Kartika meringis saat dirinya berusaha bangun. Bagian sensitifnya terasa perih, tapi ia tak memiliki waktu untuk bermanja-manja. Kartika tak mungkin menunggu hingga Baskara bangun, ia terlalu malu untuk melihat Baskara setelah keintiman mereka tadi malam. Dengan perlahan Kartika berusaha untuk menggeser tubuhnya ke tepian ranjang, tapi perih yang ia rasakan terasa begitu menggigit, sehingga menghambat pergerakannya. Kartika cemberut, ia tak menyangka jika dirinya akan tetap merasa sakit seperti ini. Ia kira pengalaman kedua tak akan sesakit ini. Betul bukan? Bukankah ini pengalaman Kartika yang kedua setelah kejadian di kamar hotel? Kartika ternyata bukan terlalu polos. Ia terlalu bodoh untuk melihat kenyataannya.
Ya, Kartika kini telah resmi menjadi wanita milik Baskara. Kartika sepertinya tidak melihat noda merah yang terpampang jelas pada seprai yang membungkus kasur empuk yang ditidurinya dengan Baskara. Hal itu seharusnya lebih dari cukup menjawab keraguan Kartika dengan apa yang terjadi saat dirinya tertangkap basah tidur dalam keadaan telanjang bersama dengan Baskara. Namun, Kartika melewatkan hal itu. Jika pun ia melihatnya, sepertinya kemungkinan sangat kecil jika Kartika bisa menyimpulkan jika tadi malamlah dirinya resmi kehilangan kesuciannya sebagai seorang perempuan, dan pria yang menjadi suaminya yang telah mengambilnya.
Kartika meraih gaun tidurnya dan berniat untuk mandi, tapi tarikan kuat membuat Kartika kembali berbaring di tempatnya. Tubuh Kartika menegang saat menyadari posisinya saat ini. Kini ia berubah seperti guling yang tengah dipeluk dengan erat oleh Baskara. Jelas, Kartika tak merasa nyaman dengan posisi seperti ini. Jadi ia mulai mencoba melepaskan diri, tapi Baskara malah semakin mengeratkan pelukannya. Wajah Kartika yang pucat terlihat memerah saat merasakan salah satu tangan Baskara mencubit bongkahan pantatnya.
"Anak nakal, ini masih pagi buta. Jadi diam, dan tidur lagi!" perintah Baskara tegas masih dengan memejamkan matanya. Baskara memang masih merasa sangat mengantuk setelah kegiatan panas yang ia lakukan pertama kali dengan istri mungilnya ini.
Kartika mendongak, tapi ia melihat Baskara masih memejamkan matanya erat. Apa tadi Baskara berbicara sambil tidur? Tanya Kartika dalam hati. "Kak Baskara, lepas. Tika mau mandi, badan Kartika bau, lengket juga. Gak enak." Kartika memang sudah tidak merasa nyaman dengan kondisi tubuhnya saat ini. Kartika ingin segera membersihkan diri dari semua hal yang membuatnya tidak nyaman ini.
Baskara membuka matanya dan menatap Kartika dengan dalam. "Apa yang kau katakan?" tanya Baskara dengan suara rendah.
Tentu saja Kartika berubah gelisah saat mendengar suara dingin Baskara. Apakah dirinya membuat kesalahan? Kartika menggerakkan kaki dan tangannya, mencoba melepaskan diri dari pelukan Baskara yang bisa dibandingkan dengan lilitan anak konda. Baskara menghela napas saat melihat istri kecilnya yang menggeliat dalam pelukannya. "Aa sudah bilang jangan bergerak! Kau jadi membangunkannya lagi kan?" tanya Baskara sambil menempelkan sesuatu yang terasa keras dan panas pada paha bagian atas Kartika.
Wajah Kartika Sontak memucat. Ia menggeleng panik dan segera memohon, "E-Enggak mau lagi, katanya cuma pas pertama aja sakitnya. Tapi ini udah kedua kali dan masih sakit, Tika enggak mau! Sakit!" seru Kartika lalu menolak dan berontak semakin kuat. Namun apa daya kekuatan seorang wanita di hadapan pria dewasa? Dalam sekejap mata, kini Baskara berhasil menindih Kartika. Tatapan Baskara entah mengapa terlihat lebih menakutkan dari pada biasanya. Kartika tak bisa menahan diri untuk menggigil.
"Kamu harus tanggung jawab."
"Ta-tanggung jawab apa?" tanya Kartika tidak mengerti. Tentu saja dirinya sama sekali tidak merasa jika dirinya sudah melakukan hal yang salah hingga harus bertanggung jawab seperti apa yang dikatakan oleh Baskara.
Baskara menyeringai, ia menunduk dan berbisik, "Tanggung jawab, tenangkan yang di bawah sana." Baskara tidak membuang waktu dan kembali menyerang Kartika dengan sentuhan-sentuhan yang membuat istrinya terbuai. Kartika mengerang saat Baskara mengulum daun telinganya dengan lembut, disusul dengan kedua tangan Baskara yang bekerja untuk memilih dan memijat lembut p******a Kartika yang masih dalam proses pertumbuhan. Ya, Baskara tengah memulai proses untuk mereguk kenikmatan surga dunia bersama istrinya kembali.
Pada akhirnya, Kartika hanya bisa pasrah melayani suaminya yang begitu dominan. Dan Baskara, merasa senang dengan kepasrahan Kartika tersebut. Ia menyeringai, lalu kembali fokus untuk menjalankan rencananya. Ya, rencana yang harus segera selesai tepat waktu, agar Kartika tak bisa melepaskan dirinya sama sekali dari dirinya.
***
Kartika terbangun saat mencium aroma sampho yang terasa begitu dekat dengan hidungnya. Disusul dengan air dingin yang menetes di pipinya. Perlahan Kartika mengedipkan matanya dan melihat wajah Baskara tepat di hadapan wajahnya.
"Aa?!" seru Kartika refleks memanggil Baskara sesuai dengan nama panggilan yang diinginkan oleh suaminya itu.
"Hem? Aku lapar," ucap Baskara singkat kemudian berlalu begitu saja. Meninggalkan Kartika yang berusaha bangkit di atas ranjang, tubuh Kartika terasa remuk redam. Ia lelah, sangat lelah malahan. Baskara menggarapnya semalaman, lalu kegiatan tersebut kembali berlanjut pada pagi tadi. Jadi bisa dibayangkan bagaimana lelahnya Kartika. Tapi mau seberapa lelahnya, Kartika harus melayani suaminya dalam hal lain. Tadi Baskara mengatakan jika dirinya lapar, maka ia harus memasak segera mungkin. Kartika segera membersihkan diri walaupun sesekali meringis ngilu setiap mengambil langkah.
Sedangkan Baskara kini menyalakan laptop dan mengecek pekerjaan yang masuk pada emailnya. Walaupun Baskara mengambil cuti hari ini, ia tak mau mengabaikan pekerjaan darurat yang memang harus dikerjakan sesegera mungkin. Baskara menoleh saat merasa seseorang tengah mengamati dirinya. Ia berkedip saat melihat istri mungilnya tampak berbeda dalam gaun rumahan berwarna biru pastel. Ditambah dengan rambut hitamnya yang panjang, terurai begitu saja dan masih terlihat basah.
"Aa, mau dimasakin apa?" tanya Kartika pelan.
"Buatkan sesuatu yang simpel saja, mungkin pasta akan cocok," jawab Baskara singkat lalu kembali menatap laptopnya.
Kartika menggaruk pelipisnya, dan melangkah menuju dapur. Ia memang sudah sering melihat para chef di restoran di mana ia bekerja, memasak pasta, tapi Kartika belum pernah mencoba memasaknya. Jadi semoga kali ini, Kartika berhasil membuat makanan yang layak untuk Baskara. Hampir tiga puluh menit lebih Kartika berkutat di dapur, dan usahanya menghasilkan dua piring pasta saus tomat segar dengan daging cincang. Dalam hati Kartika berdoa semoga masakannya benar-benar layak untuk dimakan. Setelah memebereskan meja makan, Kartika melangkah menuju Baskara yang ternyata masih berkutat dengan dokumen di ruang kerjanya.
"Aa, Tika sudah selesai masak." Kartika menggigit lidahnya, ia masih tak terbiasa dengan panggilan yang ia gunakan untuk Baskara. Itu terasa sangat aneh. Baskara mengangguk dan bangkit untuk melangkah bersama Kartika menuju ruang makan. Baskara menatap pasta yang tersaji di hadapannya. Setelah mengaduk dan mencicipnya, awalnya Kartika menunggu Baskara yang akan mencela masakannya, tapi ternyata Baskara tetap melanjutkan makannya hingga akhir.
Kartika mendesah, lalu memulai makan siangnya. Setelah mencicipnya, Kartika merasa masakannya tak terlalu buruk. Masakannya itu cukup untuk mengganjal perutnya yang terasa perih. Jadi tanpa sadar Kartika menghabiskan porsi makan siangnya dengan cepat. "Pastanya terlalu matang. Kedepannya, berikan taburan keju dan paterseli sebagai sentuhan terakhir. Satu lagi, jangan memberikan bumbu yang berlebihan, terutama penyedap rasa buatan."
Kartika hampir tersedak saat mendengar kritik dari suaminya. Sepertinya Baskara memang memiliki standar tinggi dalam setiap aspek kehidupan. Kartika menciut, dirinya merasa begitu kecil di hadapan suaminya itu. "Tapi untuk pertama kali, kerja yang bagus, bintang kecil," puji Baskara yang membuat Kartika mengangkat kepalanya yang menunduk.
"Bi-bintang kecil?"
"Ya, bintang kecil. Itu kau, Kartika si kecil yang telah menjadi istriku."
Keduanya saling menatap dalam waktu yang cukup lama, sebelum Baskara berdehem dan memutuskan acara saling tatap tersebut. "Ada undangan acara yang diselenggarakan oleh keluarga nanti sore, jadi kita harus datang. Persiapkan dirimu." Kartika hanya mengangguk, ia tak tahu harus menjawab apa lagi.
Dan waktu bergulir begitu cepat, sore menjelang maka pesta segera di mulai. Karena pesta akan dimulai tepat ketika matahari terbenam, kini Kartika dan Baskara telah berada diperjalan menuju lokasi pesta. Tak ada pembicaraan di antara keduanya. Mobil terasa begitu hening hingga mereka tiba di lokasi pesta, hotel milik keluarga Venty. Ketika keduanya turun dari mobil, sontak menarik perhatian media. Tapi petugas keamanan bekerja dengan baik dan melindungi keduanya hingga masuk ke aula hotel, tempat pesta berlangsung. Dan lagi-lagi, keduanya menarik perhatian yang begitu besar ketika tiba di aula pesta.
Keduanya memang terlihat sangat serasi dalam balutan pakaian yang sewarna. Baskara memakan jas semi formal berwarna biru tua, dengan kemeja serupa. Sedangkan istri kecilnya menggunakan gaun biru berlengan panjang, dengan rok yang menutup hingga pertengahan betisnnya. Jadi semua karya legendaris Baskara tadi malam, tertutup rapi di dalam gaun cantik tersebut.
Wajah Kartika hanya dipoles bedak tipis, dan perona pipi. Lalu bibirnya dihiasi pemerah bibir berwarna merah muda. Meskipun sederhana, aura Kartika sebagai seorang istri tampak begitu menawan. Apalagi Kartika terlihat begitu segar dengan potongan rambut yang baru. Ya, rambut hitam panjangnya, kini digantikan dengan rambut sebahu yang di keriting ujungnya. Tampak mempermanis tampilan Kartika. Tentu saja, ini semua karena Baskara yang memaksa Kartika memotong rambut. Kartika menangis saat rambutnya dipangkas, tetapi Baskara dengan lembut mengatakan jika Kartika tampak lebih cantik saat ini.
Venty adalah salah satu orang yang tampak terkejut dengan tampilan baru Kartika. Jelas, karena ia tahu bagaimana Kartika menyayangi rambut panjang miliknya. Jadi Venty bisa menebak dengan tepat, mengapa Kartika merubah potongan rambutnya. Alasan apalagi jika bukan paksaan dari Baskara? Ugh saudaranya yang satu itu memang tak pernah berubah. Kartika menyalami ibu mertua, ayah mertua dan semua tetuanya dengan sopan sebelum duduk di samping Baskara. Wajahnya yang pucat terlihat memerah saat dirinya mendapat godaan bertubi-tubi dari orang-orang yang ia kenal.
"Wah lihatlah istri kecil Baskara, terlihat semakin cantik setelah melaksanakan malam pertamanya, bukan?" tanya Guntur sembari tertawa keras.
"Jangan bicara sembarangan," ucap anggi sembari mencubit Guntur.
"Menantuku memang terlihat semakin cantik, apalagi dengan potongan rambutnya yang baru," puji Senu penuh arti sembari melirik Baskara yang terlihat asik dengan gelas wine di tangannya. Wajah Kartika berubah masam. Ia ingat dengan jelas jika tadi sore ia menangis sejadi-jadinya karena Baskara memaksa untuk memotong rambut panjang yang telah ia rawat bertahun-tahun. Tentu saja Kartika masih merasa sedih karena itu.
"Iya, aku jadi seperti melihat versi muda Affa," tambah guntur.
"Kakak, Kartika jelas lebih cantik daripada aku," elak Affa lembut. Ia tahu jika menantunya terlihat tak nyaman dengan topik pembicaraan ini, jadi ia segera mencoba mengubah topik.
"Sayang, Baskara tidak membuatmu susah, bukan? Mamah berulang kali mencoba untuk menghubungi ponselmu, tapi tidak bisa terhubung. Mamah sempat khawatir."
Kartika menoleh pada Baskara, ia bingung harus menjawab jujur atau berbohong. Tapi ia memutuskan untuk jujur. "Aa nggak nyusahin kok, Mah. Hp Tika disimpan sama Aa, jadi kalo Mamah mau telepon, Mamah telpon ke telepon rumah aja ya."
Semua orang di meja itu terdiam. Mencerna apa yang barusan Kartika katakan. Dan sepertinya semua otak mereka bekerja begitu lambat. Tapi Venty bereaksi lebih dahulu, gadis itu bertanya dengan heboh, "Tunggu, Aa? Aa maksudnya siapa?!"
Dengan polos, Kartika menunjuk Baskara sembari menjawab, "Aanya Kartika, ya Aa Baskara."
Seketika semua orang tertawa terbahak-bahak setelah mendengar penuturan Kartika. Entah mengapa, menurut mereka itu sungguh menggelikan. Sontak tawa mereka menarik perhatian tamu undangan yang lain. Beberapa dari mereka melirik penuh keingintahuan pada meja keluarga tersebut.
"Tika, kok kamu panggil Kak Baskara begitu sih? Geli ih!" Venty berseru di tengah acara tawanya yang keras.
"Aa sendiri yang minta. Tika kan istri, jadi harus nurut."
Lagi-lagi jawaban dari Kartika membuat semua orang tertawa lepas. Kecuali Baskara tentunya, pria itu masih tetap tenang sembari sesekali menyesap anggur merahnya. Mengabaikan orang-orang yang menertawakan tingkah konyol dirinya yang meminta panggilan kesayangan dari Kartika.
"Aduh Tante nggak nyangka kamu bisa bertingkah manis seperti itu, Baskara," Anggi terlihat begitu senang, wajahnya sampai memerah karena tertawa begitu keras. Guntur tersenyum dan menyeka air mata yang hampir menetes di sudut mata istrinya. Sepertinya, sikap bar-bar Venty, menurun dari istrinya ini. Bahkan, bisa dibilang jika Venty adalah versi muda dari Anggi. Sedangkan pasangan Affa dan Senu malah lebih parah lagi. Kini Affa telah berpindah duudk di atas pangkuan Senu, dengan Senu yang menangkup pipi istrinya dengan lembut.
"Jadi ingat masa-masa dulu," ucap Affa bernostalgia.
"Sensen juga mengingatnya," sahut Senu sembari mengecup ujung hidung Affa dengan lembut.
Venty memutar bola matanya dan melipat kedua tangannya kesal. "Halo, di sini masih ada perawan, bisa tidak adegan 21+ diskip aja?" tanya Venty kesal. Semua orang menghentikan kegiatan mereka dan tertawa canggung. Kartika sendiri tampak tengah mengamati gelas anggur yang diberikan pelayan padanya. Kartika berniat untuk mencoba anggur tersebut, apakah seenak yang ia dengar dari Venty? Tapi belum juga ia berhasil menyesapnya, gerakan tiba-tiba dari Baskara membuatnya menumpahkan sebagian anggur merah tersebut ke atas gaunnya.
"Apa kau telah meminta izinku untuk meminumnya?" suara dingin Baskara mengalun di udara. Membuat orang-orang yang berada satu meja dengannya menegang. Mereka telah mengenal Baskara dengan baik, dan mereka tahu jika saat ini suasana hari Baskara tengah memburuk. Baskara memang marah saat Kartika berani mengambil gelas anggur, bahkan akan mencicipinya tanpa seiizinnya sebagai seorang suami. Baskara mengetatkan rahangnya dan menatap Kartika dengan dingin.
"Ma-maaf Aa," ucap Kartika penuh sesal.
Melihat situasi yang kemungkinan akan semakin memburuk, Affa segera memberi kode pada Venty. Dan Venty mengangguk paham sebelum berkata, "Gaun Kartika sepertinya kotor, lebih baik Kartika aku antar ke toilet untuk membersihkannya."
Baskara dengan enggan melepas Kartika, dan membiarkan Venty membantu Kartika membersihkan gaunnya. Sedangkan Baskara segera menghadapi para orang tua yang tampak tak senang dengan reaksinya tadi. Baskara hanya mendengus dan menyiapkan diri. Sedangkan Kartika kini menunduk di dalam kamar kecil, dengan Venty yang membersihkan gaunnya menggunakan tisu. Kartika menggigit bibirnya sendiri, merasa sedih karena melakukan kesalahan. Dan juga merasa takut karena membuat Baskara marah. Melihat kemarahan Baskara, adalah hal terakhir yang ingin Kartika lihat pada kehidupannya ini.
"Sudah, jangan menangis, Kak Baskara emang suka begitu. Kamu harus kuat mental. Nah sekarang sudah selesai, kita mending ke taman aja ya? Ada taman bermain juga loh di sana. Dan yang paling penting, ada ayunan!" Venty mencoba mengalihkan perhatian Kartika, dan hal itu berhasil.
Kartika mengangguk walau masih terisak pelan. Ia menurut saja saat Venty menariknya menuju lorong yang menghubungkan aula pesta dan taman hotel, tapi di tengah jalan Windu menghadang, dan meminta waktu untuk berbicara dengan Venty. Melihat dari reaksi keras Venty, Kartika bisa menyimpulkan jika pasangan itu tengah bertengkar. "Venty, kamu bicara aja dulu sama Windu, aku pergi sendiri ke taman."
Windu segera memeluk Venty yang berubah seperti macan lapar karena tengah marah. "Terima kasih Kartika. Aku pinjam Venty sebentar," ucap Windu sebelum memanggul Venty pergi.
Kartika segera melangkah seorang diri menuju taman. Tapi lagi-lagi niatnya terhalang. Jalannya kini terhalang oleh seseorang yang ia kenal. Itu Janu, tapi wajahnya yang tampan terlihat begitu lesu saat menatap Kartika. "Kak Janu?" panggil Kartika pelan dan tentu saja menyentak Kartika hingga gadis itu mematung dan tidak bisa bereaksi saat tiba-tiba Janu maju dan mencengkram bahu Kartika dengan kuat.
Rahang Janu terlihat menegang karena emosi yang menguasai pikirannya yang biasanya selalu tenang. Kini, raut wajah Janu yang biasanya tenang dan ramah sudah menghilang digantikan oleh kemarahan dan kekecewaan yang tampak begitu jelas. "Kenapa, kenapa Kartika?" tanya Janu keras.
"A-apa maksud Kakak?" tanya Kartika tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Janu, dan apa yang membuat Janu semarah ini padanya. Kartika merasa jika dirinya sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun yang bisa membuat Janu marah besar seperti ini padanya.
"Kenapa kau harus menikah dengannya?!" pertanyaan Janu membuat Kartika kebingungan. Kepalanya kosong, dan Kartika tak bisa berpikir dengan baik. Kartika benar-benar tidak mengerti kenapa Janu bisa marah dan mempertanyakan alasannya menikah dengan Baskara.
Tapi sebuah suara membantu Kartika untuk menjawab pertanyaan Janu. "Karena dia mencintaiku?"
Baskara muncul dengan aura yang tak main-main, tapi suaranya tadi terdengar dengan nada tanya yang jelas. Membuat Janu merasa bingung dengan jawaban tersebut. Baskara dengan lembut menarik Kartika ke dalam rangkulannya, lalu menatap Janu dengan tegas. Ada sebuah peringatan dalam tatapannya tersebut. "Ya, aku rasa istri kecilku ini sangat mencintaiku. Jadi, aku harap, jaga tanganmu itu. Jangan menyentuh istriku seperti itu lagi. Atau aku akan memastikan jika kedua tanganmu tidak lagi bisa digunakan."