13. Jurus Andalan

2608 Words
Mobil sport merah terbuka itu terlihat melejit di antara kendaraan yang memadati jalanan, sesekali mobil itu terlihat menerobos lampu lalu lintas yang sedang menyala merah. Beberapa kendaraan lain yang mulai terganggu, spontan mengumpat sang pengendara, tapi masa bodoh, yang dia pikirkan hanya satu, dia harus cepat jika tidak mau terlambat. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya waktu menunjukan angka 10:12 am. Dia adalah David fabian, ya dia bolos sekolah dan sekarang dia sedang menuju rumah gurunya, Luci Mervino. Tin tin Mobil sport merah itu sudah sampai di depan gerbang rumah Luci. Tampak pintu gerbang rumah itu sudah terbuka lebar. David turun dari mobilnya, menghampiri pak Ali yang kebetulan sedang berdiri di samping gerbang rumah itu. "Selamat pagi pak," sapa David ramah. "Selamat pagi," bales pak Ali tak kalah ramahnya. "Ibu Luci ada pak?" Tanya David berusaha menenangkan suaranya yang dari tadi ngos-ngosan seperti orang yang sedang lari di kejar anjing galak dan siap menggigit pangkal pahanya. "Ada, tapi kayaknya mbak Luci hari ini gak akan masuk mengajar, karena dia mau pergi," jawab pak Ali tetap ramah. "Pergi, kemana?"~ David Tin tin Luci terkejut melihat David yang kini sedang berada di rumahnya masih dengan seragam sekolah. Luci turun dari mobilnya dan menghampiri David yang tengah terpaku dan menghalangi jalannya. "David, apa yang sedang kau lakukan di sini?" Tanya Luci sedikit heran, sambil melepas kaca mata hitam yang bertengger cantik di hidung mancungnya yang minimalis. David masih terpaku melihat penampilan Luci. Dalam hati David mengumpat Tidak percaya David berkali-kali melihat dari ujung kaki hingga ujung rambut Luci. Pakaian yang serba hitam. jaket jeans hitam, celana jeans hitam, sepatu boot hitam cuma kaos dalam yang berwarna putih, dan syal hitam yang melingkari lehernya ,persis seperti personil band rock and roll yang bentar lagi akan manggung lalu jingkrak-jingkrak di atas panggung. "Mbak mau kemana?" Tanya David dengan suara yang sedikit tercekal. Rasanya dia kesulitan menelan Salivanya sendiri saat melihat gurunya itu dengan pakaian seperti itu. "Dave, mbak tanya, kamu ngapain di sini, kenapa malah balik tanya? jangan bilang kamu bolos dari sekolah?" Luci mengulang pertanyaannya dan mengabaikan pernyataan David. "Anu,,, itu. Anuu ,,,, aku udah ijin kok mbak jadi kali ini aku gak bolos lho mbak," jelas David dengan senyum jaimnya. "Terus ngapain di sini?" ~ Luci "Mau ketemu mbak"~ David "Untuk," Luci sedikit mengerjitkan alisnya pertanda tidak mengerti maksud Dave. "Ya kan mau meminta jadwal belajar di luar sekolahlah mbak, lagian dari tadi aku telpon tapi Mbak gak jawab telpon aku." Bela David untuk dirinya sendiri. Gugup sudah pasti David rasa tapi bukan David namanya kalo gak bermuka tembok, dan bisa berkelit dari pertanyaan sepele macam ini. "Oke. David kita bicarakan ini besok hari Senin saja ya, soalnya untuk sekarang aku gak bisa," jelas Luci bersikap setenang mungkin. "Kenapa mbak? Emang mbak mau kemana?" Tanya David pura-pura heran seolah dia tidak tau Luci akan pergi, tapi emang bener dia tidak tau kemana Luci akan pergi "Aku ada acara sama teman-teman kuliahku. Udah ah aku udah telat," potong Luci dan buru-buru kembali masuk ke belakang kemudi mobilnya. Tapi seketika Luci terkejut ketika menyadari David juga ikut naik dan masuk ke mobilnya. "Kamu ngapain ikut naik?" suara Luci sedikit meninggi karena jujur Luci tidak tau apa yang sedang ada di pikirannya David. "Aku mau ikut mbak," jawab David enteng sambil tersenyum jaim, seolah dia sedang ikut nebeng pergi ke sekolah atau nebeng beli bakso. "David, aku akan berpergian cukup jauh dan mungkin akan menginap beberapa hari di sana," suara Luci sedikit melemah, berharap David akan memahaminya dan memilih tidak ikut. "Aku tidak peduli mbak, aku akan tetap ikut kemanapun mbak pergi," kali ini David memohon dengan wajah memelas, ini adalah jurus andalan David. Percayalah dia selalu berhasil mendapatkan apapun yang dia mau dengan jurus andalannya ini. "David, ini tidak seperti yang kamu bayangkan," ~ Luci "Aku gak peduli,"~ David "Dave," teriak Luci, namun David masih dengan tampang tidak pedulinya, bahkan sekarang David sedikit membaringkan tubuhnya di sandaran jok mobil Luci sambil memejamkan matanya, lalu menutup telinganya agar tidak mendengar ocehan gurunya itu. Luci pasrah, Waktunya sudah sangat terlambat, jika harus lama-lama berdebat dengan bocah yang super pemaksa ini. Mungkin Luci akan mencoba dengan cara lain saja. Luci menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. "Oke, terus mobil kamu mau di kemana kan? paling tidak pindahin dulu dong!" suara Luci terdengar sangat lembut, seolah ada rencana terselubung dari tuturnya. Lalu David melirik sekilas mobilnya yang masih terparkir di depan gerbang, dan tentunya menghalangi jalan mobil Luci yang akan keluar. David tersenyum manis namun tetap terlihat licik. "Gampang!" Jawab David sambil menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya. Sejurus kemudian David merogoh saku celananya, mengambil dompet lalu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah muda, kemudian "Pak," pangil David pada pak Ali yang masih berdiri menyaksikan perdebatannya dengan Luci. "Ya den," pak Ali buru-buru menghampiri mobil Jeep hitam milik majikan mudanya. "Ini tips buat bapak," David memberikan uang yang sebelumnya dia keluarkan dari dompetnya, beserta kunci mobilnya. "Boleh aku titip mobil, selama aku pergi sama mbak Luci," sambung David. Pak Ali terlihat bingung, sorot matanya sesekali melihat Luci seolah ingin meminta izin untuk yang di minta David. Luci menghela napas kasar, kemudian mengangguk , sebagai jawaban atas tanya yang tak terucap dari pak Ali, sebelum akhirnya melaju meninggalkan rumahnya. "Dave, jadi kamu akan ikut mbak dengan mengenakkan seragam sekolah gitu?" Luci memulai percakapan setelah mereka meninggalkan rumah dan sekarang mereka sudah mulai berbaur dengan beberapa pengendara lain di padatnya jalan raya. "Emang kita mau kemana mbak? Nanti aku bisa ganti pakaian di belakang," jawab David terdengar enteng. "Emang kamu bawa pakaian ganti?" Luci sedikit mengerjitkan sebelah alisnya. "Bawa lah mbak. Tuh," jawab David santai sambil menunjukan tas gunung yang memang sudah ia persiapkan sebelumnya. Luci terheran "sejak kapan kamu memasukkan tas kamu? Dari tadi prasaan kamu gak bawa tas," Luci benar-benar heran sekaligus bingung. "Tadi mbak, pas mbak ngomel-ngomel gak jelas aku udah masukin tas ku ke bagasi." Ucap David santai dengan menarik kedua lengannya yang sebelumnya menjadi bantal. Dan Luci sudah benar-benar menggelengkan kepalanya. Kepalanya benar-benar terasa pusing jika harus lebih lama lagi berdebat dengan bocah tegil bin modus David Fabian. "Oke, sekarang ganti pakaian kamu, aku gak mau, orang-orang beranggapan aku membawa kabur pelajar yang sedang bolos dari sekolahnya." Perintah Luci dan mau tidak mau membuat David beringsut dari rebahnya, David mulai pindah ke bagian belakang, mulai menanggalkan pakaiannya menyisakan celana bokser nya saja. "Mbak, jangan ngintip ya?" Goda David, sementara Luci hanya mencibir sebel, sambil membuang muka. "Jika di banding dengan pak Martin, tubuhmu gak ada apa-apanya Dave." Luci terkekeh "Oh ya? Apa mbak pernah melihat pak Martin bertelanjang?" Tanya David lebih serius, bahkan sekarang tubuhnya sedikit merebah kedepan menengok keseriusan wajah Luci ketika membicarakan Martin. "Kepo" Luci mendorong jidat David yang sudah berada di sisi wajahnya, lalu kembali fokus pada jalan di depannya, sementara David sibuk mengganti pakaiannya. David kembali ke kursi sebelah Luci. "Sebenarnya kita mau kemana mbak?" David masih penasaran kemana kira-kira Luci akan pergi kali ini, melihat begitu banyak makanan instan di tas gunung dan tampak ada tenda lipat juga yang tersampir di atas tas gunung Luci. "Aku akan mendaki gunung R," jawab Luci singkat. Lalu menoleh memperhatikan wajah David. "Apa kau masih mau ikut? jika kamu berubah pikiran, aku bisa menurunkan mu di sini lalu kamu bisa kembali ke rumahmu dan bersantai bersama teman-temanmu dengan cara kamu sendiri." Sambung Luci kembali menatap David yang sedikit bingung. "Tak lah mbak, aku akan tetep ikut kemanapun mbak membawaku," sambung David sambil nyengir kearah Luci. "Membawamu " kutip Luci. "Siapa yang membawamu Dave?" Sambung Luci lagi, bahkan suaranya kini naik satu oktaf dan sudah berkali menatap David yang cuma bisa nyengir kayak kuda kurang waras. "Mbak, hehehe," Street,,,,,,, Seketika Luci menekan tuas rem, membuat tubuh David terhuyung kedepan dan sedikit membentur dasbor di depannya. "Kenapa mbak?" David syok . Dia berpikir Luci tadi menabrak sesuatu. Lalu Luci membuka seatbetnya, pintu di sebelahnya ikut Luci buka, Luci berjalan memutari mobilnya dan kemudian membuka pintu sebelah David, David memandang Luci, kini tatapan keduanya beradu. "Kalau begitu, turun. Sungguh aku gak mau membawamu Dave, karena aku yakin kau hanya akan merepotkan ku nanti," Luci geram. Bisa-bisanya bocah itu menuduhnya ingin membawa dirinya. Oooh rasanya kepala Luci benar-benar pening dan kini Luci yakin tensinya pasti naek menjadi dua ratus. "Gak mbak, aku tetep ingin ikut, percayalah aku tidak akan merepotkan mbak nanti di sana," David memohon sambil memeluk sandaran jok mobil yang di belakangnya, antisipasi jika Luci menariknya dan memaksanya keluar dan berakhir di turunkan di pinggir jalan. - - - - - - - Setalah perdebatan panjang dan hampir lima jam perjalan akhirnya mereka sampe di post yang sudah di sepakati oleh tim Luci sebelumnya. Sudah tampak beberapa mobil yang tak begitu asing bagi Luci dan pastinya itu adalah beberapa mobil sahabatnya. Luci akhirnya memarkirkan mobilnya dan keluar dari mobil itu di ikuti oleh David di belakangnya, David bergegas mengeluarkan tas ranselnya dan tas ransel Luci dan memberikannya pada sang empunya. "Apa yang kau bawa di tasmu Dave?" Tanya Luci sedikit mengerutkan alis, melihat David sedikit kesulitan menenteng tasnya. "Beberapa stel pakaian dan beberapa selimut,dan dua pasang sepatu mbak!" Jawab David dengan bangganya. "Gila, kamu pikir kita akan pergi berlibur santai Dave?" Geram Luci. "Lagi pula kita hanya akan bermalam di sini paling cuma satu atau dua malam saja, apa kamu pikir di sana akan banyak gadis-gadis cantik yang sedang menunggumu, sehingga kamu bisa tebar pesona, sampe kamu bawa pakaian sebanyak itu?" Protes Luci sambil berkacak pinggang. "Tapi mbak,,,," "Shuuuust,,,, " Luci memberi isyarat diam pada David. "Cepat keluarkan semua isi tasmu dan cukup bawa satu stel pakaian dan satu selimut saja, lagi pula aku yakin ini pendakian pertamamu, dan aku tidak mau kau mengalami kendala apa pun di perjalanan nanti, karena aku belum tentu bisa membantu nanti," terang Luci sedikit meninggikan suaranya. David menghela napasnya pasrah, dari pada Luci terus mengomel panjang kali lebar , akhirnya Dave menuruti semua yang di katakan Luci. Dave kembali ke mobil Luci, membongkar semua isi di dalam tasnya dan hanya membawa satu stel pakaian dan satu selimut seperti yang Luci ucapkan, bagaimana pun ini memang benar pendakian pertamanya dan Luci lebih berpengalaman dalam hal ini. "Cepat Dave kita sudah sangat terlambat, aku tidak mau timku sampe meninggalkanku hanya karena terus menerus mengurus tingkah konyol kamu," Luci semakin geram karna David sangat lambat. "Iya,, iya, sabar dikit kenapa?" Bela David untuk dirinya sendiri, karena benar-benar dirinya sedang tidak ingin di protes saat ini. Tiga puluh menit berjalan akhirnya Luci dan David sampai di post pertama dan di sana terlihat para sahabatnya sudah menunggunya. "Sorry bro, gue terlambat, tadi ada kendala di perjalanan," suara Luci nyaris seperti permohonan. "Gak masalah, lagi pula kita juga belum terlalu lama disini," terang salah satu sahabatnya. Luci mulai menjabat tangan para sahabatnya satu persatu dan memberi pelukan persahabatan seperti yang biasa mereka lakukan. Sementara David menatapnya sedikit heran, bahkan semua anggota timnya adalah cowok semua. "Jadi begini pergaulan Luci?" Dave membatin Timnya Luci berjumlah enam orang di tambah Luci dan David jadinya delapan orang. "Eeh Lo bawa siapa nih?" Tanya salah satu sahabatnya, menyadari Luci tidak datang sendiri. "Ah kenalin, dia David. Dia annak,,," belum sempai Luci menyelesaikan kalimatnya, David lebih dulu memotong ucapan Luci dan menjawabnya "Oh ya kenalin aku David, sepupunya Luci," David memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum ramah. Tim itupun menyambut tangan David sambil memperkenalkan diri satu persatu dan memeluknya seperti yang Luci lakukan sebelumnya. "Aku berharap, aku bisa di terima di tim kalian, dan aku berharap ini tidak akan menjadi petualangan terakhirku bersama kalian, aku sungguh berharap kedepannya aku bisa selalu ikut kegiatan-kegiatan kalian," ucap David sembari melirik ke arah Luci dan setelahnya mengerlingkan sebelah matanya, membuat ekspresi Luci sedikit kesal. "Asalkan kamu gak nyusahin tim yang lain aja," tolak Luci, dan David hanya menggaruk-garuk alisnya saja. Kemudian salah satu timnya memberi kan Dave satu bendera kecil, lebih tepatnya seperti saputangan besar berwarna merah yang akan menjadi simbol atau pembeda dari tim lain yang mungkin juga sedang melakukan pendakian, jadi itu akan mempermudah mengenali timmu di jarak yang cukup jauh. Akhirnya rombongan itu pun mulai melanjutkan pendakian, David tak pernah sedikitpun menjauh dari Luci. Dia senantiasa berada di jarak satu meter dari Luci, bukan apa-apa David hanya masih sedikit ngeri membayangkan Luci berada di tengah-tengah enam cowok yang notabene nya cukup terlihat liar, tapi David masih saja heran bagaimana Luci bisa punya teman seperti mereka. Buru- buru David membuang jauh prasangka buruknya, ia kembali teringat perkataan Martin "David, berhubungan itu bukan berarti kita harus membatasi gerak langkah pasangan kita, aku percaya Luci bisa menjaga dirinya dengan baik, lagi pula hobi dan kebiasaanya itu sudah melekat di dirinya, secara ayahnya saja tidak melarangnya, lalu apa hak saya yang hanya sebatas kekasih melarang kebebasannya?" Benar, semua yang terlihat buruk belum tentu itu pula yang sebenarnya. Kita boleh saja was-was tapi tetep harus menjaga prilaku dan tutur kata yang baik, untuk menghindari rasa tidak nyaman di hati seseorang. Sudah satu jam lebih mereka berjalan mendaki tanah yang membentuk kerucut itu. David sudah merasakan capek di kedua lututnya, ternyata benar yang Luci katakan, beban ringan akan mempermudah langkah kita, apa jadinya jika dia tetep bersikeras membawa semua pakaian yang sudah ia persiapkan tadi. Luci berbalik menengok David yang masih di belakangnya. "Dave, apa kamu masih kuat?" Tanya Luci seolah itu adalah pertanyaan mengejek. Sementara David tak menjawab, ia hanya tersenyum tipis dengan napas sedikit tersengal. "Jika kamu gak kuat mending kamu balik deh ini masih sangat jauh dari target kita," Luci kembali dengan pertanyaan ejekannya tapi tanpa menoleh ke David. "Oke, kita istirahat sepuluh menit dulu di sini," usul salah satu timnya. Akhirnya mereka istirahat dan mulai menuntaskan dahaganya. "Jangan terlalu banyak minum Dave, nanti malah kamu akan semakin lemah," terang Luci, dan semua timnya membenarkan ucapan Luci, sementara David hanya mengangguk pasrah. Empat jam berjalan kaki akhirnya mereka sampai di puncak target mereka. Hari sudah sangat sore. Beberapa timnya yang lain mulai mendirikan tenda. Namun David masih duduk berselonjor. Luci terlihat mulai membongkar tendanya. "Biar aku bantu," suara David yang mulai mendekati Luci yang sedang sibuk memasang tendanya. "Tidak perlu, kamu duduk saja dulu, aku bisa memaklumimu, jika kamu merasa capek, bagaimana pun ini adalah pendakian pertamamu, aku sudah pernah merasakannya Dave." Terang Luci Akhirnya Dave pasrah dan hanya menonton Luci yang semakin terlihat cantik dan memukau dengan butiran keringat yang mulai merembes memenuhi kening sampe pelipisnya. "Jika kamu masih punya sisa tenaga, bisakah kamu bantu kumpulin ranting pohon kering untuk perapian kita malam nanti mumpung hari belum terlalu gelap," tawar Luci, yang menyadari jika sedari tadi David terus saja memperhatikannya, "entah apa yang sedang dia pikirkan" batin Luci. ********* Gelap pun mulai menyelimuti puncak gunung R itu, beberapa api unggun sudah menyala sedari tadi. David melebarkan pandangannya ternyata benar yang timnya bicarakan dari tadi ketika masih di perjalanan, bukan hanya mereka yang mendaki gunung, ada beberapa tim lain juga di sana, dari tadi David tidak menyadarinya, karena tadi David sempat terlelap beberapa menit dan tiba-tiba tempat itu sudah ramai. David mulai mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang dari tadi tidak ia lihat keberadaannya. Dia terus saja menjelajah kumpulan orang-orang itu namun nihil, tidak ada sama sekali. "Hey , lihat Luci gak? Kok dari tadi aku gak liat dia?" Tanya David pada salah satu timnya. "Tadi sih dia bilang mau ngambil air di ulu sungai yang kita lewati pas di perjalanan tadi," jawab orang itu singkat. "Sendiri?" ~ David "Ya, kenapa?" David tidak menjawab, ia langsung buru-buru menyusul Luci ke sungai yang tidak begitu jauh dari tempat mereka mendirikan tenda. Belum sampai David di pinggir sungai, ia di buat syok ketika melihat Luci sedang tarik menarik dengan beberapa laki-laki yang tidak di kenal. " Luci,,,," teriak David, nyaris terdengar seperti jeritan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD