4 | Di Apartemen Pak Romeo

1412 Words
Kali kedua Sabiya menginjakkan kakinya di apartemen Romeo. Entah perasaannya saja atau memang iya. Saat ini Sabiya bisa merasakan hawa berbeda yang mampu membuat bulu-bulu halus di sekitar lehernya meremang. Tidak mungkin ada hantu yang menghuni apartemen Romeo, 'kan? Atau makhluk astral lain yang mengganggu Romeo. Sampai efeknya, lelaki itu tetap menyendiri sampai usia 25 tahun. Huh, jelas bukan. Sabiya meruntuki kebodohannya. Mana ada hantu yang berpengaruh pada nasib manusia. Abaikan itu. Sabiya hanya terlalu lelah sampai berpikir ngawur. "Hah." Perhatiannya teralihkan pada Romeo yang sudah duduk di sofa panjang. Mengangkat kedua tangannya ke atas. Meregangkan otot-ototnya yang kaku. Setelahnya, lelaki itu mulai melepas jas kerjanya. Disusul dasi yang mengikat kuat di bagian leher. Menyampirkan asal di kepala sofa. Tanpa sadar Sabiya berdecak sebal, saat si lelaki melepas sepatunya asal. Ujung sepatu sebelah kiri menahan di tumit kanan, begitu juga sebaliknya. Membuat sepatu di bagian tumit tertekuk. Menghasilkan garis-garis halus yang lama kelamaan akan terlihat jelas. Membuat sepatu itu terlihat sedikit buruk. "Apa Bapak nggak pernah diajari melepas sepatu dengan baik dan benar?" Romeo mengerutkan kening tidak mengerti. Sedetik kemudian lelaki itu menganga tidak percaya saat Sabiya berjongkok di hadapannya. Melepas kaos kakinya dengan gerakan lembut. Perempuan itu juga merapikan sepatu yang sebelumnya tercecer. Menatanya lagi di rak samping pintu. "Bapak memang kaya raya, tapi nggak bisa seenaknya begitu. Bapak harus memikirkan banyak orang di luar sana yang mau beli sepatu kaya Bapak. Jangan seenaknya sama barang. Kalau aja mereka punya perasaan pasti mereka sedih diperlakukan semena-mena sama Bapak." Romeo sukses melongo dengan penuturan panjang lebar itu. Sabiya baru saja menasihatinya? Dengan kalimat panjang yang nyaris mengisi satu paragraf. Tapi tidak bisa dipungkiri, senyuman Romeo muncul perlahan. Hatinya menghangat dengan perhatian tersirat itu. "Di mana mesin cucinya?" tanyanya setelah meraih jas kerja dan dasi yang sebelumnya tersampir asal. Romeo tidak langsung merespon. Masih sibuk terpesona dengan wajah cantik Sabiya yang terlihat semakin cantik saat sedang marah-marah. "Pak!" sentak Sabiya. Romeo tersadar. Mengusap wajahnya kasar. Menghela napas panjang beberapa kali. Mencoba menetralkan debaran jantungnya. Romeo tidak menyangka hatinya yang membatu berhasil dicuri oleh Sabiya. Hanya dalam beberapa kali bertemu. "Ada di samping dapur." Sabiya mengangguk. Langsung melangkah ke tempat yang Romeo tunjukkan. "Kamu tidak istirahat dulu, Bi?" "Nggak! Supaya cepat selesai dan saya bisa cepat pulang!" sahut Sabiya dari arah belakang. "Yah kok gitu? Padahal saya mau kamu tidur di sini lagi." Itu tidak serius. Romeo hanya ingin menggoda Sabiya. Pasti perempuan itu sedang mengeluarkan sumpah serapahnya dengan suara lirih. Dengan wajah yang terlihat lebih cantik tentunya. Membayangkannya saja berhasil membuat Romeo senyum-senyum tidak jelas. Mungkin untuk ke depannya, Romeo akan menjadikan kegiatan menggoda Sabiya sebagai kewajiban. Sementara itu, Sabiya menghela napas panjang saat melihat setumpuk baju Romeo yang belum dicuci. Tidak menyangka jika si bos besar yang kaya raya ternyata memiliki sifat malas. Mungkin terlalu fokus pada bisnisnya sampai melupakan bajunya yang kian hari kian menggunung. "Dasar laki-laki," gumamnya pelan. Baiklah mari mulai pekerjaan ini. Sabiya melepas blazernya karena itu cukup mengganggu. Menggulung lengan kemeja putihnya sebatas siku. Perempuan itu juga menggulung rambutnya agar lebih mudah dalam menyelesaikan tugas. Memang tugas Sabiya hanya mencuci kemeja yang sempat dikotori kemarin. Tapi melihat baju kotor yang menggunung membuat matanya risih. Ingin segera membersihkan semuanya. Hitung-hitung membantu sesama manusia. Setelah memasukkan baju-baju Romeo ke mesin cuci, Sabiya beranjak dari sana. Memeriksa dapur yang terlihat bersih. Tanpa adanya tumpukan piring dan peralatan makan lainnya. Semua tertata rapi pada tempatnya. Mungkin Romeo rajin mencuci peralatan setelah digunakan, atau lebih tepatnya lelaki itu tidak pernah menyentuh dapur. Sabiya menghela napas panjang saat membuka kulkas di sudut dapur. Tidak ada bahan makanan yang layak. Kulkas dengan dua pintu itu hanya berisi makanan ringan, makanan cepat saji, dan beberapa botol minuman berkarbonasi. Oh satu lagi yang membuat Sabiya bergidik ngeri. Di bagian paling bawah diisi penuh oleh botol-botol red wine. Benar-benar hidup Romeo yang tidak sehat. "Apa nggak ada bahan makanan yang lebih layak dari ini?" Sabiya meraih dua bungkusan pasta. Karena memang tidak ada bahan makanan lain. Lumayan untuk mengganjal perut. Daripada kelaparan. Romeo juga sepertinya belum makan karena setelah dari kantor keduanya langsung pulang ke apartemen. Entahlah ini termasuk perilaku kurang sopan atau bukan. Sabiya hanya kelaparan dan ingin makan. Lagi pula, Sabiya sudah membantu mencuci pakaian Romeo. Anggap saja ini sebagai bayaran atas bantuannya. "Kamu masak, Bi?" Sabiya tersentak karena suara berat yang berasal dari arah belakang. Melirik sekilas mendapati Romeo yang berjalan mendekat. Berdiri tepat di sampingnya. Menelisik masakan yang sedang dibuat Sabiya. "Maaf Pak, saya langsung ambil. Nggak minta izin dulu sama Bapak." Lelaki itu mengangguk sambil lalu. Meraih bungkusan kopi hitam dari tempat penyimpanan. "Suka kopi, Bi?" "Nggak, Pak. Saya nggak minum kopi." "Tidak suka atau tidak doyan?" "Dua-duanya," jawab Sabiya singkat. Beralih menyiapkan bumbu untuk pastanya yang sudah matang. Sementara Romeo melanjutkan acara membuat kopi, yang hanya untuknya sendiri. "Di kulkas nggak ada sayuran atau buah, Pak? Cuma ada makanan dan minuman instan." "Saya tidak bisa masak dan memang jarang makan di rumah." "Tapi seharusnya Bapak stok sayuran dan buah-buahan. Minimal buah supaya ada makanan sehat yang masuk ke lambung. Kasihan Pak, setiap harinya sudah bekerja keras tapi kebutuhan nutrisi tubuh nggak dipenuhi. Nanti yang ada Bapak bisa mati muda." Romeo menghentikan kegiatannya hanya untuk menoleh ke arah si perempuan. Yang saat ini sedang membawa dua porsi pasta ke meja makan. Tercengang tentu saja. Sabiya tergolong nekad karena berani menasihati bosnya. Romeo juga seharusnya merasa tidak terima dinasihati begitu oleh seorang perempuan yang bahkan belum lulus dari kuliahnya. Tapi entahlah, Romeo merasa itu sah-sah saja. Tidak ada perasaan kesal, marah, atau bahkan direndahkan. Romeo justru senang dan lagi-lagi hatinya menghangat. "Di rak bawah juga ada wine, minuman bebas alkohol cuma ada soda. Bapak nggak minum air putih?" Perempuan itu menoleh sekilas. Romeo masih terpaku di tempatnya. Sedetik kemudian hanya gelengan kepala yang Sabiya dapat sebagai respon. "Saya nggak bisa bayangin gimana kondisi pencernaan Bapak sekarang. Minuman kaleng itu nggak sehat, Pak. Apalagi wine. Bapak juga masih konsumsi kopi. Coba sodanya diganti air mineral. Itu nggak cuma baik buat kesehatan, tapi memang tubuh Bapak ini butuh." Romeo semakin tercengang saat Sabiya meraih gelas dan satu bungkus kopi dari tangannya. "Bapak langsung makan aja." Romeo tidak banyak tanya. Memilih menuruti perintah Sabiya. Sedikit aneh memang, Romeo yang notabennya tukang suruh bisa dengan suka rela disuruh-suruh. Tak .... Sabiya meletakkan dua gelas air putih di atas meja. Romeo tentu saja tidak terima. Bukannya tadi ia menginginkan kopi. Kenapa mahasiswi magang ini seenaknya menggantinya dengan air putih? "Air putih lebih bagus. Lagian Bapak makan pasta, ditambah kopi. Nggak sehat, Pak," ucap Sabiya sebelum Romeo mengajukan protesnya. Luar biasa memang perempuan di hadapannya ini. Banyak hal tidak terduga terjadi di antara keduanya. Yang paling sulit dipercaya hal yang baru saja terjadi. Romeo yang iya-iya saja, memilih menuruti. Padahal jika ibunya yang menasihati, Romeo masih bisa menyangkalnya. Keduanya makan dalam diam. Romeo sesekali melirik si perempuan. Sabiya terlihat begitu menikmati menu makan malamnya. Sampai tidak meliriknya sedikit pun. Membuat Romeo enggan mengganggu perempuan itu. Sebenarnya ada yang mengganggu Romeo sejak tadi. Penampilan Sabiya yang terlampau cantik di matanya. Perempuan itu melepas blazernya. Menyisakan kemeja putih yang digulung sebatas siku. Rambutnya digulung ke atas. Menyisakan baby hair yang menjuntai di sekitar leher yang terpampang jelas. Iya, ada di sana pusat ketidakfokusan Romeo. Leher putih Sabiya yang terpampang jelas dan seolah menggodanya. Sempat muncul pemikiran liar, sepertinya leher putih itu jauh lebih nikmat dibandingkan pasta yang sedari tadi belum disentuhnya. Romeo tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Setelah kehadiran Sabiya semuanya seolah berubah. Perempuan itu begitu menarik di matanya, sampai Romeo enggan mengalihkan perhatiannya barang satu detik. Dan kondisi saat ini cukup membuat kepala cerdas itu melayang jauh. Sabiya yang berada di apartemennya, malam hari dengan udara dingin karena sedang hujan. Perempuan itu juga mencuci pakaiannya serta membuatkan makan malam. Sudah seperti seorang istri bukan? Hah memikirkannya saja membuat Romeo ingin cepat-cepat mengupgrade status Sabiya. Sebagai sebenar-benarnya seorang istri. "Bi." "Ya." Sabiya menghentikan kegiatannya. Beralih tatap ke arah depan. Menunggu Romeo mengutarakan maksudnya. "Kamu tidak keberatan 'kan menikah di masa akhir perkuliahan?" Sabiya mengerutkan keningnya. Tidak mengerti dengan pertanyaan itu. Ke mana sebenarnya arah pembicaraan Pak Romeo? "Maksud, Bapak?" "Kalau tidak keberatan saya akan secepatnya datang ke rumah untuk melamar kamu." Sabiya melongo dengan penuturan itu. Apa Romeo sudah gila sampai mengatakan kalimatnya dalam sekali napas? Terlihat tidak ada keraguan dalam kalimat itu. Sabiya tidak menjawab apa-apa. Masih terkejut yang berimbas pada debaran jantungnya. Kemudian merambat naik, membuat sepasang pipinya memerah. Haruskah Sabiya menerima lamaran yang terdengar tidak seperti lamaran itu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD