Kedua kaki Kartika terasa berdenyut sakit. Ia sudah tak kuat lagi untuk berdiri dengan sepatu hak tinggi yang ia kenakan. Karena itu, dengan susah payah Kartika berusaha menyelinap dari kerumunan orang-orang yang sebagian besarnya tak ia kenali. Pada akhirnya Kartika berhasil ke luar dari aula pesta yang terasa sesak untuknya. Malam ini, pesta mewah yang terasa eksklusif memang dilangsungkan di resort milik keluarga Sequis. Kartika sendiri tak tahu pasti letaknya. Namun yang jelas, sekeliling resort ini sangat indah.
Kaki Kartika membawanya menuju ayunan kayu berkanopi, yang terletak di tepi taman samping resort. Dengan perlahan Kartika duduk di sana setelah melepaskan sepatu yang ia kenakan. Helaan napas lega terdengar darinya. Kartika butuh waktu untuk istirahat dan mencerna semua yang baru saja tersaji.
Sembilan jam yang lalu, ia telah resmi menyandang nama Sequis di belakang namanya. Ia telah berjanji di hadapan Tuhan, untuk mencintai satu-satunya lelaki dihidupnya. Berjanji akan berbagi suka serta duka. Berjanji untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Berjanji untuk setia. Serta berjanji untuk menua bersama. Kartika juga mengingat dengan jelas bagaimana setelah mengucap janji suci, masih dengan gaun pengantin putih cantiknya, ia ditarik Baskara untuk memasuki sebuah ruangan yang ternyata telah diisi oleh orang-orang yang akan memberikan wejangan pernikahan untuk mereka. Banyak hal baru yang Kartika dapatkan saat pertemuan itu.
Kartika sedikit banyak memahami tugasnya sebagai seorang istri, setelah mendengar penjelasan dari Affa--ibu mertuanya--serta yang lainnya. Awalnya Kartika masih berpikir keras untuk merangkum semua ilmu yang ia dapat dengan cepat. Tapi Baskara dengan pengertian berbisik di telinganya dengan lembut, "Secara garis besar tugas seorang istri hanya satu, menuruti apa yang dikatakan suami. Perkataan suami adalah hukum mutlak." Lalu Baskara mengecup pipinya lembut. Dan acara kembali berlanjut.
Kartika kembali pada masa sekarang. Ia menunduk dan melihat cincin terindah yang pernah ia lihat, kini telah melingkar cantik di jari manisnya. Jika Kartika deskripsikan, cincin tersebut memiliki batang lingkaran yang kecil. Tapi detail ukiran di sepanjang batangannya itu sungguh indah. Lalu sebuah permata seukuran kacang hijau, menjadi pusat cincin. Permata tersebut berwarna biru gelap. Walaupun gelap, Kartika masih bisa melihat kilaunya. Sungguh menawan, dan entah mengapa dirinya langsung teringat pada Baskara. Misterius, namun memesona dalam satu waktu.
Kartika menghela napas dan mendongak menatap langit. Ia sungguh lelah. Hari ini, dirinya telah berdiri hampir lebih dari dua belas jam. Semua orang tampak senang menarik dirinya ke sana ke mari, mengenalkannya pada orang asing. Bibir Kartika mengerucut saat mengingat Baskara. Suaminya itu, menghilang entah ke mana setelah pesta resepsi berlangsung. Dan hal itu membuat Kartika kebingungan harus meminta tolong pada siapa. Karena Venty yang biasanya akan ia mintai tolong tengah sibuk berpacaran dengan Windu. Kartika tak tega untuk mengganggu keduanya. Tidak mungkin dirinya meminta bantuan Affa atau Senu, itu sungguh tidak sopan.
Larut dalam pikirannya, tanpa sadar Kartika menguap. Kepalanya terlihat miring dan bersandar di sandaran ayunan, ia tertidur dengan nyenyak di ayunan tersebut. Angin malam, berhembus membawa udara dingin yang menusuk tulang. Kartika menggigil pelan. Namun matanya masih terpejam erat. Ia terlalu lelah untuk merasa terganggu dengan udara dingin. Tak lama, Baskara muncul tiba-tiba entah dari mana. Ia masih terlihat sempurna dengan setelah jas biru gelap.
Mata Baskara berkilat hangat saat melihat Kartika tertidur dengan nyenyak. Istrinya itu mengenakan gaun berwarna senada dengan jas yang ia kenakan. Baskara melangkah dan berlutut untuk meraih kedua kaki Kartika, setelah menelitinya beberapa saat Baskara kembali meletakkannya dengan lembut. Ia kembali berdiri dan menatap wajah Kartika yang damai. Awalnya, wajah Baskara masih terlihat datar. Tak ada riak emosi di mata atau wajahnya. Namun beberapa detik kemudian, ledakan kebahagiaan terlihat di manik matanya. Disusul seringai kemenangan tercetak jelas di wajah aristokratnya.
Baskara menunduk, bibirnya kini telat di depan kening Kartika. Ia berbisik, "Selamat tidur bintang kecilku. Ah bukan, selamat tidur istri kecilku." Lalu Baskara mengecup lama kening istrinya. Cukup lama, namun Kartika sama sekali tak terusik. Yang ada, Kartika semakin terbuai dalam tidurnya.
***
Dinding cat berwarna biru gelap, menyambut Kartika saat membuka mata pertama kalinya. Kini ia duduk dengan linglung di ranjang yang cukup untuk menampung dua sampai tiga orang. Tapi beberapa saat kemudian, Kartika mengingat apa yang terjadi kemarin. Pernikahannya benar-benar berlangsung kemarin. Setelah mengucap janji suci, resepsi pernikahan segera dilangsungkan setelahnya. Tamu yang diundang hanya keluarga, kerabat dekat, teman dekat, serta beberapa kolega bisnis yang telah menjalin hubungan kerja sejak lama. Pesta berlangsung mewah namun tertutup.
Orang-orang banyak pasti sangat penasaran mengenai pernikahan putra satu-satunya dari pasangan Senu serta Affa, Baskara Prins Sequis, pemuda dengan sejuta pesona. Sampai saat ini, Kartika masih belum menyangka jika dirinya telah berstatus sebagai istri dari pria itu. Pria yang selama ini selalu menebar teror dalam hidupnya.
Telapak tangan Kartika terasa dingin. Apakah ia mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri? Dan apakah ia mampu menerapkan semua wejangan dari mertuanya? Kartika larut dalam lamunannya, gadis itu terlihat berbeda dengan gaun tidur satin tipis yang sangat pas di tubuhnya.
Suara pintu yang terbuka dan tertutup tak berhasil menarik Kartika dari lautan lamunan yang menenggelamkan dirinya. Baskara yang telah siap dengan pakaian formal kerjanya, terlihat merapikan tatanan rambutnya agar lebih rapi, sebelum menegur Kartika.
"Sudah bangun? Sepertinya aku harus mengingatkan sesuatu padamu Kartika, ingat apa yang tadi malam telah Mamah katakan. Ingat, seorang istri tidak seharusnya terbangun sesudah suaminya, Kartika. "
Kartika tersentak dan tertegun saat melihat Baskara yang tampak segar dengan setelan kerja yang ia kerjakan. Pria memesona tersebut adalah suaminya sekarang. Entah mengapa hati Kartika terasa bergetar. Getaran asing yang belum pernah ia rasakan.
"Sampai kapan kau akan di sana? Aku harus sarapan sebelum berangkat."
Kartika berkedip dan segera bangkit dari ranjang. Sekujur tubuhnya terasa pegal, apalagi sendi-sendi tubuh bagian bawahnya, sungguh sakit. Kedepannya nanti, Kartika akan menjauhi segala macam pesta dan sepatu hak tinggi. Keduanya sungguh menyiksa dirinya. Kakinya yang pendek segera membawa dirinya ke luar dari kamar. Untuk kedua kalinya ia terpana pada hari ini. Ia baru tahu jika saat ini dirinya tengah berada di apartemen milik Baskara. Aroma khas milik Baskara tercium hampir di setiap sudutnya, membuat getaran hati Kartika semakin terasa.
"Kartika!" Panggilan Baskara sukses membuat Kartika gelagapan, ia segera berlari menuju sumber suara. Ternyata Baskara telah duduk di kursi dengan sebuah koran pagi di tangannya. Pria itu melirik Kartika yang masuk ke kamar mandi yang berada di samping dapur, setelah ke luar dari sana wajah Kartika terlihat lebih segar, terlihat beberapa air menetes di ujung dagunya yang bulat.
"Ka-Kak Baskara mau dibuatin apa buat sarapan?" tanya Kartika ragu. Ia tak mengetahui selera Baskara, jadi ia bingung harus membuat apa.
"Buat apa yang kau bisa, selagi itu tidak memakan waktu lama. Sebelum itu, buat kopi hitam panas dengan setengah sendok teh gula. Gunakan cangkir di lemari atas gantungan serbet!"
Dengan kikuk, Kartika melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Baskara. Masih lekat dalam ingatannya, bahwa Affa pernah memberi wejangan, sebagai seorang istri, ia harus melaksanakan semua perintah suami. Maka dengan gugup, kini Kartika menyajikan kopi panas tersebut untuk Baskara sebelum dirinya kembali ke dapur untuk memasak. Dan betapa dirinya terkejut melihat isi kulkas yang penuh dengan bermacam-macam bahan masakan. Mata Kartika berkilauan saat melihat potongan daging sapi, ayam, dan bahan seafood berada di lemari pendingin.
Namun Kartika mendesah, ia tak bisa membuat makanan yang terlalu lama mengolahnya karena Baskara harus segera berangkat kerja. Jadi Kartika mengambil dua butir telur, dan menyiapkan penggorengan. Akhirnya ia memutuskan untuk membuat telur ceplok dan nasi putih hangat. Menurut Kartika itu cocok untuk sarapan pagi. Setelah disiram kecap manis, tentu saja itu semakin cocok. Tak lama, Kartika menyajikan sarapan yang telah ia buat di atas meja. Baskara segera melipat koran dan menatap piring kosong yang kini mulai diisi nasi hangat oleh Kartika.
"Em nasinya lagi Kak?" tanya Kartika pelan. Kakinya terasa kebas saat melihat Baskara menatap piring telur goreng.
"Sudah cukup," jawab Baskara ringan. Kartika mengangguk dan mengambil satu buah telur goreng yang tampilannya lebih baik dari yang satunya. Setelah merasa cukup melayani Baskara, Kartika duduk di tempatnya dan mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Kecap manis yang membasahi sebagian nasi menjadi sentuhan terakhir sebelum Kartika memakan sarapannya.
"Ini terakhir kalinya kau membuatkanku nasi polos dan goreng telur untuk sarapan. Aku tidak suka dengan bau gosongnya." Baskara melirik pada telur di piring Kartika, terlihat jelas satu sisi telur tersebut hitam kering, tanda jika sisi itu digoreng terlalu lama.
Kartika berusaha menelan kunyahannya dengan sekuat tenaga, karena makanan itu terasa berubah menjadi batu saat mendengar perkataan Baskara. Padahal tadi dirinya tengah menikmati makanannya dengan tenang. Dengan kepala menunduk, Kartika memainkan sendok serta garpunya sebelum menjawab pelan, "Iya Kak."
"Kau masih boleh membuat telur goreng, tapi perhatikan cara mengolahnya. Perhatikan juga kandungan gizi yang kita konsumsi. Jelas, kita juga membutuhkan sayur. Untuk selanjutnya ganti nasi dengan roti! Selebihnya, kau harus banyak belajar pada Mamah. Beliau adalah sosok yang bisa dijadikan contoh sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik dan sempurna." Baskara kembali melanjutkan makannya, walaupun semua itu tak sesuai dengan seleranya.
"Iya Kak."
"Satu lagi, jangan panggil aku Kakak. Aku bukan Kakakmu."
Kartika mengangkat wajahnya dan menatap Baskara yang kini tengah sibuk menghabiskan sarapannya. Ia menggigiti bibirnya gusar. Baskara yang menyadari hal itu, bertanya tanpa mengangkat pandangannya dari piringnya, "Apa yang ingin kau tanyakan?"
Kartika terlihat terkejut, ia terdiam sesaat sebelum menjawab, "Terus Kartika harus manggil apa?"
Baskara tak terburu-buru menjawab. Ia meletakkan garpu dan sendoknya, lalu menyesap air putih sebelum menyeka sudut bibirnya dengan tissue. Kini atensinya sepenuhnya terarah pada Kartika yang tengah menatapnya dengan polos. "Itu tugasmu. Cari panggilan yang cocok untuk kita gunakan. Jika bisa, gunakan panggilan yang agak unik. Aku tidak suka sesuatu yang standar."
Kartika membeku. Apa? Jika bisa, saat ini pula dirinya membenturkan kepalanya pada dinding. Kartika tidak mungkin bisa melakukannya. "Pikirkan dengan baik, setelah aku pulang kerja, aku harap kau telah menyiapkannya. Jika aku puas, akan ada hadiah yang menantimu. Tapi jika tidak, aku sendiri tak ingin membayangkan apa yang akan terjadi nanti."
Kartika meremas tangannya cemas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ah ia bisa meminta bantuan Venty, temannya itu pasti memiliki ide-ide yang pasti akan membantunya. Tapi niat Kartika itu terlebih dahulu terbaca oleh Baskara. Dan suaminya itu segera menutup jalan lintas Kartika dengan satu kalimat yang membuatnya bergetar ketakutan, "Gunakan kemampuanmu sendiri, aku akan tau jika kau melanggarnya."
Baskara berdiri dan menyerahkan dasi yang terlipat pada Kartika. "Pakaikan!"
Lagi, Kartika menggigit bibirnya cemas. Ia tak bisa memakaikan dasi. Wajahnya yang mungil mulai pucat dengan cepat. Baskara menghela napas saat bisa membaca pikiran Kartika. "Tugasmu bertambah banyak rupanya. Selain mencari nama panggilan, kau juga harus belajar memakaikan dasi. Besok, aku akan bekerja dengan dasi yang kau pakaikan. Sekarang sudah terlambat," ucap Baskara sembari menatap jam yang melingkari pergelangan tangannya. Setelah itu ia melangkah menuju belakang kursi Kartika.
"Jangan ke luar apartemen tanpa seizinku. Jangan pula membukakan pintu untuk sembarang orang. Ponselmu kusita. Hubungi aku menggunakan telepon rumah, nomor teleponku serta nomor telepon penting lainnya ada di buku telepon di laci. Aku pergi dulu, jadilah istri yang baik." Baskara menanamkan sebuah kecupan di puncak kepala Kartika.
Kartika membeku. Membeku karena kehangatan asing yang terasa dalam hatinya. Getaran samar sebelumnya terasa mulai menguat. Kartika gusar dengan apa yang ia rasakan. Kegusarannya membuat Kartika tak menyadari jika Baskara telah beranjak pergi. Setelah menepuk pipinya berulang kali. Kartika segera menghabiskan sarapannya sebelum beranjak memebereskan rumah. Sebagai seorang istri, tugas seperti ini tentunya sudah menjadi kewajiban bagi seorang istri. Tidak perlu banyak waktu membersihkan apartemen Baskara, karena pada dasarnya semuanya masih bersih dan tertata rapi.
Tepat jam sebelas pagi, Kartika telah mandi dan duduk di sofa. Televisi menyala menayangkan acara berita. Kartika terlihat canggung. Ia tak terbiasa santai seperti ini. Karena biasanya pagi menjelang siang, Kartika telah berangkat ke restoran untuk bekerja. Namun sayangnya, sebelumnya Baskara telah memperingatkan Kartika untuk tidak kembali bekerja. Baskara mengatakan, "Aku lebih dari mampu untuk menafkahimu."
Kartika menghela napas dan menyandarkan punggungnya. Ia bosan. Jika saja dirinya hafal nomor telepon Venty, mungkin ia bisa menghubunginya agar datang ke sini dan menemaninya. Tapi sayangnya Kartika sama sekali tak hafal, nomor telpon dirinya sendiri saja tak ia hafal. Kini Kartika merebahkan diri. Otaknya mulai berpikir untuk menyelesaikan tugas dari Baskara, yang pertama ia harus mencari nama panggilan yang sekiranya cocok untuk Baskara. Sedangkan untuk tugas kedua, mungkin Kartika akan belajar dari buku yang berada di ruang baca Baskara nanti.
"Hem Kak Baskara emang cocok dipanggil Kakak. Kan dia lebih tua dari aku. Tapi gak mungkin juga kalo aku panggil Om atau Bapak. Kak Baskara gak setua itu juga."
Kartika mengerucutkan bibirnya. Setelah hampir dua jam berpikir, ia tak bisa menemukan panggilan lain yang cocok untuk Baskara. Yang ada, Kartika merasa mengantuk karena kebosanaan. Tak lama, Kartika meringkuk di sofa dan tidur dengan pulas.
***
Baskara mengerutkan keningnya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen, tapi tetap tak menemukan istri kecilnya. Beberapa saat kemudiam Baskara mencium bau yang asing di hidungnya dan membuatnya bersin beberapa kali. Dengan langkah panjang, Baskara menuju dapur apartemen yang bergabung dengan ruang makan. Ia melihat punggung kecil Kartika yang tengah berjibaku di dapur. Aroma tajam yang menusuk hidung Baskara, semakin tercium di sana.
Helaan napas Baskara terdengar. Membuat Kartika berjengit kaget dan hampir melukai dirinya sendiri. Mata bulat Kartika bergetar saat melihat Baskara yang bersandar di kusen pintu. Kartika seeera mematikan kompor, dan mencuci tangan sebelum melangkah menghampiri Baskara.
"Kakak sudah pulang? Ma-maaf Kartika telat masak, soalnya tadi Kartika ketiduran," ucap Kartika dengan wajah memerah. Tentu Kartika merasa malu karena Baskara lagi-lagi melihat dirinya lalai dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Baskara tak menjawab dan meraih belakang kepala Kartika, lalu mencium kening Kartika dengan lembut. Sebelum melangkah menuju kamar meninggalkan Kartika yang kebingungan. Tapi Kartika tak memikirkannya terlalu lama, dan kembali ke dapur untuk melanjutkan acara memasaknya.
Setelah selesai memasak, Kartika segera beranjak menuju kamar. Dan bertepatan dirinya memasuki kamar, Baskara baru saja ke luar dari kamar mandi dengan celana panjang dan kaos biru gelap yang ia kenakan. Rambutnya yang basah terlihat jatuh di atas keningnya. Ini kali pertama Kartika melihat tampilan Baskara yang tak serapi biasanya. Dan Kartika tak menyangkal jika Baskara juga tampak sangat menawan dengan tampilan seperti ini.
"Cepat mandi!" Kartika tersentak dan mengangguk. Ia segera melangkah menuju kamar mandi setelah membawa pakaian gantinya.
Tak berapa lama, Kartika telah muncul kembali di dapur dengan gaun tidur satin yang dibelikan oleh Baskara. Baskara telah menunggu. Jadi Kartika segera menghampiri Baskara dan bertanya, "Ka-Kak Baskara mau makan sekarang?"
Baskara hanya mengangguk dan mengizinkan Kartika menyendok nasi serta lauk pauknya ke atas piringnya. "Cukup, duduklah dan makan!"
Kartika menurut dan segera duduk untuk mulai makan. Tapi baru saja ia menyuap makanan, reaksi aneh Baskara membuat Kartika menghentikan niatnya. "Kakak kenapa?"
"Aku tidak suka terasi," jawab Baskara jujur dan meletakkan sendok makannya dengan gerakan anggun. Wajah Kartika memucat. Tadi ia menggunakan terasi untuk memasak tumis kangkung. Kartika tidak tahu jika Baskara tidak menyukai makanan seperti itu.
Melihat wajah Kartika yang memucat, Baskara berdehem sebelum berkata, "Sudahlah, lanjutkan makanmu! Untuk sekarang, aku akan menghargai masakanmu ini dan memakannya. Tapi, kedepannya jangan melakukan hal ini lagi."
Kartika menunduk dan menurut. Ia kembali makan dengan tumis kangkung. Sedangkan Baskara makan dengan ayam goreng yang juga menjadi menu makan malam. Baskara mengambil sayap ayam dan meletakkannya di atas piring Kartika. "Habiskan!"
Kartika mengangguk patuh dan menghabiskan isi piringnya. Kilat puas terlihat di manik matanya setelah makan malam selesai. Kartika beranjak membereskan sisa makan malam. Sedangkan Baskara melangkah ke kamar setelah berkata pada Kartika, "Selesaikan pekerjaanmu, aku menunggu di kamar."
Dan dengan jantung berdebar kuat Kartika memasuki kamar mereka. Baskara tampak duduk berselonjor kaki di atas kasur. Ia memangku sebuah buku tebal, dan kaca mata baca terlihat menggantung di batang hidungnya yang tinggi. "Sikat gigi, cuci muka, kaki dan tanganmu, lalu naik ke atas ranjang!" perintah Baskara tanpa mengangkat pandangannya dari buku miliknya. Kartika kembali mengangguk dan berlari untuk melaksanakan perintah Baskara.
Baskara sendiri larut dalam bacaannya dan kembali tertarik pada dunia nyata saat mencium harum samar tubuh Kartika. Ia mangangkat wajahnya dan melihat Kartika yang baru saja duduk di sampingnya dengan gestur kaku. Tanpa menutup bukunya, Baskara bertanya, "Aku tidak suka dengan bahan makanan yang berbau tajam. Seperti bawang-bawangan, terasi, jengkol, petai, ikan asin, semacam itu. Jadi aku harap kedepannya kau tidak memasak makanan seperti itu lagi."
Kartika menunduk dan memainkan kukunya. "Iya Kak," jawab Kartika setengah tak rela, karena semua makanan yang disebutkan oleh Baskara, adalah makanan kesukaan Kartika.
"Dan bagaimana dengan tugasmu?"
Seketika mata Kartika semakin meredup. "Belum Kak. Tapi, bukannya Kakak emang paling cocok dipanggil Kakak ya? Kan Kakak lebih tua dari Kartika."
Baskara menutup bukunya dan melepas kaca mata miliknya. Ia menoleh pada Kartika dan dengan serius berkata, "Jika aku tua, kenapa tidak sekalian kau panggil dengan sebutan Kakek?"
"Tapi Kakak tidak setua itu," jawab Kartika polos.
Baskara memejamkan matanya kesal. Kartika tidak bisa membedakan perkataan sarkasme. "Apa susahnya membuat panggilan kesayangan? Bukannya banyak bahasa di dunia, kau seharusnya bisa mencari satu saja nama panggilan yang cocok untukku."
Kartika mengerucutkan bibirnya, kening mengerut tanda jika dirinya tengah berpikir keras. "Seperti, Oppa?"
"Ya, seperti itu. Tapi jangan gunakan itu. Sebutkan yang lain."
"Mas?"
"Tidak."
"Akang?"
"Tidak."
"Abang?"
"Aku bukan tukang bakso," ucap Baskara cepat.
Kartika mengerucutkan bibirnya dan dengan asal berkata, "Abah."
"Apa aku setua itu?" tanya Baskara.
"Kartika gak ada ide."
"Pasti ada," ucap Baskara masih menutup matanya tenang.
"Kang Mas?"
"Tidak, aku sering mendengar panggilan itu."
Kartika terdiam. Ia telah seharian memeras otaknya untuk memikirkan hal yang menurutnya tak penting ini. Tapi Kartika tak mau mengambil resiko membuat Baskara marah dengan cara tak melakukan apa yang pria itu perintahkan.
"Aa Babas."
Baskara membuka matanya. Ada binar bahagia yang lembut di manik matanya. "Gunakan panggilan itu."
Kartika tersenyum senang. Akhirnya tugasnya selesai dan dirinya bisa tidur dengan tenang malam ini. Wajahnya yang mungil terlihat berbinar indah. Mengundang seringai menyerahkan di wajah Baskara.
"Gadis pintar," puji Baskara sembari mengusap puncak kepala Kartika.
"Dan karena kerjamu baik, aku akan memberikan hadiah."
Sebelum Kartika bisa bereaksi, Baskara mengangkat Kartika ke atas pangkuannya dan memeluknya dengan erat. Lalu dengan secepat kilat Baskara mencium bibir kartika dengan dalam, mengulumnya lembut, penuh perasaan. Tangan kekar Baskara yang kekar berlarian di sekujur tubuh mungil Kartika. Semua serangan Baskara itu, membuat Kartika ketakutan. Tubuhnya yang kecil bergetar di dalam pelukan Baskara. Dan Baskara menyadarinya. Ia melepaskan ciumannya, lalu menatap Kartika dalam. Baskara menyatukan kening mereka serta berbisik, "Jangan takut, aku tidak mungkin melukaimu."
Lalu Baskara menanamkan sebuah kecupan lembut di kening Kartika sebelum kembali berkata, "Aku hanya ingin meminta hak seorang suami. Yang tentunya menjadi sebuah kewajiban bagi seorang istri untuk memberikannya."
Semburat merah muda yang sangat tipis terlihat dikedua pipi Kartika. Ia memang telah mewanti-wanti hal ini, tapi tetap saja dirinya merasa malu. Tapi rasa malu itu segera berubah menjadi rasa takut saat Kartika mengingat sebuah artikel yang pernah ia baca mengenai sakitnya pengalaman pertama, wajah Kartika berubah pucat pasi. Sebelumnya Kartika menikah dengan Baskara, memang karena tertangkap tangan tengah tidur berdua dengan keadaan telanjang, dan secara kasar bisa digambarkan bahwa Kartika seharusnya telah pernah berhubungan intim. Tapi kartika sama sekali tak mengingat itu. Ia bahkan tak tahu seperti apa kegiatan mereguk nikmat surga dunia itu. Kepala Kartika serasa ingin meledak karena kebingungan serta rasa takut yang ia rasakan.
"Kartika, percaya padaku," ucap Baskara serius. Matanya menarik Kartika untuk terfokus hanya pada dirinya. Dan tanpa sadar Kartika mengangguk. Ia merasa jika Baskara akan melindunginya. Baskara tak akan pernah melukainya. Kartika sendiri tak tahu, darimana asalnya keyakinan itu. Selanjutnya, Kartika dan Baskara berubah menjadi Love Bird yang tampak baru saja mengenal pasangan mereka. Terutama Baskara, pria dingin itu terlihat lebih hidup. Kehangatan yang telah lama telah tersimpan di bawah alam sadarnya muncul ke permukaan. Dan hanya ditujukan untuk Kartika, si bintang kecil yang telah menjadi istrinya, miliknya.