sudah terlanjur. Alvaro sudah menyakiti Sabiya terlalu dalam. Tidak ada celah lagi untuk kembali karena pilihan Alvaro juga sudah tertuju pada Mira. Berharap Sabiya bisa hidup bahagia setelah ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD