09 - Kalender Bulan

1612 Words
Zeth mengatupkan mulutnya yang dari tadi terbuka karena terkejut sekaligus bingung dengan hasil tes yang dibicarakan oleh Presiden. Setidaknya ia paham, bahwa 'teman-teman' satu timnya memiliki masalah yang lebih rumit dibandingkan dengan dirinya. Lucius mendecakkan lidah, terlihat ia mengepalkan tangannya dengan keras. "Bagaimana dia bisa tahu?" gumamnya pelan. Key mengerutkan dahinya, kemudian berkata, "Pengkhianat?" "Setidaknya aku memahami sesuatu ... cara kita terpilih berbeda, ya?" tanya Syville pada Zeth. "Aku dapat anti-virus itu," jawab Zeth singkat. Jura mendesah kencang. "Berarti yang dapat 'anti-virus' itu kau, Syville dan ... Baron? Bagaimana denganmu,  Lucius?" tanya Jura sambil melirik ke arah Lucius, yang dibalas dengan tatapan mengerikan darinya. "Aku memang memilih untuk datang ke sini. Ada seseorang yang memberikan tawaran menarik sebelum aku dibawa ke sini. Kau juga seperti itu bukan, Key?" tanya Lucius pada Key yang sedang mengusap pelan pedang pendeknya. Key mengangkat wajahnya, kemudian menatap Lucius dengan bingung. "Maksudmu apa?" "Jadi penggantinya ingatan, ya?" gumam Lucius pelan. “Setidaknya aku tahu satu hal,” kata Baron pada Key tiba-tiba. “Kau bisa menyelesaikan masalahmu dengan kepala dingin, tapi karena kau orangnya bebal, kemampuanmu itu akan sia-sia.” Key mengerutkan hidungnya kesal.  “Bagaimana denganmu, dasar orang picik!” Baron hanya tertawa mendengar balasan dari Key. “Setidaknya aku bisa dengan mudah beradu kekuatan dengan siapa pun itu! Heuheuheut.” Key membalas perkataan Baron dengan menginjak kakinya. "Yaaa ... apa pun itu alasannya ... yang jelas saat ini aku benar-benar lelah. Ke mana Presiden itu pergi? Meninggalkan kita begitu saja?" kata Jura dengan nada yang sengaja ditinggikan. Seperti mendengar pernyataan Jura, tiba-tiba saja pintu di belakang mereka terbuka dengan lebar. Lebih dari sepuluh orang dengan pakaian serba merah berjalan menuju mereka. Jura mengedipkan matanya beberapa kali sebelum berkata, "O-Ooooh kalian mendengar perkataanku, ya!?" Tanpa menjawab satu kata pun, orang-orang berpakaian merah itu menghampiri mereka, membungkuk hormat kemudian menunjuk pintu yang baru saja mereka masuki dengan tangan mereka. Zeth dan yang lainnya diminta untuk mengikuti mereka. Zeth dan yang lainnya diantar—atau dikawal—menuju sebuah lorong besar. Kesannya sangat berbeda dari ruangan yang baru saja mereka tinggalkan. Kali ini ia yakin, ia berada di dalam istana. Jendela dengan kaca dari lantai sampai langit-langit memperlihatkan matahari yang mulai bersembunyi di pelosok barat. Karpet merah menutupi seluruh lantai sejauh yang Zeth lihat. Dinding sebelahnya dipenuhi lukisan yang bingkainya berukir emas. Zeth memerhatikan lukisan itu. Terlihat seperti foto keluarga sang Presiden. Zeth terhenti di depan sebuah lukisan yang membuatnya tertarik, orang yang ada di dalam lukisan itu tampak seperti sang Presiden saat ini. Namun terlihat lebih tua, sepertinya ini Presiden terdahulu. Zeth membaca tulisan di bawah lukisan itu. 'Porlikue nex Zaroothin Exlan XXIX tahun 2425 KB'. "Hei, emm.. pelayan. Presiden saat ini turunan yang keberapa?" tanya Zeth pada pelayan yang ada di sebelahnya. Pelayan itu mengangguk singkat, tetapi tidak menjawab pertanyaannya. Karena wajahnya yang tertutup, Zeth tidak bisa melihat ekspresinya. Ia anggap tidak pernah menanyakan pertanyaan itu. Setelah berjalan cukup lama.. dan kaki Zeth terasa makin kelelahan, akhirnya pelayan yang ada di sebelahnya menuntun Zeth ke sebuah lorong yang memiliki enam buah pintu besar. Pelayan yang ada di sebelahnya berjalan ke salah satu pintu tersebut, menyuruhnya mendekat. Pintu besar itu dibuka oleh si pelayan, dan ia masuk ke ruangan itu. Ruangannya sangat besar hanya untuk sebuah kamar. Luasnya hampir sama dengan luas dari dapur ke ruang tengah rumah Bibi Et. Ada kasur yang super besar, lantai ruangannya dilapisi karpet berbulu halus. Ada meja kerja yang memantulkan cahaya dari jendela dengan kertas yang bertumpuk. Di dekatnya, ada dua buah kursi dan sebuah meja kecil, cocok untuk minum teh dan mengobrol ... jika ada yang bisa diajak mengobrol. Banyak buku-buku yang tersusun rapi dalam rak yang menutupi hampir setengah dinding ruangan ini. Pelayan serba merah masih berada di dalam ruangan. Dia berjalan menuju meja kerja, mengambil selembar kertas dan pena bulu. Menulis sesuatu lalu menyuruh Zeth mendekat. Zeth membaca tulisannya. 'Porlikue nex Zaroothin Exlan XXXI.' Kalau tidak salah, hanya berbeda dua dekade. "Memang.. sekarang tahun berapa jika dihitung dengan kalender bulan?" Pelayan serba merah kembali menulis. 2823 KB. Zeth mengerutkan keningnya setelah membaca jawaban dari pelayan itu. Bukankah lebih dari empat ratus tahun? Tidak mungkin, 'kan seseorang hidup sampai dua ratus tahun? Zeth mengangguk berterima kasih pada pelayan itu. Pelayan itu kembali menuliskan sesuatu. Besok pagi, saya akan mengantarkan anda ke ruang pelatihan. Selamat malam. Setelah selesai menulisnya, pelayan itu pun keluar. Membungkuk singkat pada Zeth sebelum menutup pintunya. Tinggallah Zeth sendirian di ruangan itu. Jendela besar yang menghadap ke tengah kota memperlihatkan matahari yang semakin lama semakin turun. Dadanya kembali sesak. Ia kembali mengingat kebiasaannya dengan Elen melihat matahari terbenam. Menunggu bintang-bintang dan bulan muncul. Mungkin hari itu tidak akan pernah ia rasakan lagi. "Di hari yang sejuk, di bawah pohon teduh. Ku nyanyikan lagu ini untukmu. Matahari kan datang, menggantikan sang bulan. Ku mulai kembali hariku bersamanya. Disepanjang jalan, bunga-bunga pun mekar. Setiap memori bersamanya, akan ku jadikan kenangan. Kicauan burung pun terdengar, semuanya mulai terbangun. Aku menyayanginya lebih dari apapun. Kupu-kupu mulai berterbangan, semuanya seperti menari. Aku akan terus menyayanginya, lebih menyayanginya esok hari. Semoga kau lebih bahagia bersamanya.. menyayanginya.. lebih dari apa pun." Semoga kau lebih bahagia bersamanya.. setidaknya menggantikan peranku. Batinnya. "Lagu yang indah.." kata seseorang dari belakang Zeth. Zeth menengok ke belakang. Syville berdiri di samping pintu kamar yang terbuka sedikit. "Sayang, akhirnya seperti melepas begitu saja.." Dia berjalan masuk, lalu mengusap tangannya terlihat ragu. "Aku mengetuk pintu cukup lama, tapi tidak ada jawaban. Jadi aku masuk saja.. maaf jika tidak sopan." Zeth menyengir malu. Pandangannya mengabur, tertutup oleh  air mata. Bukannya cengeng atau apa, kehilangan Elen yang mengisi hari-harinya selama dua tahun ini sangat mengubah segalanya, apalagi tanpa adanya salam perpisahan. Ditambah, ia masih sangat menyayanginya. Seakan ada bagian tubuh yang tercongkel secara paksa. Zeth membersihkan tenggorokkannya. "Tidak apa-apa. Ada perlu apa?" Merasa dua buah kursi dan meja untuk mengobrol saat ini berguna secara tiba-tiba, ia meminta Syville untuk duduk. "Aku ingin.. berbicara denganmu. Entah kenapa jika dengan yang lain aku tidak merasa nyaman," aku Syville. Zeth mengangguk memperbolehkannya. "Boleh saja. Jika aku bisa membantu." Syville menarik napas, sepertinya ceritanya akan panjang. "Sebelumnya kau bertanya tentang penyuntikan anti-virus yang dilakukan... tiga tahun sekali. Apa kotamu juga pernah melakukan penyuntikan anti-virus? Dan seseorang yang kau kenal ... ternyata terpilih menjadi The Oblivion sebelumnya?" Syville bergerak canggung di kursinya. "Apa.. kau pernah merasa ada sesuatu yang hilang tiga sampai empat tahun ini? Seperti ada seseorang yang menemanimu setiap saat ... tapi kau tidak ingat siapa dia." Mendengar pertanyaan itu, membuatnya teringat dengan perasaannya beberapa malam lalu. Semua kilasan ingatannya dengan seseorang yang tidak ada satu pun  orang di desanya mengingat gadis itu, yang sebenarnya.. benar-benar anak dari Bibi Et dan Paman Josh(?) Yang tidur di sebelah kamarnya(?) "Benar, aku merasakannya. Bahkan Bibiku juga. Dia selalu menyiapkan empat piring setiap harinya. Padahal kami hanya tinggal bertiga ... apa itu yang kau maksud?" Syville mengangguk tegas. "Aku yakin. Dari kotaku tiga tahun yang lalu, bagian dari keluargaku ada yang terpilih sebagai ... The Oblivion. Entah itu adikku atau kakakku.. bayang-bayangnya selalu ada. Anehnya, ada kamar kosong di sebelah kamarku. Bukan untuk tamu, karena banyak sekali barangnya. Tetapi yang membuatku bingung, semua keluargaku tidak ingat jika ada seseorang yang hilang dari keluarga kami ... hanya aku sendiri yang menyadarinya."  Syville berdeham. Napasnya mulai bergetar. "Aku merasa sangat kenal dengan kamar itu. Wangi kamarnya mengingatkanku pada ... seseorang. Di sebuah laci meja dalam kamar itu ada fotoku, terlalu pinggir jika hanya aku saja yang ada di foto itu. Apa orang itu berada di sisiku saat difoto? Lalu, setelah mendengar penjelasan dari Presiden, ternyata memang benar seperti yang kuduga selama ini. Ada seseorang yang terpilih dari kotaku, dan ia seorang penombak." "Aku selalu memimpikan seseorang yang selalu berkata kalau aku harus datang, entah akan datang ke mana. Dia juga selalu bilang jangan pernah melupakannya," kata Zeth mencoba untuk meyakinkan dirinya dengan pernyataan Syville. "Jika ini benar-benar nyata ... dan orang yang ada di mimpiku merupakan salah satu anggota The Oblivion sebelumnya ... mungkin seseorang yang ada di mimpiku masih hidup sampai sekarang. Entah bagaimana caranya dia memberitahukan tentang misi ini. Apa kau pernah mengalaminya?" Syville mengangguk, lebih cepat sekarang. "Tiga sampai dua tahun lalu aku juga sering memimpikannya. Dia selalu berkata 'kau akan datang, bukan?' lalu 'Jangan pernah lupakan aku.' Tapi setahun terakhir ini aku tidak pernah memimpikannya lagi, apa dia meninggal? Apa dia gagal menjalankan misinya?" Air mata kembali menggenangi ujung mata Syville, kemudian salah satunya mengaliri sebelah pipinya. Zeth mulai salah tingkah, meski sudah tiga kali ia melihat seseorang menangis di hadapannya. Akhirnya ia berdiri, berjalan ke sebelah Syville, lalu mengelus pelan kepalanya. "Jangan menangis, Syville. Kau orang yang kuat, ingat? Kau Path Finder kami ... penemu jalan keluar untuk menyelesaikan masalah kami ... tapi ingat, tim ada untuk bekerja sama. Jangan pendam masalahmu sendiri, kau bisa datang kepadaku ... atau yang lainnya jika ada yang mengganggu pikiranmu." Zeth masih mengelus kepalanya, semoga bisa sedikit menenangkannya. "Untuk sekarang istirahatlah ... kata pelayan yang tadi mengantarku, besok kita akan mulai dilatih. Entah bagaimana latihannya, sepertinya akan sangat sulit." Syville mengangguk. Mengusap wajahnya dari air mata. "Terima kasih, Zeth." Ia berdiri lalu berjalan keluar pintu. "Lain kali aku akan mendengar masalahmu ... jika kau tidak keberatan." Syville memaksakan senyumannya, lalu menutup pintu besar itu. Ruangan tempatnya berada sudah cukup gelap. Ia menyalakan semua lilin yang ada di ruangan itu. Cahaya dari lilin mengingatkannya pada kamar tidurnya yang dulu ... semuanya masih seperti mimpi. Tapi cukup nyata untuk menganggap semua ini hanya mimpi. Mata Zeth kembali berat, ia merangkak menaiki kasur setelah membersihkan tubuhnya. Kata-kata Syville masih terngiang-ngiang di kepalanya, 'Entah itu adikku atau kakakku ... bayang-bayangnya selalu ada'. Entahlah. Yang jelas matanya tidak kuat untuk terus terjaga. Akhirnya ia tertidur. []  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD