Bab 1. Dia Hamil
"Kemarin aku lihat surat emas di tas kerja. Kamu beli gelang, Mas?"
Kepala Yuda langsung terangkat begitu mendengar pertanyaan Luna, namun mulut tidak menjawab dengan cepat.
"Bukan aku yang beli," sekalinya menyahut, Yuda malah menyangkal.
"Suratnya atas nama Erna, kamu lupa kasih ke Erna kemarin?" tanya Luna dengan nada sindiran.
"Erna nitip, makanya suratnya ada padaku," jawaban suaminya berbeda lagi.
Luna menarik napas sejenak. Setidaknya ia mendebat pun harus dengan kepala yang dingin.
"Menitip atau kamu yang sengaja belikan?"
Ekspresi Yuda nampak tidak terima atas tuduhan darinya. Tubuh Yuda sepenuhnya berdiri dari berjongkok, bahkan meninggalkan mainan yang belum dikeluarkan dari bungkusnya.
"Hanya karena masalah surat emas, kamu malah menuduh yang tidak-tidak."
Luna tatap suaminya lekat. Siapa yang tidak tahu, kalau Erna, mantan istri suaminya kerap mengajak berlibur dengan menjadikan Hafiz, anak mereka sebagai alasan.
"Oke, aku tidak akan berkomentar soal surat emas lagi."
"Besok katanya kamu sama Erna mau kemah?" Luna menanyakan apa yang tetangga bicarakan.
Erna dan suaminya tinggal di satu komplek yang sama, hanya berbeda blok saja. Berita apa pun pasti akan tersebar dan masuk ke telinganya.
Yuda menarik napas. "Hafiz di sekolah ada acara kemah, aku sebagai orang tua harus mendampinginya."
Mendengar alasan itu, Luna langsung tersenyum sinis.
"Rujuk lagi saja sana sekalian!" ujar Luna dengan suara lantang.
Kaki Luna mulai berjalan pergi karena kesal dengan suaminya yang tidak tegas.
"Merasa kamu masih jadi suaminya, suruh pergi sana-sini, angkat galon saja telepon kamu. Jadi, wanita gatelnya minta ampun!"
Yuda menggaruk kepala dengan rasa kesal, padahal tubuh Luna sudah masuk ke kamar. Namun, suaranya yang menyindir masih terdengar.
***
"Sebenarnya kamu bisa mengurus suami tidak, sih?"
Tangan Luna sibuk mengelap piring yang selesai dicuci. Pandangan Luna langsung terangkat, ia tatap wajah Rina, alias mertuanya yang nampak kesal ini.
"Ibu malu tahu! Tetangga gosipin Yuda yang sering mengajak Erna pergi!"
Mendengar hal itu, Luna langsung tersenyum miris.
"Jangankan Ibu, aku juga ikut malu bahkan kesal juga," sahutnya.
Rina menghela napas kesal. "Kamu harus tegas sama suami, larang Yuda buat ketemu sama Erna!"
Luna sepenuhnya meninggalkan kegiatannya pada piring. "Memangnya aku kakinya mas Yuda, Bu? Bisa aku rem saat dia ingin ke rumah Erna."
Rina sudah mulai menatap kesal, namun tidak bisa melampiaskan rasa itu. Mengingat kalau Luna yang berasal dari keluarga kaya.
"Makanya kamu harus cepat punya anak. Biar Yuda tidak cari Hafiz terus."
"Kalau aku hamil, terus mas Yuda masih cari Hafiz dan pergi sama mantan istrinya itu. Ibu mau tanggung jawab kalau aku stress?"
Mulut wanita setengah baya ini langsung membisu begitu mendengar ocehannya. Kemudian Rina memilih meninggalkan Luna di dapur.
"Bujuk Yuda buat pindah."
Itulah kata terakhir yang Luna dengar dari mulut mertuanya sebelum benar-benar pergi. Luna melempar kain lap sembarangan.
"Dikira aku hanya diam apa? Sudah sering aku bujuk, ujungnya malah nolak," komennya dengan kesal.
Dari mulai alasan cicilan rumah belum lunaslah, jarak rumah ke kantor yang dekatlah. Bahkan, masalah air yang alirannya bagus saja dijadikan alasan.
Hari sudah malam, namun Yuda tak kunjung menjemput Luna di rumah mertua. Hal itu membuat Luna menjadi kesal dan memutuskan untuk pulang sendiri.
"Malam begini sudah mau pulang? Tidak tunggu Yuda saja?" tanya ibu mertuanya.
Luna melirik jam di tangan yang sudah menunjuk pukul 9 malam.
"Ibu kan tahu sendiri, mas Yuda sedang kemah sama Erna dan anaknya," sindir Luna.
Baru saja Luna membuka pintu, di depan rumah berhenti mobil berwarna silver. Mata Luna saling pandang dengan pemiliknya sebentar.
"Eh Bastian, bisa antar mba-mu ke rumahnya?"
Luna melirik Rina yang malah menyuruh tunangan dari adik Yuda untuk mengantarnya.
"Tidak usah, Bu. Lagian cuma ke blok G saja," Luna langsung menolak.
Ya, beginilah nasib Luna. Rumahnya dengan Rina juga sama, hanya beda blok saja. Kalau lingkungan masih satu komplek.
Bastian membuka kaca mobil. "Minta dituntun, Mba?"
Mendengar tawaran dari Bastian sembari tersenyum entah mengapa membuat Luna kesal.
"Kalau tidak perlu ya tidak!"
Bastian langsung menyeringai, mendengar penolakan disertai bentakan dari Luna. Namun, dia tak menyerah begitu saja.
Turun dari mobil dan langsung menawarkan tangan pada Luna.
"Yuk Mba, aku tuntun!"
Luna mendengkus kesal dan memilih salim pada ibu mertuanya. Bastian tatap Luna lekat, dia menebak kalau Luna tidak akan masuk ke mobil.
Biasanya Luna punya harga diri setinggi Gunung Everest.
"Katanya mau antar!"
Namun, malam itu Luna justru naik ke mobil milik Bastian. Tebakan yang meleset membuat Bastian tersenyum, kemudian berjalan mendekati mobil.
"Hati-hati jalannya, ya!" pesan ibu mertuanya.
"Beres, Bu."
Bastian telah memasuki mobil. Namun, tak kunjung menyalakan mesin. Dia lirik dahulu Luna yang bagai patung, menghadap ke depan tanpa berkedip.
"Tumben mau satu mobil lagi," sindir Bastian pelan.
Luna mendelik malas, kemudian memilih menghadap jalanan lagi. Bastian tersenyum miris, merasa Luna tidak akan merespons dia langsung tancap gas mengantar.
Bastian melirik dua rumah yang terlewati, di sana ada anjing besar, suka mengejar apa pun yang melintas. Itulah alasan Luna memilih diantar.
"Nikah buru-buru memang bikin sengsara, ya," mulut Bastian menyindir.
"Jadi manusia yang sabaran dikit makanya, ditinggal kuliah ke luar negeri saja malah nikah. Udah gitu sama duda yang belum move on lagi."
Kali tersebut Luna sudah tidak tahan. Tangannya yang berat langsung memukul Bastian, sampai membuat pria tersebut meringis tanpa melepas kemudi.
"Gila! Pukulanmu masih sepedas masa pacaran dulu."
"Berisik! Sekarang kamu tunangan Ayu!"
Bastian langsung melirik. Alasan dia menjadikan Ayu tunangan, karena Luna yang menikah dengan Yuda, alias kakaknya Ayu.
Bastian menarik napas. "Dia hanya alibi, manusia yang aku incar sebenarnya ada di sebelahku."
Luna tidak mendengarkan. Baginya, pria yang meninggalkan dirinya demi karir bukanlah jodohnya. Siapa yang menduga kalau Bastian masih mengejarnya begitu pulang, sementara posisi Luna adalah istri Yuda.
Sebuah status yang tidak bisa diganggu semudah membalikkan telapak tangan.
"Noh si duda sudah pulang," sindir Bastian.
Luna tatap Yuda yang sempat menghalangi wajah dari silaunya lampu sorot mobil Bastian.
"Dia masih punya istri," sahut Luna sembari membuka pintu mobil.
"Kamu yang antar istriku, Bas? Terima kasih, ya."
Itulah yang diucapkan oleh Yuda ketika Luna telah turun dari mobil. Bukannya merasa bersalah, suaminya ini malah nampak senang saja.
Hal itu membuat Luna kesal dan memutuskan untuk langsung masuk ke pekarangan rumah. Yuda yang sempat ingin mengajak bicara Bastian sampai tidak jadi.
"Luna."
Luna memasuki rumah dengan kesal, membuat Yuda mengikuti dirinya. Begitu melihat Luna yang duduk di sofa sembari membanting tas, tubuh Yuda langsung berhenti melangkah.
Luna tatap suaminya yang justru hanya berdiri, tidak kunjung duduk di sebelahnya dan membujuk.
"Enak? Kemah sama mantan istri?" sindirnya.
"Luna, ada yang ingin aku bicarakan."
Nada Yuda terdengar serius. Luna menegakkan punggungnya dengan mata menelaah, apa yang membuat suaminya saat ini terlihat murung.
"Soal apa?"
"Erna hamil."