Bab 3. Perceraian Dan Lamaran

1029 Words
Raut wajah Yuda yang semula senang langsung lenyap seolah terbawa angin. Pria tersebut membisu, berharap apa yang telah masuk ke telinga hanya sebuah angan. “Ceraikan aku jika kamu pilih Erna,” jelas Luna tanpa perlu Yuda minta. Bibir Yuda tersenyum ragu. “Kamu bercanda kan, Luna? Kamu hanya sedang marah saja, kan?” Pandangan Luna menatap serius dengan mulut yang bisu. Jika dibandingkan harus mengabdi pada suami dan membesarkan dua anak yang bukan miliknya, Luna lebih memilih berpisah. “Andai hanya Hafiz yang kamu inginkan, tak mungkin kamu tergiur dengan tubuh yang Erna ajukan padamu.” Ya, Luna harus berhenti larut dalam kesedihan. Masa depannya sedang diperjuangkan hari ini. Luna memprediksi kelakuan Erna tak akan ada habisnya hanya untuk menempati ranjang Yuda Kembali. “Soal itu—” Yuda bingung harus menjelaskan bagaimana, sebab pria tersebut tahu telah salah. “Kalau aku tidak mau cerai bagaimana?” tantang Yuda. “Aduh! Laki-laki buaya kayak kamu banyak, buat apa Luna pelihara kamu, Yuda?” Kepala Yuda menoleh pada ibu yang menghina anak sendiri. “Ibu dukung kamu kalau mau cerai, Luna. Biar kamu menyebalkan, tapi ibu suka juga. Kalau cara Yuda begini, lebih baik pisah,” lanjut ibu mertuanya. “Belum tentu juga Erna mau jadi istri kedua,” sambung Luna. Yuda langsung menarik napas sangat panjang. Satu sisi pria tersebut ingin mempertahankan Luna yang dicintai, sisi lainnya Yuda tidak bisa membiarkan Hafiz jatuh ke tangan Erna sepenuhnya. “Kamu yakin mau cerai?” tanya Yuda dengan wajah meremehkan, “seorang janda akan dinilai murah oleh pria lain, kamu siap direndahkan?” Luna tersenyum sinis, kemudian tangan menunjuk pundak suaminya. “Menurutmu, saat ini kamu sedang memandangku tinggi atau rendah?” “Menyentuh mantan istri, hingga dia memanfaatkan hal itu untuk minta pertanggung jawaban atas kehamilannya dengan pria lain,” sindir Luna. “Tidakkah kamu merendahkan aku, Yuda?” Mulut Yuda langsung bisu begitu sindiran dari Luna terlalu membuat Yuda kehilangan kata. “Tenang saja, sebelum dicerai kamu pun. Banyak yang antre!” *** “Seriusan?” Ayu mencomot kentang goreng di atas meja. Mulut yang mengunyah membuat Wanita tersebut menjawab dengan angukkan. Kemudian mata terangkat dan menemukan Bastian yang tersenyum lebar. “Serasa dapat togel,” ujar Bastian sembari menyandarkan punggung pada kursi. Bastian mendapat kabar dari sang tunangan, kalau Luna dan Yuda sedang memproses gugatan cerai. Ayu sendiri masih sibuk mencomot pesanan Bastian yang lainnya, ketimbang merasa tersinggung dengan wajah senang dari sang tunangan. “Aku akan melamar Luna,” ujar Bastian memberi tahu. Ayu langsung menoleh dengan kaget. “Gila, ya? Belum juga surat gugatan cerai jadi, kamu main tikung.” Bastian memanggil pegawai café sembari menyodorkan buku menu di hadapan Ayu. “Ketimbang terlambat lagi, mending booking duluan.” Kepala Ayu menggeleng. “Dasar tidak waras. Hati itu butuh rehat, baru juga disakiti mana mungkin mba Luna mau membuka kesempatan.” Bastian tatap Ayu yang menunjukkan reaksi biasa saja. Malah lebih tertarik dengan deretan menu di dalam buku yang dibuka. Dia memang membayar wanita ini untuk diberi status tunangan palsu. “Kapan Luna pergi dari rumah Yuda?” tanya Bastian. “Hari ini.” Begitu mendapat jawaban dari Ayu, Bastian langsung mengambil kunci mobil di atas meja dan berdiri secepat kilat. “Eh! Bayarin!” Bastian mengambil beberapa lembar uang ratusan, kemudian memberikan pada Ayu yang tersenyum senang. Persetan dengan kembalian, Bastian hanya butuh Luna duduk di kursi mobilnya untuk diantar pulang ke rumah orang tua. Mengemudi dengan kecepatan diluar nalar, Bastian akhirnya tiba di depan rumah Luna. Mata Bastian menemukan Yuda yang hanya diam, menatap tukang angkut barang menggotong barang milik Luna. “Kata Ayu mau pindah sekarang?” singgung Bastian begitu keluar mobil. Luna hanya diam dengan sesekali menunjuk barang yang harus diangkut lebih dulu. Yuda yang melihat Bastian memutuskan untuk berjalan mendekat dan tersenyum. “Kamu cari Ayu ke sini, Bas? Ayu biasanya sedang nongkrong—” “Anjing siapa yang menggonggong?” potong Bastian sekaligus bertanya pada Luna. Yuda memandang di sekitar, mencari anjing yang dimaksud oleh Bastian. “Yuda,” sebut Bastian. “Ya?” Yuda nampak bingung dengan hilangnya embel-embel Mas dari mulut Bastian. Bastian mengulas senyum. “Makasih ya.” “Buat apa, ya?” Luna tatap calon mantan suaminya ini yang tidak mengerti alasan Bastian tiba-tiba berterima kasih. “Aku antar ke rumah,” ujar Bastian mengabaikan Yuda. “Ketimbang naik taksi atau nebeng sama mobil angkut barang,” lanjut Bastian. Siang itu, Luna pada akhirnya memilih diantar pulang oleh Bastian. Selama perjalanan Bastian kerap mencuri pandang ke arah Luna yang hanya diam. Jemari dia mengetuk permukaan stir tanpa mengurang fokusnya mengemudi. “Kena pidana tidak sih, kalau masa iddah belum kelar udah dilamar lagi?” Mata Luna melirik malas. “Tidak tahu.” Bastian mengusap stir mobil, dia ingin meraih tangan Luna sekarang dan digenggam dengan erat. “Kalau nolak lamaran, bisa digugat dan dipenjara tidak, sih?” Helaan napas dari Luna meresap di sekeliling mobil. Luna kesal dengan pertanyaan dari mantan pacarnya yang ditinggal nikah olehnya ini. “Kamu yang harusnya lamar Ayu!” seru Luna. Ketika berada di jalur kereta. Bastian menatap sekeliling dahulu, kemudian mendadak melintas dan tepat pembatas kereta turun, Bastian dengan sengaja berhenti tepat di atas rel. Kepala Luna menoleh dengan menunjukkan raut kaget. “Mobilnya kejebak?” tanya Luna cemas. “Aku bukan sedang melamar Ayu, tapi kamu, Luna.” “Mobilnya mogok?” Bastian menarik napas, melihat Luna yang panik sendiri dan tidak mendengarkan. “Luna,” sebut Bastian. Suara teriakan dari banyaknya pengemudi dan warga sekitar membuat Luna makin berpikir sempit. Apalagi suara pertanda kereta yang akan melintas. Luna sudah membuka sabuk pengaman dan Bersiap keluar dari mobil. “Kita harus cepat keluar!” seru Luna panik. Tapi, Bastian langsung meraih tangannya dan melarang untuk turun. “Aku akan menikahi kamu, Luna.” “Ayo keluar!” Luna mendadak kesal dan melirik kereta yang sudah bisa dilihat. Beberapa orang nampak mendekat dengan ragu, mereka juga turut takut ditabrak kereta. “Mati bareng atau nikah sama aku?” “Nikah!” Begitu Luna memutuskan dengan gegabah, Bastian tertawa senang dan mulai menghidupkan mesin mobil dan langsung tancap gas, Bastian tidak peduli dengan mobil yang tergores setelah menabrak pembatas kereta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD