Kartika Malu-Malu

1188 Words
    Kartika mengintip malu-malu di balik celah pintu kamar, yang menghadap langsung pada kursi meja makan yang tengah diduduki oleh Baskara. Perasaan gelisah terlihat jelas di kedua manik mata Kartika yang memerah, efek nyata dari tangis histerisnya tadi malam. Baskara sendiri sebenarnya telah mengetahui bahwa Kartika tengah mengintip, ia hanya tengah memberikan waktu agar Kartika ke luar sendiri. Tapi setelah menunggu dalam rentang waktu yang cukup lama, Kartika masih saja belum ke luar dari sana. Pada akhirnya Baskara menutup koran yang ia baca dan menatap pintu kamar di dalam apartemen mewahnya.     "Mau sampai kapan berdiri di sana? Cepat ke luar, Neng!"         Mendengar perintah Baskara, tubuh Kartika menegang. Dan tak lama, dengan malu-malu Kartika melangkah ke luar dari kamar dengan perlahan. Sosoknya yang mungil tampak hanya terbalut oleh kemeja besar milik Baskara. Saking besarnya, panjang kemeja tersebut mencapai lutut Kartika.     Baskara mengangguk puas. Ia memang sengaja menyembunyikan semua pakaian Kartika yang mengisi lemari, dan hanya menyisakan beberapa set pakaian dalam. Sehingga Kartika hanya boleh menggunakan pakaian dalam dan luaran berupa kemeja, atau kaos milik Baskara. Itu semua untuk meminimalisir kejadian seperti kemarin. Baskara yakin, Kartika tidak akan berani ke luar rumah dengan pakaian seperti itu. Kartika pasti merasa terlalu malu untuk itu.     Sesuai dengan perkiraan Baskara, Kartika memang merasa sangat malu saat ini. Kini ia hanya mengenakan pakaian dalam serta kemeja biru tua milik suaminya. Kartika merasa jika pakaian seperti ini kurang pantas untuk dirinya kenakan. Tapi, ia tak memiliki keberanian untuk membantah perintah Baskara. Kemarahan Baskara tadi malam, membuat Kartika kapok. "Tika, Aa sudah lapar," ucap Baskara pada Kartika yang tampak malu dan canggung.     Kartika tersentak, ia segera berlari kecil menuju dapur dan memasak untuk sarapan. Dalam kegugupan yang tengah meliputi diri Kartika, ia berusaha untuk mengerjakan tugasnya dengan sebaik mungkin. Karena Baskara akan berangkat sebentar lagi, Kartika berusaha untuk memasak sesuatu yang simpel saja, roti isi. Tidak butuh waktu lama, Kartika telah menyelesaikan masakannya dan menyajikannya di meja makan. Kartika juga tak lupa membuatkan kopi hitam yang selalu Baskara konsumsi setiap pagi. Acara sarapan berlangsung begitu saja, tanpa ada perbincangan yang berarti. Baik Baskara dan Kartika masing-masing memakan dua potong roti isi, alias menghabiskan semua masakan yang dibuat Kartika.     Baskara menyeka bibirnya dengan tisu dan mengamati Kartika yang tengah menghabiskan s**u vanilanya. Mata Baskara berbinar aneh saat Kartika menjilati tetesan s**u yang tersisa di bibir atasnya. Entah karena alasan apa, Baskara menatap tajam ke arah bibir tipis Kartika yang berwarna merah muda. Sedetik kemudian, Baskara  angkat bicara.     "Sudah selesai?" tanya Baskara.     Kartika mengangguk cepat sembari mengintip takut-takut di balik bulu matanya yang tebal. Baskara bersedekap dan menatap tajam pada istri mungilnya yang bertambah mungil dalam balita kemeja miliknya itu. "Masih ingat peraturan apa saja yang harus kaupatuhi?" tanya Baskara lagi.     Kembali Kartika mengangguk. Kepalanya kini dipenuhi dengan ucapan Baskara yang sebelumnya ia dengar. Ucapan semacam dikte peraturan uang yang harus Kartika ingat dan patuhi sepanjang waktu. "Aku perlu jawaban berupa suara, bukan hanya anggukan seperti itu. Aku masih yakin, jika aku tidak menikahi seorang wanita bisu." Baskara tampak gemas karena tingkah istrinya itu.     Kartika takut bukan main saat mendengar suara Baskara yang tampak makin dingin serta menusuk relung hatinya. Kartika mendongak dan menjawab pelan, "Iya Aa, Tika masih ingat."     "Coba sebutkan!" perintah Baskara.     Kartika mulai menyebutkannya satu persatu dengan patuh, "Pertama, gak boleh nerima tamu. Kedua, kalau ada kiriman barang, perintahkan kurir untuk simpan paket di depan pintu. Ketiga, tidak boleh ke luar apartemen. Keempat, kalau mau ke luar apartemen, harus izin dulu sama Aa. Kelima, kalau ada yang dibutuhkan, langsung telpon Aa aja. Keenam, gak boleh telpon orang lain, sebelum izin sama Aa. Betul kan?" Suara Kartika terdengar begitu bangga karena berhasil mengingat semuanya dengan sempurna.     Baskara hanya mengangguk singkat, sebelum menyodorkan dasi berwarna biru gelap pada Kartika. Tampaknya Kartika mengerti apa yang diminta oleh Baskara, jadi kartika segera bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Baskara yang kini memposisikan dirinya agar Kartika bisa berdiri di antara kakinya yang terbuka.     Kembali keheningan menyelimuti apartemen mewah tersebut. Jika Kartika tengah disibukkan dengan kegiatannya menyimpulkan dasi suaminya, maka sang suami yang begitu dihormati sekaligus ia takuti, tengah mengawasi Kartika dalam diam. Baskara tak bisa menahan sebuah seringai saat melihat Kartika tersenyum senang, karena berhasil memasangkan dasinya.     Tanpa menahan diri lebih lama, Baskara menarik Kartika agar duduk di salah satu pahanya. Kartika jelas memekik terkejut, tetapi pekikannya segera terputus karena bibirnya kini tengah dipagut mesra oleh Baskara. Kartika merasa sesak. Jantungnya berdegup begitu cepat. Ia tak bisa membedakan jika degup jantungnya itu, bukan disebabkan oleh rasa takut, tapi lebih pada hal lain yang baru ia rasakan seumur hidupnya.     Baskara melepaskan pagutannya dan menangkup wajah Kartika dengan lembut. Ada rasa puas saat melihat warna merah muda merebak di pipi dan telinga Kartika yang memang berkulit putih pucat. "Manis, saking manisnya aku tak rela membiarkan siapa pun melihatmu," ucap Baskara dengan nada setengah frustasi.     Salah satu tangan Baskara terangkat dan merusak simpul dasinya. "Lihat, simpulnya berantakan. Sekarang, perbaiki,” ucap Baskara pada Kartika. Wajah Kartika berubah masam. Bibirnya mengerucut disertai keningnya yang mengerut. Apa Baskara tak tahu, bagaimana usaha Kartika memasangkan simpul tersebut? Kini Baskara malah merusaknya dan memintanya untuk kembali memasangkannya. Jelas Baskara menahan kekehan saat melihat wajah kesal istri manisnya. Upaya tepat untuk mengalihkan kegugupan serta kecanggungan yang Kartika rasakan.     Mungkin ini akan menjadi kegiatan menyenangkan tiap harinya. Sementara Kartika masih sibuk, Baskara menarikan tangannya menuju poni tipis di kening Kartika. Penampilan Kartika memang berubah cukup banyak setelah berstatus sebagai istrinya. Dan perabuhan itu, kini tampak lebih menonjolkan pesona yang selama ini terpendam.     Kulit putih yang bersinar, rambut hitam sebahu yang lembut. Serta tubuh mungil yang tampak rapuh dan selalu mengundang untuk mendapatkan sebuah pelukan serta perlindungan sekitarnya. Itulah Kartika saat ini, sangat memesona dan Baskara tak mau jika orang lain sampai menikmati keindahan Kartika ini.     Kartika kesulitan membuka mata saat Baskara meniupkan udara tipis ke arah matanya. Refleks, Kartika mengucek kedua matanya yang terasa gatal. Tapi Baskara menahan kedua tangan Kartika dengan lembut, lalu mencium kelopak mata Kartika yang tertutup otomatis saat Baskara mendekatkan wajahnya.     "Gadis manis, ingat semua peraturannya, patuhi, dan bersenang-senanglah di apartemen. Semua kebutuhan Tika sudah Aa siapkan. Bertingkah lah baik, dan Aa akan pastikan Tika mendapatkan hadiah."     "Ha-hadiah?!" Suara Kartika terdengar meninggi. Ia tampak bersemangat saat mendengar soal hadiah, kepalanya langsung bekerja saat mengingat boneka beruang besar berwarna biru, yang pernah Baskara hadiahkan padanya. Sudut bibir Baskara berkedut saat melihat betapa antusiasnya Kartika. Tapi ia tak berkomentar apa-apa, selain menatap Kartika dengan pandangan yang melembut.     "Ya. Tapi itu nanti, jika kau bersikap baik. Aa harus berangkat kerja dulu."     Kartika mengangguk, dan meraih tangan Baskara lalu mencium punggung tangannya dengan hormat. "Hati-hati di jalan ya, Aa."     "Baik, Aa akan pergi."     "Iya, Aa," jawab Kartika patuh.     Baskara berdehem pelan. Ia belum bisa berangkat bekerja karena Kartika masih duduk dengan nyaman di atas pahanya. Dan tampaknya, Kartika belum menyadari hal itu. Sungguh bodoh, tetapi begitu menggemaskan. "Tapi, Aa akan kesulitan untuk pergi, jika Eneng tetap duduk di sana."     Seketika Kartika sadar. Pipinya memerah dengan cepat. Ia turun dari pangkuan Baskara dan melangkah mengikuti Baskara yang melangkah menuju pintu apartemen. Sebelum ke luar dari pintu, Baskara lagi-lagi memberikan kecupan perpisahan di bibir Kartika, belum juga berangkat kerja, Baskara sudah merasa rindu dengan istrinya satu ini. Ah, apa Baskara tidak usah berangkat bekerja saja? Sayangnya, Baskara harus tetap berangkat bekerja. Baskara harus bekerja untuk menafkahi istri manisnya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD