Baskara menghentak pinggulnya dengan kasar, lebih dari cukup untuk membuat Kartika kembali terjaga dari tidurnya. Kartika membuka matanya dan melihat Baskara masih berada di atasnya. Ia kemudian terisak-isak saat Baskara tak memelankan hentakkan kasarnya itu. Hampir semalaman Baskara terus menggagahinya tanpa jeda. Ini sudah hampir subuh, dan Kartika sangat lelah. Semua tubuhnya terasa sakit, apalagi bagian sensitifnya. Terasa panas dan perih, karena gesekan dalam waktu lama.
Baskara terlihat masih marah. Wajahnya yang tampan menegang dan tak ada kesan lembut sama sekali di sana. Ia mendengkus lalu merubah posisi Kartika agar bertumpu dengan kedua tangan dan lututnya, sebelum Baskara kembali menyatukan tubuh mereka lagi dari belakang tubuh Kartika. Erangan kuat Kartika membuat Baskara semakin bersemangat. Tanpa sadar bahwa sikap Baskara itu telah banyak melukai fisik dan mental istrinya. Kartika menoleh dengan wajah berurai air mata, untuk sekian kalinya, ia memohon dengan sangat pada suaminya. "Aa, maafin Tika. Maaf. Tolong berhenti, ini sakit. Tika capek."
Permohonan terakhir Kartika terdengar begitu menyayat hati. Ditambah dengan wajahnya yang memerah dan berurai air mata, membuat Baskara merasa ditampar oleh sesuatu. Tangan Baskara yang tengah mencengkram pinggang Kartika terasa bergetar. Tak lama, Baskara memeluk Kartika dari belakang. Ia menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Kartika yang dipenuhi noda merah keunguan. Baskara menciumi pundak serta leher istrinya dengan lembut, ia berbisik, "Ini hukuman untukmu, pelajari dan jangan pernah ulangi kesalahan yang sama!"
Kartika menangis tersedu. Kalimat itu yang semalaman ia dengar dari suaminya. Namun Kartika sama sekali tak mengetahui apa kesalahan yang telah ia perbuat. Dan sebelum Kartika mengutarakan ketidakadilan itu, Baskara telah kembali bergerak dan membuat Kartika mengerang setiap kali Baskara menghujam dirinya. Lima menit kemudian Baskara mendapatkan klimaks. Kartika menggeliat kecil saat lagi-lagi rahimnya terasa nyaman saat cairan panas membasuh organ tubuhnya itu. Rasa keram di perut bagian bawah Kartika berangsur-angsur mereda karena rasa hangat yang diberikan oleh Baskara.
Tubuh Kartika yang lemah telah sepenuhnya bersandar pada Baskara yang memeluk dirinya sembari berbaring miring di ranjang empuk mereka. Sementara Kartika telah terlelap karena terlalu lelah, Baskara masih mengelus perut Kartika sembari menciumi bahunya yang polos. Dan saat Baskara berhasil mengatur emosinya, ia berbisik tepat di telinga Kartika. "Kau milikku. Hanya milikku."
***
Affa mengerucutkan bibirnya dan mengadu pada Senu yang tengah membaca berkas di ruang kerjanya. Senu segera meletakkan pekerjaannya dan memerintahkan Dhan untuk ke luar dari ruangan. Affa yang telah menahan tangisnya sejak tadi, segera menangis keras begitu duduk di pangkuan Senu. "Ada apa hem?" tanya Senu sembari memeluk istri mungilnya yang akhir-akhir ini bertambah cengeng.
"Babas, anak kamu itu kenapa sih?!" tanya Affa balik dengan suara meninggi. Rahang Senu mengetat dengan cepat. Putranya itu memang sering bertindak sesuka hati. Dan kebanyakan tindakannya itu tak sesuai dengan keinginan Affa.
"Memangnya ada apa dengan Baskara?" tanya Senu lembut.
"Masa dia gak kasih Kartika ponsel? Terus katanya Syasya gak boleh ajak menantu kita ke luar buat jalan-jalan. Kasian Tika, pasti dia bosen sendirian di apartemen."
Senu terdiam. Ada firasat buruk yang selama ini telah ia rasakan. Firasat buruk yang muncul pertama kali saat melihat bagaimana reaksi Baskara jika bersinggungan dengan Kartika. Senu seakan-akan tengah melihat dirinya di masa lalu. Saat di mana dirinya akan menghalalkan banyak cara untuk menjadikan Affa sebagai miliknya seutuhnya. Senu harap, tindakan Baskara tidak lebih ekstrim daripada dirinya. Karena jika benar, suatu saat nanti Baskara akan menghadapi dampak negatif dari tindakannya itu. Dan mungkin saja, jika perhitungan Baskara tidak tepat, bukannya berhasil membuat Kartika jatuh hati, bisa-bisa Baskara malah membuat Kartika takut atau lebih parahnya membenci Baskara.
"Syasya bukannya bisa pergi ke apartemen dan menemui Kartika? Baskara sedang bekerja, ia tak mungkin tahu, bukan?" Senu memberikan usul yang tentu saja sangat berguna bagi Affa.
Affa terlihat senang dan mengangguk senang. Ide suaminya memang selalu cemerlang. "Oke Syasya mau ketemu Kartika dulu ya." Affa berniat untuk bangkit dari pangkuan Senu, tapi tampaknya Senu belum rela berpisah dengan istri tercintanya. Ia mengeratkan pelukannya di pinggang Affa.
"Apa Syasya mau meninggalkan Sensen sendirian?" rajuk Senu manja.
Affa mengerutkan keningnya. "Sensen gak usah manja, nanti malam kan kita juga bareng lagi. Udah ah, Syasya mau pergi. Cup!" ucap Affa diakhiri kecupan di pipi suaminya. Senu hanya tersenyum tipis saat melihat Affa berlari kecil menjauh darinya. Dalam hati, Senu berharap jika Baskara benar-benar tak mengikuti jejaknya. Karena ia tahu, meskipun semuanya terlihat baik-baik saja, pasti akan ada dampak buruk yang datang kemudian hari.
***
Kartika menunduk di kursi makan. Baru saja ia ditinggalkan oleh Baskara. Kini jelas mengapa Baskara marah dan memperlakukan Kartika seperti tadi malam. Ternyata Baskara tak suka dengan kehadiran Janu. Baskara menegaskan berulang kali bahwa Kartika adalah miliknya dan sampai kapan pun hanya akan menjadi miliknya. Tapi memangnya apa kesalahan Kartika jika bertukar sapa dengan Janu, hingga Baskara menghukumnya semalaman? Padahal Kartika hanya berniat untuk merawat jalinan persaudaraan yang telah ia rajut dengan Janu. Dan sempat terpikir oleh Kartika untuk menanyakan alasan mengapa Baskara sampai semarah itu kepadanya, tapi keberanian Kartika segera menguap saat melihat wajah Baskara yang menyeramkan.
Kartika masih merasakan pegal dan sakit di persendian tubuhnya. Jika saja Kartika tak mengingat kewajibannya sebagai seorang istri, Kartika tak mau bangkit dari tempat tidur, dan mengubur dirinya dengan selimut lembut. Kartika mengerang saat berusaha bangkit dan berusaha membersihkan meja makan. Tadi dirinya memang memasak untuk makan siang, karena Baskara memiliki pekerjaan mendesak, akhirnya Baskara berangkat bekerja walaupun telah tengah siang hari.
Dan ternyata Kartika membutuhkan waktu hingga lima belas menit lamanya, hanya untuk mencuci piring dan membereskan dapur. Rekor waktu terlama bagi Kartika. Itu karena setiap Kartika bergerak, tubuhnya terasa ngilu. Setelah bersusah payah, akhirnya Kartika tiba di kamar. Ia berniat kembali tidur, agar ngilu di sekujur tubuhnya bisa sedikit mereda.
"A-aduh," erang Kartika saat dirinya merebahkan diri. Sampai kapan pun, Kartika akan berusaha tak membuat Baskara marah. Hukumannya terlalu menyakitkan, dan Kartika tak bisa membayangkan jika dirinya harus terus-terusan merasakan sakit seperti ini. Tak butuh waktu lama hingga Kartika terlelap begitu nyenyak. Dan dalam waktu tersebut, Affa tiba di apartemen milik Baskara. Tanpa permisi, Affa memasuki apartemen karena dirinya tahu password pintu. Ia berulang kali memanggil nama menantunya, tapi ia sama sekali tak mendengar sahutan.
Maka dari itu, Affa melangkah menuju kamar dan menemukan menantunya tengah terlelap begitu nyenyak. Senyum keibuan terbit di wajah Affa. Ia melangkah menuju ranjang dan duduk di tepi ranjang. Tangannya yang kecil terangkat dan mengelus kening Kartika dengan lembut. Mata Affa terlihat berbinar lembut, ia sangat menyayangi gadis kecil yang telah berubah status menjadi menantunya ini. Affa berjanji akan menjaganya seperti putrinya sendiri. Dan jika sampai Baskara melukainya, Affa yang akan berdiri paling depan untuk menghukum Baskara.
Affa mengerutkan keningnya saat melihat bercak keunguan di leher Kartika. Napas Affa tertahan. Ia sudah berpengalaman dalam hal ini, jadi ia tahu apa penyebab dari bercak-bercak itu. Dan ia juga tahu gambaran kasar kondisi Kartika saat ini. Maka dengan lembut, Affa membangunkan Kartika. Tidak perlu banyak usaha, dan kini Kartika telah membuka matanya. Kartika terlihat canggung dan duduk bersandar di kepala ranjang.
"Ma-Mamah kapan datang? Maaf Kartika nggak tau Mamah mau datang, jadi Kartika malah tidur."
Affa tersenyum dan mengelus rambut sebahu Kartika. Jika dilihat-lihat, Kartika memang tampak versi muda darinya. Ya walaupun, Kartika memiliki keunikannya sendiri. "Enggak apa-apa Sayang. Kamu udah makan?" tanya Affa masih dengan senyum manisnya.
"Udah, Mah. Mamah mau minum apa? Biar Kartika buatin."
Affa menahan Kartika, saat menantunya itu akan bangkit membuatkan minum. "Enggak perlu, kamu cepet ganti baju, dan ikut Mamah."
Kartika terlihat kebingungan. Ia tentu harus meminta izin pada Baskara jika dirinya akan ke luar dari rumah. "Ta-tapi Mah--"
"Kamu cuma perlu ikut aja. Semuanya udah beres, jadi gak perlu takut ya."
Pada akhirnya Kartika menurut, dan ternyata keputusannya itu tak mengecewakan. Karena sebenarnya Affa membawa Kartika ke tempat spa milik Affa sendiri. Rasa pegal, ngilu, serta sakit di sekujur tubuhnya terasa berkurang banyak setelah mendapatkan pijatan-pijatan yang terasa nyaman. Ya walaupun pada awalnya Kartika sempat menolak tubuhnya disentuh oleh orang asing. Namun Affa berhasil meyakinkan jika orang-orang itu adalah orang baik yang bekerja padanya.
Affa yang juga mendapatkan pijatan tersenyum senang saat melihat menantunya mulai rileks dan tampaknya mulai tertidur. Affa memberikan isyarat agar orang yang memijat punggungnya berhenti. Setelah mengenakan kimono sutra yang telah disiapkan, Affa duduk menghadap pada Kartika.
"Perlakukan menantuku sebaik mungkin! Berlakulah dengan lembut, karena dia sangat sensitif," perintah Affa pada para pekerja terbaik yang memang sengaja ia panggil untuk melayani dirinya dan Kartika. Semua orang mengangguk. Wanita yang tengah memijat punggung kecil Kartika, memerah karena melihat begitu banyak bercak keunguan yang tersebar di sepanjang leher, bahu, dan punggung Kartika. Wanita itu jelas tahu, apa penyebab dari bercak-bercak yang menodai kulit putih Kartika, dan jujur saja, ia merasa malu melihatnya.
"Aku akan memeriksa sesuatu dulu," ucap Affa.
Setelah memastikan kembali keadaan Kartika, Affa melangkah ke luar ruangan khusus yang sering ia gunakan untuk mendapatkan pijatan. Seluruh tempat ini adalah miliknya. Tempat khusus yang dibuat seberkualitas mungkin oleh Senu, suami tercintanya. Spa milik Affa sangat terkenal dikalangan sosialita. Banyak istri pejabat serta pengusaha, yang tiap harinya berusaha mem-booking tempat untuk mendapatkan perawatan spa. Jadi bisa dibayangkan betapa berkualitasnya spa milik Affa ini.
Namun untuk hari ini, Affa secara khusus mengosongkan spa, demi membuat nyaman menantunya yang selalu merasa canggung jika bertemu dengan orang banyak. Dan usaha Affa tampaknya sangat berhasil, melihat betapa nyenyaknya Kartika tidur barusan. Affa berniat untuk masuk ke kantornya, sebelum melihat putranya yang melangkah cepat ke arahnya. Affa tersenyum senang dan merentangkan tangannya, berniat memberikan pelukan pada putra kesayangannya itu. Tapi ternyata Baskara tengah dalam suasana hati buruk.
"Di mana Kartika?" tanya Baskara.
Affa menurunkan kedua lengannya. Dan menatap Baskara dengan lembut. "Kartika sedang dipijat, biarkan dia istirahat. Dan ikut Mamah sebentar, ada banyak hal yang harus Mamah katakan padamu!"
"Apa yang ingin Mamah katakan? Baskara tak memiliki banyak waktu, Baskara harus membawa Kartika pulang secepat mungkin."
Affa mengerutkan keningnya saat melihat binar cemas di mata Baskara. "Baik, Mamah akan katakan sekarang. Kamu harus bersikap lembut pada Kartika, dia masih belum berpengalaman dalam banyak hal. Apalagi dalam masalah hubungan antara suami istri."
Baskara terdiam. Ia tahu arah pembicaraan kali ini. Dan untuk pertama kalinya, Baskara tak mau mendengarkan perkataan ibunya. Ia merasa jika perlakuannya pada Kartika memang telah wajar, sebagai seorang suami yang mendisiplinkan seorang istri. "Mah, Baskara melakukan kewajiban sebagai suami, dan meminta hak seorang suami. Semuanya seimbang. Dan Baskara juga harus mengatakan sesuatu pada Mamah," ucap Baskara serius.
"Apa yang ingin Babas katakan?" tanya Affa.
"Kartika adalah istri Baskara. Tanggung jawab besar yang kini berada di tangan Baskara. Jadi Baskara harap kedepannya, Mamah tidak membawa istri Baskara seenaknya seperti ini. Ada batasan yang tak bisa Mamah lewati, Baskara harap Mamah mengerti." Lalu Baskara melangkah menuju ruangan yang barusan Affa tinggalkan.
Affa terdiam, mencerna apa yang barusan anaknya katakan. Affa menutup mulutnya yang terbuka, ia ternyata membuat sebuah kesalahan. Ia membawa Kartika ke luar rumah, tapi tak meminta izin pada Baskara. Lebih-lebih, Affa lupa mengabarinya. Tapi akhirnya Affa tahu, jika putranya ternyata memiliki sebuah rasa tanggung jawab yang tinggi, dan Affa patut bersyukur. Tak lama, Baskara ke luar dengan Kartika yang meringkuk bagai bayi baru lahir dalam gendongan Baskara. Affa tersenyum tipis melihat Kartika yang hanya terbalut kain hijau pastel yang digunakan sebagai penutup tubuh ketika dipijat.
"Baskara dan Kartika pulang dulu Mah, permisi," ucap Baskara datar dan melangkah begitu saja, meninggalkan Affa yang hanya tersenyum tipis melihat kelakuan Baskara.
***
Kartika terbangun saat dirinya baru saja berbaring di atas ranjang empuk. Setelah beberapa kali berkedip, yang pertama kali Kartika lihat tak lain adalah wajah tampan milik Baskara. Wajah tampan yang memasang ekspresi marah. Ekspresi yang begitu Kartika takuti. "Kartika, aku sudah memperingatkan agar tak membuatku marah, bukan?"
Kartika berubah gagu, ia kesulitan membela dirinya sendiri. Dan pada akhirnya, Baskara kembali melanjutkan perkataannya. "Karena kaumembuat kesalahan yang fatal, lagi-lagi sepertinya aku harus memberikan hukuman setimpal untukmu. Bagaimana pendatmu?" tanya Baskara mengintimidasi. Pria itu kini setengah menindih tubuh Kartika yang terbaring pasrah di bawahnya.
"Aa, hiks maaf. Tika nggak niat buat ngebuat Aa marah." Wajah Kartika terlihat begitu pucat, ditambah dengan tubuh mungilnya yang bergetar hebat, menandakan betapa takutnya Kartika saat ini. Baskara mengetatkan rahangnya saat melihat Kartika menangis dan mengiba.
"Apakah kau takut?" tanya Baskara sembari menyusuri pundak telanjang Kartika. Kartika segera meremas kain hijau lembut yang melilit tubuhnya, ia benar-benar takut. Ia tak mau lagi diperlakukan seperti tadi malam oleh Baskara. Itu sangat menyakitkan.
"Hiks sakit, sakit!" Kartika menangis histeris. Baskara tertegun, ia tak menyangka Kartika akan menangis sehisteris ini. Padahal yang ia kira, Kartika akan sebatas merengek atau bergetar berlebihan. Terlebih, Kartika menangis sembari meneriakkan rasa sakit. Baskara berubah cemas, apa Kartika benar-benar sakit? Baskara meneliti wajah Kartika yang pucat pasi, Kartika memang terlihat kurang sehat.
"Apa yang sakit, di mana?" tanya Baskara sembari menangkup pipi Kartika. Tapi bukannya tenang, Kartika malah semakin histeris saat mendengar suara dingin nan tajam milik Baskara. Baskara memejamkan matanya frustrasi. Ia bangkit dan berdiri di tepi ranjang. Sedangkan Kartika segera beringsut menjauh dan berusaha menyembunyikan diri di sudut ranjang. Kartika menggigil sembari memeluk kedua lututnya erat-erat. Kain hijau yang melilit tubuh Kartika, terlihat melorot dan menunjukkan hampir sepenuhnya punggung kecil Kartika.
Baskara membuka matanya dan berdecak saat melihat kondisi istrinya. Tampaknya apa yang direncanakan oleh Baskara tidak sempurna. Ia terdiam beberapa saat, mengamati Kartika yang menangis tersedu, menimbang langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya. Setelah berpikir dan menyusun rencana, Baskara menghela napas sembari melepas kemeja kerjanya yang telah kusut, sekusut wajah Baskara saat ini. Ia lelah bekerja dan harus langsung mencari Kartika saat mendengar laporan yang tidak enak.
Merasakan bagian ranjang yang lain melesak, tanpa melihat pun, Kartika tahu jika Baskara kini telah menaiki ranjang. Kartika berusaha menyiapkan hati dan fisiknya, sebelum mendapatkan hukuman dari Baskara. Tapi bukannya mendapat kesiapan yang ia harapkan, Kartika malah semakin takut. Bayangan rasa sakit yang sebelumnya ia rasakan masih terbayang begitu jelas. Ia tak menyangka jika melakukan hubungan intim antara suami istri sangat menyakitkan seperti itu, padahal sebelum malam itu Kartika cukup menikmati kegiatan yang sering membuatnya terlempar ke awang-awang.
Tubuh Kartika tersentak saat tangan kekar Baskara menarik tubuh ringkihnya kedalam pelukan hangat Baskara. Kartika yang semula menangis tersedu-sedu, mulai mereda dan tenang saat Baskara menenangkan dirinya dengan keterdiaman di antara mereka. Baskara memeluk Kartika dengan lembut, dalam diam mencoba menenangkan Kartika yang ketakutan dengan semua perlakuannya. Ia menyeringai dalam hati saat rencananya ternyata tepat. Kartika mulai tenang, isak tangisnya yang histeris telah mereda. Bahkan napasnya yang sempat memburu dan tersendat-sendat, kini terngar lembut serta teratur. Dan tentunya, hal itu membuat kening Baskara terlipat.
Ia mengubah posisi Kartika dan berdecak saat mengetahui istrinya itu telah terlelap dengan nyenyak. Matanya yang sembab terkatup rapat dengan bulir air mata yang menggantung di bulu matanya yang lentik. Hidungnya yang kecil terlihat memerah, anak-anak rambutnya menempel di sekitar kening dan pipinya. Perpaduan penampilan Kartika sungguh membuat serigala dalam diri Baskara menggelegak. Karena bagi Baskara, Kartika tampak seperti anak rusa, mangsa alami dari seekor serigala sepertinya.
Tapi Baskara tak urung hanya mengamati Kartika yang terlelap dan tak berniat membangunkan istrinya itu. Ia menghela napas untuk kesekian kalinya, dan berbaring di samping Kartika. Matanya menyorot tajam pada wajah Kartika, tiba-tiba Baskara menyeringai. Seringai yang selalu berhasil membuat siapa pun yang melihatnya merinding tak terkendali. Dan siapa yang tahu, apa yang kini tengah ia rencanakan. Yang pasti, rencana itu tak pernah membuat siapa pun yang telah menjadi targetnya bernapas lega.
Ya, siapa pun.
Termasuk ... Kartika.