"Huaaa akhirnya jam makan siang." Erika berucap agak keras sembari mengangkat tangannya. Meregangkan otot-ototnya yang kaku, digunakan untuk bekerja setengah hari ini.
Di samping mejanya, Jerry juga melakukan hal yang sama. Tapi masih dalam tahap wajar. Tidak seheboh Erika yang memang si biang kerok. Sedangkan di bagian belakang, Sabiya masih sibuk dengan otaknya yang tidak hentinya memutar ulang kejadian di ruangan bosnya. Menggigit bibir bawahnya, wajah cemas, dengan kedua tangan yang sesekali menepuk kening, sembari bergumam, lupain semuanya Biya, lupain!
Shilla yang menyudahi pekerjaannya lebih awal, untuk menyantap bekal sayuran rebus dan buah-buahan segar untuk memenuhi nutrisi bayi dalam kandungannya, hanya menatap Sabiya tidak mengerti. Si mahasiswi magang itu sudah sejak tadi melakukan hal yang sama. Sampai tidak fokus dalam mengerjakan tugas.
"Kenapa, Mbak?" Erika melirik Sabiya yang masih sibuk dengan dunianya.
Shilla hanya mengangkat bahunya dengan wajah tidak mengerti. Jerry juga melirik si perempuan magang itu. Menyipitkan matanya saat menangkap sesuatu yang aneh dari Sabiya.
"Kayaknya gue tahu sesuatu," ucap lelaki itu dengan senyuman aneh. Shilla dan Erika saling pandang dengan wajah kebingungan. Saat menangkap senyuman Jerry yang semakin tidak enak dipandang itu, Erika langsung memukul kepala si lelaki.
"Gue tahu isi pikiran lo ini. Nggak usah ngaco," ucapnya garang. Jerry hanya berdecak sebal. Tidak menanggapi lebih. Daripada menerima pukulan yang lebih parah dari rekan kerjanya itu. Tahu betul, Erika bukan hanya berperan sebagai reporter ternama di kantor, tetapi merangkap sebagai pelaku kekerasan dalam ruang kantor.
"Bi ... Biya, hey. Makan siang nggak?"
Sabiya tidak merespon. Pandangannya memang tertuju ke arah depan, tapi terlihat kosong. Wajah cantik itu juga menampilkan kekhawatiran. Lagi-lagi Erika menatap Shilla meminta bantuan. Tapi Shilla juga tidak tahu menahu apa yang sedang terjadi pada perempuan di sampingnya.
Sabiya memang terlihat berbeda sejak muncul di kantor pagi tadi. Perempuan yang biasanya ceria dengan mulut cerewetnya saat ini lebih banyak diam. Seperti memiliki beban pikiran yang mengganggunya.
Tapi Shilla juga sungkan ingin menanyakan masalahnya. Keduanya memang belum begitu dekat. Hanya sebatas hubungan antara anak magang dan senior di kantor yang sesekali membimbing Sabiya. Obrolan mereka selama ini juga hanya sebatas pekerjaan.
Tambahan lainnya berasal dari mulut berbisa Erika, yang akhir-akhir ini mencuci otak Sabiya dengan gosip-gosip seputar karyawan kantor sampai bos mereka.
"Biya," panggil Shilla lembut. Sebelah tangannya menepuk bahu Sabiya beberapa kali membuat perempuan magang itu tersentak. Mengusap wajahnya sembari mengembuskan napas panjang saat menyadari dirinya melamun lagi.
Tatapan ketiga seniornya membuat Sabiya merasa malu. Tertangkap basah sedang tidak fokus.
Sabiya hanya takut kelakuannya selama di kantor diadukan ke bos mereka dan lagi-lagi Sabiya mendapat teguran. Ehm, sebenarnya yang tadi itu tidak termasuk teguran. Romeo bahkan tidak membahas masalah keterlambatan Sabiya dua minggu ini. Lelaki itu hanya menyuruhnya ikut pulang ke apartemen dengan alasan mencuci kemeja yang dikotori Sabiya dua hari lalu.
"Maaf, Mbak. Aku nggak fokus lagi," ucapnya dengan wajah menyesal. Menatap Shilla, Erika, dan Jerry bergantian. Ketiganya hanya mengangguk mengerti.
"Kamu ada masalah? Dari pagi kelihatan nggak semangat?"
Sabiya menggeleng cepat. Tidak mungkin menceritakan masalahnya pada tiga manusia ini. Walaupun Sabiya bisa merasakan ketulusan dari ketiganya. Tapi sepertinya sangat tidak benar jika Sabiya membuka rahasia antara dirinya dengan bos mereka.
"Makan siang yuk, lo makin pucat, Bi."
"Nggak deh Mbak Er. Aku nggak lapar."
"Beneran? Tapi lo pucat begitu."
"Ehm, beneran kok. Kalian makan aja."
Erika mengangguk. Mungkin Sabiya butuh waktu sendiri, begitu pikirnya. "Mau nitip sesuatu buat ngemil?" tanyanya lagi yang direspon dengan gelengan kepala.
"Oke deh. Kalau tiba-tiba lo pengen camilan chat gue aja. Gue bawa ponsel." Erika menunjukkan ponselnya. Sabiya mengiyakan itu. Memasang senyum sebisanya saat tiga seniornya berjalan menjauh. Sampai tidak terlihat di balik pintu ruangan.
Mengembuskan napas panjang, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Matanya menyapu sekeliling. Semua karyawan di ruangan ini sudah pergi. Menyisakan Sabiya dengan segala pemikirannya.
Hanya suara jarum jam yang menemani kesendirian Sabiya. Entahlah, Sabiya merasa kepalanya begitu berat. Setelah tahu kenyataan jika si bos di kantor tempatnya magang adalah lelaki yang sama seperti yang ditemuinya pagi itu, membuat kepalanya semakin berat.
Sabiya sempat berpikir untuk bersembunyi dari si lelaki. Mengabaikan kenyataan jika keduanya pernah tidur bersama. Lagi pula Sabiya tidak mengenal lelaki itu sebelumnya. Tapi ternyata Tuhan masih menyayangi Sabiya. Menghadirkan lelaki itu di kantor yang sama. Sehingga memudahkan Sabiya untuk meminta pertanggungjawaban.
Ya, begitu seharusnya otak Sabiya berpikir. Bukan malah mengabaikan fakta tentangnya dan Romeo. Dan menginginkan untuk melupakan semuanya. Kembali ke kehidupan masing-masing, tanpa mengenal satu sama lain.
Satu kesanggupan Romeo yang ingin mengikatnya juga membuat kepalanya semakin berat. Sekali lagi Sabiya meruntuki otaknya yang tidak bisa berpikir benar. Seharusnya perempuan ini merasa tenang dengan adanya kesanggupan Romeo. Bukan malah sebaliknya. Menganggap semuanya sebagai beban.
Ayolah, bagaimanapun otak Sabiya masih bisa berpikir realistis. Sabiya bukan hidup di negeri dongeng yang menceritakan pertemuan antara perempuan biasa dengan pangeran tampan yang memiliki segalanya, menawarkan hidup bahagia bersama.
Lagi pula Sabiya tidak pernah memimpikan menjadi istri dari pengusaha kaya raya. Dia hanya menginginkan hidup sederhana yang bahagia. Bersama seorang lelaki baik dan bertanggung jawab. Bukan tipe Romeo yang asal menciumnya di pertemuan kedua mereka.
Ya, jika memang Romeo mau mengikatnya karena alasan bertanggung jawab. Tapi Sabiya tidak bisa melupakan fakta jika lelaki itu juga memiliki keluarga. Sabiya tidak ingin berperan sebagai menantu yang tersiksa batin. Bukan karena Sabiya terlalu menyertakan drama dalam kehidupannya. Tapi perbedaan kasta di antara keduanya terlalu mencolok.
Hah! Sabiya menumpu wajahnya pada lipatan tangannya di atas meja. Mencoba memejamkan matanya. Semakin dipikirkan ternyata membuat kepalanya semakin pening. Sabiya hanya ingin melupakan semuanya sejenak.
Beberapa saat mencoba tidur, didukung ruangan yang sunyi, tapi kesadarannya masih penuh. Enggan tidur. Hanya terpejam dengan kepala yang terus memutar beragam pemikiran. Sabiya bukan tidak berusaha melupakan, hanya saja semuanya tercetak di otaknya. Membuatnya terus mengingat itu dengan jelas.
"Kenapa tidak makan siang?"
Suara itu. Astaga! Bahkan otaknya mulai tidak waras. Terlalu memikirkan si lelaki ternyata membuat Sabiya berhalusinasi mendengar suara beratnya. Kembali memejamkan mata seraya bergumam, mengusir bayangan Romeo dari kepalanya. Berharap kali ini berhasil.
Tapi yang terjadi setelahnya, mata Sabiya semakin terbuka lebar. Merasakan usapan lembut di kepalanya, disusul kecupan singkat tepat di puncak kepala. Karena terkejut, perempuan ini mengangkat wajahnya. Menatap tidak percaya pada keberadaan lelaki yang sedari tadi memenuhi kepalanya. Sedang berdiri tepat di depan mejanya, dengan senyuman yang terlampau manis.
Sabiya memejamkan matanya sesaat. Mencoba menetralkan jantungnya yang berdebar. Selalu begitu. Berdebar seenaknya saat berhadapan dengan si lelaki. Saat sepasang mata itu terbuka, senyuman Romeo terlihat semakin manis di matanya. Jika begini, Sabiya akan terkena diabetes di usia yang masih sangat muda.
"Bapak ngapain ke sini?"
Romeo kembali tersenyum. Sebelah tangannya memanjang, memberi usapan lembut di kepala Sabiya, lagi. Tentu saja Sabiya dibuat bersemu karena perilaku sederhana itu.
Sempat berburuk sangka, Romeo bersikap seperti ini bukan untuk membuat Sabiya luluh, 'kan? Agar lelaki itu bisa membalik keadaan, menjadikan Sabiya yang awalnya biasa saja berubah menjadi Sabiya yang membutuhkan Romeo. Setelahnya lelaki itu akan meninggalkannya.
Bagaimanapun Romeo adalah lelaki kaya raya yang bisa mendapatkan segalanya. Bukankah banyak lelaki di luar sana yang mudah meninggalkan korbannya tanpa kata pertanggungjawaban. Hanya meninggalkan sedikit uang dari kekayaannya. Setelahnya sudah, kembali ke jalur masing-masing.
Lelaki sejenis Romeo juga bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih dalam segala hal dibanding Sabiya. Kenapa juga harus repot-repot mendekati Sabiya yang jelas sekali sedikit terganggu dengan keberadaan lelaki itu.
"Kenapa tidak makan siang?"
Sabiya menggeleng lemas. "Saya nggak lapar, Pak."
"Kamu pucat Biya. Mau saya pesankan makanan?"
Sabiya sempat tercengang oleh penawaran itu. Apa harus seperhatian ini? Sabiya hanya takut sikap Romeo tidak tulus, berasal dari hatinya. Sabiya juga tidak mau membawa perasaan di sini.
"Nggak usah, Pak. Saya nggak lapar," ucapnya lagi. Sedikit lebih tegas dibanding kalimat sebelumnya. Tapi kalimat tegas itu tidak mempan untuk seorang Romeo. Lelaki itu masih saja tersenyum.
"Ehm ...." Lelaki itu bergumam panjang. Menarik kursi milik Jerry dan mendudukkan dirinya tepat di hadapan Sabiya. Si perempuan tentu saja dibuat kebingungan dengan tingkah aneh itu.
"Kamu suka apa biar saya pesankan?"
Sabiya dibuat melongo dengan penuturan itu. Bukankah tadi Sabiya mengatakan tidak lapar. Kenapa malah ditawari begini?
"Saya nggak lapar, Pak!"
Sabiya masih mencoba bersabar. Tidak mungkin membentak lebih kasar. Sabiya sadar tempat. Ia hanya mahasiswi magang yang berhadapan dengan bos besar di kantor ini. Terlalu berani jika Sabiya sampai berteriak untuk mengusir si bos. Walaupun kalimatnya tadi sudah cukup tajam untuk ukuran kalimat mahasiswi magang kepada bosnya.
"Sepertinya kamu butuh nasi dan lauk yang sehat. Saya bisa menebak kamu tidak sarapan pagi tadi."
Astaga! Bolehkah Sabiya memukul kepala lelaki ini? Sudah berkali-kali ditolak tapi tetap saja memaksa. Apa kata karyawan di sini nantinya, jika melihat bos mereka sedang bersama Sabiya, yang notabennya mahasiswi magang.
"Baru dua minggu loh udah genit sama Pak Bos."
Mungkin besok pagi akan ada berita seperti itu jika saja Erika bukan teman dekat Sabiya di kantor.
"Bapak nggak perlu repot begini. Saya bisa memesan makanan saya sendiri."
"Tapi saya sudah selesai memesan," ucap si lelaki. Menunjukkan layar ponselnya pada Sabiya. Membuat si perempuan mendesah panjang. Pasrah sudah. Ternyata selain menyebalkan, Romeo juga pemaksa akut.
Lima belas menit yang terasa begitu lama, karena keduanya hanya saling diam, sekretaris Romeo datang. Membawa pesanan bosnya dan meletakkan berjajar di meja Sabiya. Lagi-lagi si perempuan mendesah panjang. Ia sedang tidak napsu makan. Kenapa juga bosnya harus repot-repot memesan banyak makanan sampai memenuhi meja kerjanya?
"Saya tidak tahu makanan kesukaan kamu, jadi silahkan dipilih sendiri yang sekiranya kamu suka."
Tidak ada pilihan lain. Sabiya meraih satu menu dan makan dalam diam. Mencoba mengabaikan Romeo yang masih betah duduk di hadapannya. Sebenarnya Sabiya risih saat ini. Bagaimana tidak, makan berhadapan dengan seorang laki-laki yang terus menatapnya.
Sabiya tidak jaim. Tidak peduli juga dengan penilaian lelaki itu tentang cara makannya yang mungkin berantakan. Hanya saja, keberadaan Romeo membuat Sabiya gugup. Apalagi Romeo hanya diam menatapnya sembari menyunggingkan senyuman. Apa melihat Sabiya makan sebegitu membahagiakan?
"Sampai kapan Bapak akan terus di sini?" tanyanya datar. Bermaksud mengusir. Tapi sekali lagi kalimat menyebalkan itu tidak mempan untuk seorang Romeo.
"Sampai kamu selesai makan. Saya hanya ingin memastikan calon istri saya makan dengan baik."
Lelaki ini benar-benar!
Sabiya memejamkan matanya beberapa saat. Mencoba meredam debaran jantungnya yang terasa semakin cepat. Sembari mengingatkan dalam hati, Romeo hanya membual. Lelaki itu pasti bermulut manis. Bukan hanya Sabiya yang mendapatkan kalimat manis itu. Mungkin saja Sabiya adalah perempuan kesekian.
Tahan Biya! Jangan bawa perasaan!
"Ehh permisi, Pak."
Keduanya menoleh ke arah pintu ruangan. Terdapat perempuan cantik berambut panjang yang sedang memasang wajah terkejut. Jelas terkejut. Mendapati bosnya berada di ruangannya bersama si mahasiswi magang. Sabiya sampai menggigit bibir bawahnya. Takut-takut Romeo akan berucap ngawur pada karyawannya itu.
Romeo hanya mengangguk, mempersilahkan si perempuan untuk kembali ke mejanya. Perhatian Romeo kembali tertuju sepenuhnya pada Sabiya. Mengusap ujung bibirnya lembut, membersihkan sisa makanan yang menempel di sana.
Sabiya? Jangan ditanya. Perempuan itu sudah sibuk melotot dengan pipi merona.
Beberapa detik berjalan, Romeo beranjak dari duduknya. "Jam makan siang sudah habis. Saya kembali ke ruangan, ya? Kamu harus menghabiskan satu porsi pilihanmu, sisanya bisa kamu bagi ke yang lain," ucapnya lembut. Tapi Sabiya masih mendengar nada ancaman di kalimat itu.
Si perempuan hanya mengangguk cuek. Tidak menatap Romeo sama sekali. Masih mencoba menikmati makan siangnya yang sulit tertelan. Bukan karena rasanya yang tidak enak, Sabiya hanya tidak napsu makan.
Sepertinya saat ini otak Romeo sedang tidak beres. Karena sedetik kemudian, lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke arah Sabiya. Memberikan ciuman hangat di kening Sabiya dan menahannya cukup lama. Sabiya sampai menghentikan pergerakannya hanya untuk meresapi rasa hangat yang menempel di keningnya.
Setelah ciuman itu terlepas, tanpa mengucapkan apa-apa, Romeo beranjak dari sana. Menyempatkan diri hanya untuk melirik satu manusia di meja depan yang sedari tadi memperhatikan interaksinya dengan Sabiya.
Sedikit menyunggingkan senyuman sinis. Romeo yakin, perempuan itu sedang menyesali kelakuannya beberapa saat terakhir. Berubah menjadi rasa malu dan bersalah. Tinggal menunggu waktunya tiba. Si perempuan akan datang dan bersimpuh lutut untuk mengakui kesalahannya.
***