00 - Prolog
Sang Raja duduk bersandar di singgasananya, sambil memainkan gelas yang berisi anggur merah di tangannya. Wajahnya menumpu pada tangannya yang bebas. Sebelah kakinya tidak bisa diam bergerak, kebiasaannya ketika ia sedang menunggu sesuatu.
Mimpinya semalam benar-benar membuatnya harus mengubah total rencananya. Akhirnya, ia mengirim seseorang yang ia percaya untuk memantau keadaan yang jika ia biarkan dapat menghancurkan semua hal yang ia bangun oleh darah dan keringatnya.
Ketukan pada pintu ruangan menandakan orang itu telah tiba. Seorang kesatria dengan baju zirah berwarna hitam memasuki ruang singgasananya. Kesatria itu membuka helm yang menutupi wajahnya. Mata berwarna hijau cerah membalas tatapan dari Sang Raja, ia berlutut hormat padanya lalu berkata, "Sesuai perkiraan anda, Yang Mulia. Ada sedikit pergerakan di Barat Laut.”
Mendengar perkataan kesatria itu, wajah Sang Raja berubah seketika. Ia meletakkan gelas anggurnya pada meja kecil di sebelahnya. "Kedatangan mereka lebih cepat dari sebelumnya," gumamnya pelan. Ia berdiri dari duduknya, meletakkan mahkota yang selalu ia pakai di atas kursi singgasana. "Meski orang-orang itu telah tiba, mereka butuh waktu yang lama untuk sampai sini.”
Kesatria itu tersenyum pada Sang Raja. “Tidak perlu khawatir, Yang Mulia. Bukankah tidak pernah ada seorang pun yang berhasil menginjakkan kakinya di sini? Semua rencana anda selalu berjalan dengan baik.”
Sang Raja menggelengkan kepalanya pelan. “Meski begitu, aku harus mengubah semua rencana yang telah dibuat. Kerja bagus, kau boleh kembali.
"Baik, Yang Mulia." Kesatria tersebut berdiri, lalu membungkuk hormat sebelum meninggalkan ruangan itu.
Sang Raja berjalan menuju rak buku yang terlihat sudah sangat tua. Ia mengambil sebuah buku dengan sampul yang sudah kusam, bahkan tulisan di atasnya sudah memudar.
Tiba-tiba saja dinding yang ada di depannya bergetar dan mulai bergeser, memperlihatkan ratusan anak tangga menuju ruang bawah tanah. Ia mengambil sebuah obor yang ada di dekat pintu masuk, dan mulai menuruni anak tangga itu satu persatu.
Di akhir anak tangga itu, ada sebuah pintu yang berlapis emas dan penghalang magis. Tidak ada seorang pun yang bisa menghancurkannya kecuali Sang Raja. Ia membaca sebuah mantra, dan dengan mudah penghalang magis itu mulai memudar dan pintu yang ada di depannya mulai terbuka, membiarkannya untuk masuk ke dalam ruangan itu.
Ruangan itu sangat gelap, tidak ada satu pun obor yang dinyalakan. Tetapi ada cahaya redup yang dihasilkan oleh sebuah aura dari cawan emas yang ada di ujung ruangan itu.
Sang Raja berjalan mendekati cawan itu. Di dalamnya ada cairan berwarna perak. Cairan itu mulai bergerak ketika kedua mata Sang Raja tertuju pada benda itu, yang membuatnya terlihat seperti hidup. Ia membaca sebuah mantra dengan sepuluh suku kata secara perlahan ke dalam cawan itu.
Seketika, cairan yang ada di dalamnya mulai berubah warna menjadi bening, yang bahkan dapat memantulkan wajah Sang Raja dengan kerutan pada keningnya. Sang Raja menggigit ujung jarinya hingga berdarah, membiarkan darahnya menetes ke dalam cawan tersebut, mengubah cairannya menjadi semerah darah.
Beberapa tulisan dan gambaran yang hanya bisa dilihat oleh Raja bermunculan. Nama, kepribadian, gambaran wajah, kepingan memori, aura, dan potensi orang-orang yang membuatnya tidak senang akhirnya ia ketahui. Ia sedikit terkejut dengan apa yang dilihatnya. Kali ini orang-orang itu berbeda dari yang lain, dari apa yang selama ini sudah ia alami. Apakah ini akhirnya? Apa ia sudah tidak bisa lari lagi dari takdir yang selama ini mengejarnya?
Sang Raja mengepalkan tangannya dengan kencang, kukunya menusuk pada telapak tangannya, darah kembali menetes dari tangannya. Tetapi sebelum darah itu menetes ke lantai, darah itu menguap seketika.
“Darahmu sangat berharga, oh Sang Penguasa.” Sebuah bisikan pelan memenuhi kepala Sang Raja. “Jangan melukai dirimu sendiri.”
Sang Raja melihat telapak tangannya dengan wajah yang tidak tertarik, luka pada telapak tangannya sedikit demi sedikit menutup sendiri, seperti telapak tangannya tidak pernah terluka dari awal.
Bisikan pelan kembali memenuhi kepala Sang Raja. "Tidak perlu khawatir. Gunakanlah aku seperti sebelumnya."
Sang Raja kembali melihat isi cawan itu. Pantulan air dengan warna semerah darah yang berada di dalam cawan memperlihatkan wajah Sang Raja yang tersenyum. "Kau tidak pernah mengecewakanku.”
Terdengar gema tawa oleh Sang Raja. “Oh, Sang Penguasa.. Meski senjatamu tidak berhasil untuk melenyapkan mereka semua, aku akan membereskan sisanya.”
“Aku akan menunggu hasilnya,” jawab Sang Raja. Kemudian ia membalikkan badannya untuk pergi dari ruangan itu. Salah satu kepingan kecil dari rencananya sudah ia pegang. Meski takdir yang dapat menghancurkannya hanya tinggal sehelai rambut, Sang Raja tidak akan pernah menyerah.
“Oh, Sang Penguasa.. Serahkan sisanya padaku.” Cairan pada cawan emas itu sedikit bergetar, dan mulai kembali pada warnanya seperti semula. []