5 | Kali Pertama

1655 Words
Pukul sepuluh. Belum terlalu malam untuk ukuran laki-laki dewasa. Bahkan Romeo baru keluar dari kantornya dengan kepala pening. Bukan karena pekerjaan kantor yang menumpuk. Hanya saja sebuah tuntutan yang tertuang begitu saja dari kedua orang tua. Yang Romeo sadari tidak bisa ditentang begitu saja. Romeo memerlukan banyak waktu untuk memikirkan ini. Bukan pekerjaan berat untuk ukuran tenaga manusia. Tapi cukup berat sampai membuatnya kepikiran dan berakhir dengan kepala pening. Hanya mampu memijat pelipisnya di sepanjang perjalanan. Usia 25 tahun yang dinilai belum terlalu tua nyatanya dianggap terlambat untuk ukuran orang tuanya. Romeo harus mendapatkan pendamping hidup dalam waktu dekat jika tidak mau dijodohkan. Begitu pesan tajam yang Ayah tinggalkan siang tadi. Memang menemukan pendamping hidup semudah membalik telapak tangan? Tidak habis pikir dengan permintaan kedua orang tuanya. Romeo lebih memilih memberikan banyak uang sampai rumah mewah, yang jelas saja terjangkau oleh kemampuannya. Bukan berangan-angan dengan keberadaan pendamping hidup. "Haish," kesalnya saat mobil yang dikendarai oleh sekretarisnya berhenti mendadak. Terlampau tiba-tiba sampai kepala Romeo membentur pintu samping. Kejadian ringan yang terasa sangat menyebalkan. Mengingat kondisi Romeo yang sedang tidak baik. "Maaf, Pak. Ada seseorang menyeberang." Romeo mengangguk singkat. Enggan merespon lebih. Kembali menyandarkan punggungnya. Memejamkan matanya sejenak. Siapa tahu ia ketiduran dan saat bangun semua beban itu lenyap. Bagaimanapun, esok hari, Romeo harus kembali mengurusi setumpuk pekerjaan di kantornya. Sedetik, dua detik, sampai nyaris lima menit berjalan, Romeo belum merasakan mobil itu bergerak. Kembali membuka mata untuk memastikan. Kekesalannya sukses bertambah saat tahu ia masih ada di posisi semula. "Ada apa lagi?" tanyanya datar. Sedikit menggeram, menahan amarah. "Maaf, Pak. Tapi perempuan itu tidak kunjung menyingkir." Romeo mengerutkan kening. Menelisik ke arah depan mobilnya. Iya, ada seorang perempuan yang berdiri diam dengan kepala tertunduk. Bukan makhluk astral yang berkeliaran untuk mengganggu pengguna jalan, 'kan? Tentu saja bukan. Ini era modern. Mungkin para hantu sudah mengupgrade kemampuannya. Seperti memesan makanan melalui aplikasi online, mungkin. Atau bahkan mengirim uang melalui internet banking. "Saya akan ke luar, Pak." "Tidak usah. Saya saja." Sudah terlanjur kesal. Seharusnya sekretarisnya sudah melakukan itu sejak lima menit lalu. Bukan malah duduk diam, pasrah menunggu si perempuan menyebrang. "Permisi Nona. Apa Anda baik-baik saja?" tanyanya sopan. Mencoba sopan lebih tepatnya. Romeo masih kesal saat ini. Lihat saja, jika si perempuan hanya bermain-main, Romeo pastikan hidupnya tidak akan tenang. Perempuan di hadapannya masih terus diam. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ayolah ini sudah malam. Romeo malas bermain-main. Ingin segera sampai di apartemen dan tidur dengan nyenyak. Walaupun tidak bisa menjamin tidur Romeo akan nyenyak malam ini. "Nona? Anda berada di tengah jalan saat ini. Bisa menyingkir ke tepi?" Lagi-lagi tidak ada jawaban. Membuat Romeo semakin kebingungan sekaligus kesal. Ragu sebenarnya. Selama bersekolah, Romeo tidak pernah luput dari pendidikan tata krama dan sopan santun. Tapi karena si perempuan tidak merespon juga, Romeo memberanikan diri meraih bahu sempit itu. Terkejut bukan main karena bahu itu bergetar hebat. Detik berikutnya Romeo bisa mendengar suara isak tangis. "Hey, Nona? Anda baik-baik saja?" tanyanya lagi. Merendahkan posisi wajahnya untuk menelisik wajah si perempuan. Wajah cantik yang menunduk dalam, dengan pipi basah oleh air mata. Tatapan sayu, wajah yang sudah berantakan, dan bau alkohol. Penampilan si perempuan sudah bisa menjelaskan, jika keadaannya tidak baik-baik saja. Mungkin ada masalah yang begitu berat membuat perempuan ini melampiaskan pada minum-minuman. "Anda baik-baik saja?" tanyanya lagi. Dengan nada yang lebih lembut. Wajah tertunduk itu terangkat. Menatap Romeo dengan mata sayunya. Terlihat sangat-sangat menyedihkan. Membuat posisi Romeo seperti seorang laki-laki b******k yang menyakiti si perempuan. Tanpa jawaban apa-apa. Si perempuan dengan tidak tahu diri melingkarkan kedua tangannya di punggung Romeo. Menangis sejadi-jadi di d**a bidang itu. Romeo terlampau kaget. Tidak sempat menolak. Hanya menampilkan wajah terkejut dengan kedua tangan menggantung di udara. Haruskah ia membalas pelukan perempuan tidak jelas ini? "Harusnya gue nggak bego, 'kan? Gue nggak sadar kalau selama ini dia selingkuh," adunya dengan nada yang sangat menyayat hati. Romeo masih bingung dengan posisinya. Tangannya menggantung di udara. "Gue baru tahu kenyataannya tadi pagi. Cowok b******k! Gue diselingkuhin huhuu." Korban perselingkuhan ternyata. Karena tidak tega, sepasang tangan Romeo bergerak perlahan. Membalas pelukan si perempuan dan menepuk bahunya pelan. Tentu saja dengan gerakan yang kaku. Romeo tidak pernah sedekat ini dengan perempuan. "Lo tahu nggak? Dia ciuman sama selingkuhannya di kantor. Tega banget, 'kan? Emang dia kira hati gue mainan ha?" Pelukan itu kian mengerat. Romeo sampai nyaris kehabisan napas karena kedua tangan itu nyaris mencekiknya. Menjadikan Romeo sebagai tempat pelampiasan amarah. "Nona! Astaga. Tolong lepaskan! Anda mencekik saya Nona!" "Bego tahu nggak? Bego banget! Mau gue bunuh ha, berani mainin hati gue?" Perempuan itu semakin menjadi. Pelukan yang sebelumnya mengerat sedikit melonggar. Tapi digantikan dengan pukulan berkali-kali di punggung Romeo. Pukulannya sakit. Bukan pukulan manja seperti perempuan kebanyakan. Romeo bisa merasakan amarah yang membara dari pukulan itu. "Nona! Astaga, tolong lepas!" Dengan kekuatannya Romeo berhasil melepaskan pelukan itu. Tapi yang terjadi setelahnya si perempuan menampilkan wajah emosi tepat di hadapannya. Matanya yang tadinya sayu kini melotot tajam. Sebelah tangannya terangkat, mengambil ancang-ancang untuk memukulnya. Jangan lupakan sepatu hak tinggi itu yang ikut melayang. Tak ... tak ... tak .... Romeo tidak sempat menghindar. Sepatu hak tinggi itu mendarat mulus di kepalanya. Tiga kali pukulan yang luar biasa. Sekali pukulan saja sudah terasa sakit, dan Romeo mendapatkan gratis dua pukulan lainnya. Membuat kepalanya yang pening itu berubah menjadi lebih nyeri. "Lo emang nggak niat bantuin gue 'kan ha? Harusnya gue tahu semua laki-laki itu b******k. Lo juga sama aja! Sejenis lo sama Alvaro!" Romeo melotot tajam. Perempuan ini benar-benar ya! Sudah seenaknya menghalangi jalan, memeluknya sembari menangis tersedu-sedu, memberi pukulan brutal, sampai mengatainya yang tidak-tidak. Pukulan berkali-kali kembali didapat. Romeo kelimpungan dengan tingkah brutal itu. Sampai-sampai sekretarisnya keluar dan membantu memisahkan bosnya dengan si perempuan aneh. Penolakan berkali-kali dilakukan. Masih dengan gerakan brutal. Sampai gerakan si perempuan melemah. Mulai merasa pusing, efek dari minuman beralkohol. Memijat pelipisnya beberapa kali. Sampai akhirnya tubuh lemas itu limbung dan terjatuh di d**a Romeo. Sedetik kemudian kejadian tidak terduga terjadi. Membuat Romeo dan sekretarisnya memekik dan setelahnya hanya bisa terdiam. "Huek." Kemeja mahal Romeo turut menjadi korban atas tingkah aneh dari si perempuan aneh. *** "Haish dasar perempuan aneh," umpatnya setelah membaringkan tubuh lemas itu di kamar apartemennya. Romeo hanya mengikuti instingnya untuk membawa perempuan mabuk ini ke apartemen. Tidak tega membiarkannya berkeliaran di jalan malam-malam begini. Apalagi kondisinya tidak sadar. Pasti ada banyak kejahatan di luar sana jika saja Romeo tega membiarkannya berkeliaran tidak jelas. Menghela napas sejenak. Kemudian beranjak dari sana. Romeo harus segera mengganti kemejanya yang baru saja mendapatkan hadiah tidak terduga. Tanda perkenalan yang sangat tidak menyenangkan. "Biarkan dia bermalam di sini. Besok saya sendiri yang mengantar ke rumahnya." Itu kalimat terakhir yang diucapkan Romeo sebelum sekretarisnya undur diri. Sedikit merasa aneh memang. Lelaki dewasa yang masih sendiri, malam ini harus bermalam dengan seorang perempuan asing. Berdoa saja semoga Romeo tidak bertindak yang tidak-tidak. Lagi pula rasa sakit, hadiah dari si perempuan masih terasa sampai sekarang. Romeo tidak mau mengambil risiko yang lebih parah. Bisa saja esok hari ia akan dikubur hidup-hidup jika berani macam-macam. Romeo tidak mengingat jelas sejak kapan. Yang terjadi saat ini, Romeo yang setengah berbaring di samping si perempuan. Menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang dengan sebelah tangan terus mengusap rambut panjang itu. Matanya terus menatap lekat pada wajah si perempuan. Terlihat sangat tenang sampai Romeo terpesona. Romeo bisa melihat raut lain dari wajah itu. Bukan seperti perempuan lain yang sering ditemuinya. Romeo menemukan sisi cantik yang berbeda dari kacamatanya sebagai seorang laki-laki. Perempuan ini terlihat innocent, seksi dari beberapa sisi, namun pancaran keimutannya terlihat jelas. Tanpa sadar sebelah tangannya beralih. Mengusap pipi berisi itu dengan lembut. Lelaki ini menggeram saat pikirannya mulai melayang terlalu jauh. Jemarinya sudah mengusap lembut bibir merah muda itu. Berdecak sebal karena semakin bertambahnya waktu, semakin banyak bisikan tidak benar yang memenuhi telinganya. Membuat kepalanya semakin berpikir liar. Perbuatan nekad yang terlalu berisiko. Romeo tidak sempat mengembalikan akal sehatnya. Sudah begitu mendamba pada warna merah muda itu. Mengabaikan fakta jika keduanya baru saja bertemu. Bahkan si perempuan setengah sadar dan mungkin tidak mengingat pertemuannya. Astaga! Romeo kembali menggeram saat kedua bilah bibir itu bertemu. Hanya menempel karena Romeo masih sibuk dengan hal yang baru kali ini dirasakannya, untuk hidupnya selama 25 tahun. Selanjutnya bergerak perlahan untuk menikmatinya lebih dalam. Detik berikutnya lelaki ini terkejut bukan main. Si perempuan membalas tautan bibir itu dengan pergerakan lembut. Yang lebih mencengangkan, sepasang tangan itu merambat naik, melingkari lehernya erat. Sempat berhenti untuk berpikir. Tapi karena sebagian otaknya sudah dipenuhi fantasi tidak benar, Romeo meneruskan kegiatannya. Lebih dalam dan lebih berani. Jangan salahkan Romeo untuk hal ini. Jika saja perempuan di bawahnya tidak memberikan balasan, Romeo tidak akan berani berlaku lebih. *** Romeo tertawa pelan nyaris gila. Masih berada di dalam mobil dengan Sabiya di sampingnya. Perempuan itu ketiduran di ruang tengah, saat Romeo sedang memeriksa beberapa berkas. Tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Sejak kejadian dua hari lalu, Romeo memang sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menghargai Sabiya dalam segala hal. Sudah terlalu malam memang. Nyaris pukul sebelas. Alasan itu yang membuat Romeo masih diam di depan pagar rumah Sabiya. Sembari mencari alasan karena mengantarkan Sabiya terlalu malam dalam kondisi tidur. Menghela napas sekali lagi. Mungkin ini saatnya. Romeo tidak menemukan ide yang lebih baik daripada mengakui semuanya pada orang tua Sabiya. Bagaimanapun kejadian dua hari lalu adalah kesalahan yang bersumber dari napsunya sebagai seorang laki-laki. Romeo tidak akan membiarkan masa depan Sabiya yang ditata sedemikian rupa menjadi hancur karena perilakunya. Ia yang berbuat, ia yang harus bertanggung jawab. Senyuman Romeo kembali terbit saat menatap wajah tenang itu. Bisa-bisanya Sabiya kembali ketiduran di apartemennya. Apa perempuan ini tidak takut dengan kejadian dua hari lalu yang mungkin akan terjadi lagi? Untung saja Romeo masih bisa berpikir jernih hari ini. Mendekatkan wajahnya ke arah si perempuan. Memberikan ciuman lembut di kening Sabiya. "Saya harap kamu setuju dengan apa yang saya putuskan," bisiknya lirih. Kembali memberikan ciuman lembut di sana. Sebagai pengantar tidur sekaligus tanda penyemangat untuk Romeo yang akan mengakui semuanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD