Malam yang indah dengan berhiaskan bulan yang sedang tampak sempurna di angkasa, deretan bintang bintang tampak membetuk diagram indah di langit malam.
Langit tampak bersahabat dengan semilir angin yang berhembus menyapa daun-daun yang menjuntai seolah ingin menyentuh langit cakrawala.
Luci masih berdiri di antara alam yang mulai terasa dingin menyapa kulit tubuhnya yang terbalut dress berwarna peach tanpa lengan dengan selendang menutup lengan atasnya, Sesekali Surai itu melayang tertiup angin malam yang semakin terasa dingin.
Tatapannya masih senantiasa menyelusuri kegelapan yang menyelimuti bumi di depannya namun tetap terlihat cantik dengan lampu lampu yang menyala menghiasi gemerlap malam.
Cinta
Ya cinta memang begitu indah kala cinta itu sama-sama kita rasakan dengan orang yang kita cintai.
Sayang
Sayang adalah wujud keikhlasan hati yang mendasar pada setiap insan yang bernyawa meski terkadang logika tak sejalan dengan nurani.
"Hey, apa yang kau pikirkan? Angin semakin dingin," sapa seseorang sambil menggandeng pinggangnya mesra. Luci hanya tersenyum tanpa mengalihkan pandangan pada hamparan gelap dengan lampu yang menyala bagai kunang kunang di kejauhan. Orang itu pun ikut memperhatikan arah pandang Luci.
"Aku memang jarang menikmati suasana di balkon ini, terlebih di malam hari," sambung orang itu.
Ya Luci sedang berdiri di teras balkon apartemen Martin, tentunya bersama sang empunya apartemen tersebut.
"Sudah berapa lama mas tinggal di sini?" Tanya Luci masih dengan memandang langit yang tampak indah.
"Sudah hampir lima tahun, ya meski aku memang tidak selalu tinggal di sini. Aku hanya sesekali menginap di sini, jika ingin menenangkan pikiran atau hanya ingin menyendiri saja," ucap Martin dengan cukup jelas.
"Mas tau gak? Dulu waktu aku masih kuliah, aku sering memperhatikan mas dari jarak yang cukup dekat, walaupun mas tidak pernah menyadari itu," Luci mencoba terbuka hanya untuk memancing keterbukaan kekasihnya Martin.
"Oh ya, aku bahkan tak menyadari itu," jawab Martin sedikit membanggakan diri, walau sebenarnya Martin tau beberapa mahasiswinya dulu memang banyak yang mengaguminya, bahkan ada yang terang-terangan menyatakan kekagumannya, dan ada pula yang menyatakan cinta padanya, tapi Martin sama sekali tidak menanggapinya karena waktu itu hatinya sudah terpaut pada seorang wanita yang sudah meninggalkannya dua tahun yang lalu hanya untuk mengejar karier model-nya.
"Tentu saja kau takkan menyadari itu, karena kau terlalu fokus pada kekasihmu," batin Luci tanpa berani mengucapkannya.
"Apa kau tau berapa banyak mahasiswi yang mengagumimu waktu itu?" Luci kembali dengan pertanyaan yang membuat Martin sedikit mengerjitkan alisnya
"Entahlah aku tak peduli, seingat aku cukup banyak tapi,,,,," Martin menggantung kata katanya. "Sudahlah itu semua tidak penting, yang terpenting sekarang kau adalah kekasihku, wanita yang aku sayangi, dan mantan mahasiswi ku meskipun beda fakultas," Martin berkata sambil memeluk bahu Luci dan membiarkannya bersandar di pundaknya.
"Berarti aku termasuk mahasiswi yang mengagumimu namun terabaikan gitu," Luci terkekeh menertawakan dirinya sendiri.
"Bukan begitu sayang, tapi dulu, aku punya kekasih, jadi aku hanya menjaga prasaan pacar aku aja," jelas Martin, terdengar nada kekecewaan dalam kalimatnya. Sangat jelas terdengar dia mengucapnya dengan sangat berat, namun Luci hanya tersenyum dengan senyuman yang entah dia sendiri tidak tau maknanya.
"Kekasih yang sudah mencampakkan mu begitu saja demi obsesi nya menjadi seorang model," kembali Luci membatin.
Keduanya memilih masuk dan duduk di sofa ruang tengah yang tak begitu luas, karna malam semakin larut angin pun semakin dingin menyapa Indra peraba.
Sebelumnya mereka memang berencana untuk makan malam saja tapi mengingat malam belum begitu larut Martin mengajak Luci mampir di apartemennya dan Luci mengiyakan permintaan Martin, dan di sinilah sekarang mereka berada.
"Mau kubuatkan minuman hangat, atau kau mau minuman yang sedikit beralkohol, kebetulan juga aku punya beberapa bir dan wine di kulkas." Tawar Martin
"Tidak, minuman hangat saja, papaku bisa ngamuk jika dia sampe mencium aroma alkohol di napasku," jelas Luci, bagaimanapun dia sangat menghormati ayahnya, dia tidak akan mengecewakan ayahnya dengan bertingkah konyol
"Apa kamu pernah mengkonsumsi alkohol?" Tanya Martin lagi.
"Ya sesekali, itupun ketika berada di alam bebas atau ketika traveling," jawab Luci apa adanya
"Oh, apa kau juga suka berpergian jauh?"
"Ya begitulah,"
"Ooh apa itu sebabnya kau bisa kenal dengan Zeedan? Mengingat Zee memang penikmat alam bebas dan olahraga extrim." Tebak Martin sambil menatap Luci intens
"Tidak, aku dan Zeedan kenal ketika berada di universitas merah putih, aku dan Zeedan mengambil jurusan yang sama yaitu bisnis dan tehnik otomotif, dari sana aku tau Zeedan juga suka berpetualang di alam bebas, dan menyukai olahraga olahraga extrim. Hobby yang sama membuat kami menjadi sahabat sampai sekarang. Jika ada acara touring, maka Zeedan pasti akan menghubungiku." Jelas Luci
Martin terdiam cukup lama, sambil memperhatikan gadis di sampingnya, memperhatikan gerak bibir yang berwarna pink, yang sangat kontras dengan kulit wajahnya yang putih bersih tanpa noda jerawat.
"Jadi sampai sekarang kamu masih sering traveling bersamanya?" Tanya Martin sedikit ragu.
"Ya begitulah," jawab Luci apa adanya.
Martin semakin mendekatkan jarak tubuhnya, bahkan sekarang tubuhnya sedikit miring dengan kepala yang di topang dengan tangan kiri yang bertumpu di sandaran sofa.
Merasa jaraknya dengan Martin terasa sangat dekat, Luci menoleh dan dek,,, dek,,,dek,,, Jantungnya berpompa lebih cepat dan lebih keras, bagaimana tidak jarak wajahnya sekarang sudah hampir tidak berjarak, bahkan hidungnya dan hidung Martin sudah bersentuhan, netra keduanya kini beradu saling berserobok, hembusan napas keduanya seakan menyatu menjadi satu hembusan dan satu tarikan.
Pikiran Luci sudah jauh berkelana di alam patamorgana, ketika tangan Martin sudah memegang ujung dagunya dan menariknya sedikit ke atas sehingga wajah Luci sedikit mendongak.
Seketika Luci memejamkan matanya, ia siap jika Martin ingin mencumbunya.
Cup
Hangat, sangat hangat terasa ketika bibir tipis Martin mulai menyentuh bibirnya. Ciuman yang lembut, sangat lembut, berbeda dengan ciuman yang pernah dia rasakan dari David yang sedikit memaksa, dan mendominasi permainan lidah kala itu. Kali ini Martin menciumnya dengan sangat lembut, meski pada awalnya Luci belum bisa membalas ciuman itu, namun lembutnya ciuman Martin cukup mampu membangkitkan hasratnya, tanpa sadar Luci mulai mengikuti nalurinya dengan mengikuti gerak bibir dan lidah Martin.
Kini tangan Martin yang sebelumnya mengangkat dagu Luci sudah berpindah ke tengkuk Luci, menahan gerak kepala Luci, dan tangan satunya lagi yang tadi menyangga kepala Martin kini mulai beralih ke pinggang ramping Luci, mengikis jarak diantara kedua tubuh itu, tubuh keduanya menempel sempurna
Tangan Luci yang semula terabaikan kini sudah mengalung memeluk dan melingkari bahu dan leher Martin, sesekali meremas tengkuk Martin yang terbuka tanpa rambut yang menutupinya. Keduanya hanyut dalam ciuman yang memabukkan, saling mengecap rasa dan bertukar Saliva yang sungguh tidak bisa terukur rasa nikmatnya
Belum ada yang mau mengakhiri permainan lidah itu, Martin semakin memperdalam ciumannya mulai membelit lidah Luci dengan lidahnya, Luci pun tidak mau kalah, ia semakin menarik dan meremas tengkuk Martin mulai menikmati hangatnya rongga mulut yang sedikit beraroma alkohol, karna tadi Martin sempat meneguk segelas minuman beralkohol namun tidak cukup mampu menghancurkan kesadaran Martin.
Martin semakin gencar menyalurkan hasratnya, hasrat yang sudah lama tidur karena di tinggal kekasih kala itu. Tangan Martin kini menyusuri seluruh punggung Luci yang lapang, mengusapnya lembut dari atas kebawah dan sesekali meremas pinggangnya sehingga tubuh Luci menggeliat dalam pelukannya.
Ciuman itu pun terlepas, napas keduanya bersautan seolah mereka sudah berlari seribu kilo meter, napas keduanya sama-sama tersengal, sebelum Martin akhirnya mulai melanjutkan ciumannya kembali ke telinga, menyusuri leher jenjang Luci, memberikan kecupan kecupan ringan di sepanjang leher jenjang Luci, menikmati aroma parfum tubuh kekasihnya itu, membuat tubuh Luci meremang, dan terbakar gairah, "Martin," lengkuhan Luci akhirnya terlepas.
Menyadari itu Martin kembali menyulut gairah Luci dengan mencium telinganya dan menggigitnya ringan dan kembali ke daging mentah berbalut lipstik merah muda beraroma coklat dan mint itu. Daging mentah yang sungguh nikmat dan membuatnya berhasrat,
Martin kembali melumatnya, kali ini dengan sedikit kasar, Luci kembali membuka sedikit mulutnya, memberi akses Martin untuk menelusup kan lidahnya, kembali menenggelamkan ciumannya di pangkal lidah dan mengecap rasa manis dari lidah kekasihnya.
Martin menarik tubuh Luci untuk berdiri tanpa melepaskan pergulatan lidahnya dengan lidah kekasihnya. Karna tubuh Luci lebih rendah dari tubuh Martin kini posisi Luci yang mendongak dengan tengkuk Luci yang di tahan oleh sebelah tangan Martin dan tangan satunya lagi memeluk erat pinggang Luci, tangan Luci yang tadinya mengalung di leher Martin kini berpindah di bagian tubuh bawahnya di selingkaran d**a dan pinggang Martin. Kedua tubuh itu bergesekan mengikis jarak di antara keduanya.
Tangan Martin kembali menelusuri tubuh belakang Luci, perlahan mencari sekat pemisah dress peach Luci, kemudian menurunkan resleting dress yang Luci kenakkan, menyadari tindakan Martin yang menurunkan resleting dress-nya Luci mulai tersadar, seketika pelukannya terlepas di tubuh Martin kemudian menahan lengan Martin yang sedari tadi menjelajah tubuh belakangnya, sambil menggelengkan kepala, memberi isyarat jangan, bersamaan dengan itu ciuman keduanya terlepas dengan kasar, sedikit kekecewaan di hati Martin, hasratnya sudah di ubun-ubun bahkan bagian inti tubuhnya sudah sangat keras di antara kedua pahanya meminta di tuntaskan.
Keduanya masih berdiri, menyeimbangkan irama jantung masing-masing, napas keduanya tercekat-cekat di tenggorokan.
"Maaf untuk hal yang itu aku gak bisa," dengan susah payahnya Luci mengucapnya dengan sangat lirih namun mampu Martin dengar dengan cukup jelas.
Martin membawa tubuh Luci kedalam pelukannya, memeluk erat tubuh langsing itu seolah tak ingin melepaskannya.
"Maafkan aku sudah terlalu jauh menuntut mu," lirih Martin sambil mengecup ubun-ubun Luci, menghirup aroma rambut yang begitu harum. Luci masih menyeimbangkan napasnya di d**a Martin, dengan kedua tangannya berada di depan d**a Martin , menjadi pemisah antara tubuhnya dan tubuh Martin.
Luci melepaskan pelukan tubuhnya dari eratnya pelukan Martin, dan memberi jarak di antaranya kemudian mendongak menatap wajah laki-laki yang sudah hampir tiga tahun ia kagumi namun baru menyambut perasaanya dua bulan lalu, sembari tersenyum hangat.
Luci melirik jam yang tergantung di tembok atas televisi itu waktu sudah menunjukan angka 12:10 pm.
"Ayo balik, ini sudah sangat larut, aku gak mau papa nungguin aku sampe selarut ini jika anak gadisnya belum di antar pulang oleh pacarnya," kekeh Luci.
"Oke," Martin seketika menyambar kunci mobilnya dan mengulurkan sebelah tangannya untuk Luci genggam, kemudian Luci bangkit dari duduknya dengan menggenggam tangan Martin, karena Martin menarik beban tubuh Luci untuk berdiri. Kumudian keduanya berlalu meninggalkan unit itu.
Sesampai di rumahnya, benar saja Teo ayahnya Luci masih menunggunya di teras depan sambil mondar mandir dengan kedua tangganya di lipat kebelakang pinggangnya.
"Papa, kenapa belum tidur," ucap Luci yang langsung memeluk tubuh Teo.
"Apa kalian tidak punya jam tangan, atau penunjuk waktu? Lihat ini sudah jam berapa?" Teo dengan wajah khawatirnya sambil menunjukan jam tangan di sebelah kiri lengannya.
"Maaf om tadi,,,,,"
"Tadi ban mobilnya Martin bocor pa, ya ban mobilnya bocor, jadi,,,, ya kami ke malaman." Bela Luci.
"Luci, ini bukan ke malaman sayang tapi sudah masuk waktu dini hari," kembali Teo menunjuk jam tangannya yang sudah menunjukan angka 12:45am.
"Ya, maaf om. Saya benar-benar minta maaf atas keteledoran saya," Martin berusaha menenangkan calon mertuanya.
-
-
-
-
-
-
-
-
Ke esokan harinya di sekolah menengah atas SATYA, David masih menunggu Luci.
Hari ini tidak ada jam pelajaran bahasa Indonesia di kelas dua belas B,
Tapi karna beberapa hari ini David tidak masuk sekolah, Alhasil ia harus menemui gurunya itu untuk menanyakan jadwal belajar di luar sekolah yang sudah di jadwalkan oleh Luci sebelumnya. David beberapa kali menghubungi nomer gurunya itu tapi tetep tidak ada jawaban.
Jam istirahat, David kembali menghubungi nomer handphone gurunya lagi, namun masih tidak ada jawaban. Akhirnya David memutuskan mencarinya di ruang guru, namun sesampainya di ruang guru Luci juga tak ada di sana.
"David, ada apa?" Tiba-tiba pak Martin sudah berada di belakang tubuh David.
"Ah tidak ada pak," David gelagapan sehingga spontan menggaruk alisnya yang tiba-tiba terasa gatal. Melihat gelagat David yang celingak celinguk seolah sedang mencari sesuatu atau mencari seseorang,
"Apa kamu mencari sesuatu atau seseorang," tanya pak Martin lagi.
Dan David semakin gelagapan.
"Anu,,,, itu,,, apa ibu Luci tidak masuk hari ini?" Tanya David gugup
"Kenapa?" Tanya Martin heran
"Ada yang harus gue,, eeh aku tanyakan, soalnya," jawab David
"Penting"
"Cukup"
"Kamu sudah telpon dia"
"Sudah pak tapi tidak di jawab," terang David.
"Oh ibu Luci hari ini tidak ada jam mengajar jadi ,dia minta izin tidak masuk, karna besok juga hari sabtu kalender merah, mungkin ibu Luci mau liburan, jadi perkara dia tidak menjawab telpon kamu, mungkin dia sedang bersiap-siap berangkat," terang pak Martin sambil berjalan memasuki ruang guru.
Guru biologi sekaligus dosen ilmu sains itu memang terkesan dingin di sekolah, meski dia tergolong laki-laki yang cukup tampan dan populer di kalangan para wanita, guru itu belum pernah di gosip kan yang buruk-buruk mengenai hubungannya dengan seorang wanita.
Sampe sekarang ketika dia dekat dengan Luci hampir semua murid wanita dan guru wanita yang masih lajang seolah patah hati dengan hubungan mereka.
"Apa ibu Luci bilang, mau pergi kemana?" Tanya David sedikit ragu
"Paling traveling sama teman-teman lintas alam nya." Jawab Martin santai
"Bukankah bapak dan ibu Luci menjalin hubungan? Apa bapak tidak keberatan dengan semua itu," tanya David lebih jauh, ingin menggali sejauh mana hubungan pak Martin dengan Luci.
"David, berhubungan itu bukan berarti kita harus membatasi gerak langkah pasangan kita, aku percaya Luci bisa menjaga dirinya dengan baik, lagi pula hobby dan kebiasaanya itu sudah melekat di dirinya, secara ayahnya saja tidak melarangnya, lalu apa hak aku yang hanya sebatas kekasih melarang kebebasannya?" Jelas Martin
"Ooooh"
David cuma ber oh ria. Semir licik mulai terbit di wajah tampannya, Dalam hatinya mulai menyusun rencana dan strategi.