KOMAR DAN MARIAM MENINGGAL DUNIA

1044 Words
Sudah seminggu setelah Komar dan Mariam berangkat ke Jakarta. Sebelum ke Mekah, mereka akan berkumpul dulu di asrama haji. Dan semalam Komar sudah menelepon jika hari ini mereka akan berangkat ke Mekah.Entah mengapa pagi itu, Halimah merasa sedikit gelisah. Ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Bahkan, ketika ia mencuci piring tadi, 2 piring sekaligus jatuh tersenggol tangannya dan pecah. Halimah merasa cemas, namun ia hanya bisa berdoa. Siska yang melihat ibunya begitu gelisah pun nampak heran. "Mama kenapa?" "Mama nggak tau, Siska. Dari tadi pagi kok perasaan Mama sedikit nggak enak ya. Terakhir kita dapat telepon dari eyang jam berapa sih, Siska?" "Kayanya jam tujuh malam, Ma." Halimah terdiam, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang terjadi kepada Komar dan Mariam. Ah, semoga saja ini tidak seperti yang Halimah khawatirkan. Ia pun melanjutkan pekerjaannya. Ada banyak sekali pesanan rajutan yang harus ia selesaikan. Namun, baru saja Halimah menyelesaikan 2 buah cardigan, ponselnya berbunyi. Bi Inem yang menelpon. Tumben, bik Inem menelpon, pikir Halimah. Biasanya, bik Inem menelpon jika disuruh oleh Mariam atau Komar. "Hallo, ada apa bik?" Sapa Halimah. Namun, yang terdengar malah isak tangis. "Hallo, hallo ... Bik, Bik Inem kenapa? Ini kok saya jadi bingung." Halimah mulai merasa cemas dan panik. "Neng Halimah ... ibu ... bapak ...." "Iya, coba bibik tarik napas panjang, baru cerita , biar saya jelas nggak bingung begini." "Hallo, teh Halimah, ini Tania teh. Bik Inemnya nangis terus. Teh, teteh bisa ke sini nggak teh?" "Eh, iya Tania ada apa? Duh, teteh bukan nggak mau ke sana. Tapi, teteh nggak mau ribut kaya tempo hari. Ada apa memangnya ?" "Hmm, kami baru saja mendapat telepon dari travel keberangkatan, Teh." "Iya, lalu? Ibu dan Bapak sudah berangkat, kan?" "Ibu dan bapak ... eh, hmmm. Ibu dan Bapak meninggal dunia ,teh Halimah. Bis yang membawa Ibu dan Bapak ke bandara mengalami kecelakaan dan penumpangnya meninggal di tempat.” Jleb, seketika Halimah merasa dadanya tertusuk sembilu,perih. Air mata langsung mengalir di kedua netranya. Seluruh tubuhnya mendadak seperti tak bertulang. Halimah jatuh terduduk. Meninggal, Komar dan Mariam? Baru semalam yang lalu, mereka masih video call. Dan Komar mengatakan mereka baik- baik saja. "Hallo hallo , Teh ... Halimah masih dengar kan? Hallo...." "I-iya TaSiska teteh masih dengar. Apa penyebab kecelakaannya?" "Kurang tau, Teh. Teteh mau kemari Teh? Kasian bik Inem. Teh Melina dan kang Dasep sedang pergi teh ke Jakarta untuk membawa jenazahnya pulang ke Bandung." "Erlangga?" "Ada kakaknya teh Melina di sini." "Nanti saja ketika jenazah sudah datang, Teteh akan ke rumah." "Iya teh." Sambungan telepon pun terputus. Halimah termenung, ia merasa sedih. Komar dan Mariam begitu baik kepadanya. Meskipun dulu ia dan Mariam tidak akur, tapi sikap Mariam sudah banyak berubah. Hubungan mereka benar-benar putus sudah. Halimah tidak yakin, Melina akan bersikap baik. Kemarin saja di depan mata dia berani menyakti Siska. Apalagi jika Halimah tidak ada. "Ma, mama kenapa? Kok abis terima telepon Mama nangis?" Halimah tergagap, ia lupa ada Siska yang sedang duduk keheranan di hadapannya. "Siska, eyang dan eyang uti." "Kenapa ma? Eyang sehat- sehat kan, Ma?" Halimah menatap putri semata wayangnya itu. Ia merasa bingung bagaimana harus menyampaikan berita sedih yang baru saja di terimanya. "Siska, Siska kan tau kalau eyang dan eyang uti mau berangkat ke tanah suci?" "Iya, kan eyang mau berdoa disana biar Siska cepet sehat dan Mama juga sama Om Yoga cepat menikah." "Hmm, Siska juga tau kan kalau eyang dan eyang uti sudah tua?" "Iya, Ma. Kenapa memangnya Ma?" "Siska, saat kita lahir, Tuhan menitipkan kita pada ayah ibu kita untuk dirawat, sama seperti Tuhan dulu menitipkan Siska pada Mama. Nah, saat seseorang tumbuh dewasa dan menjadi tua. Tuhan akan memanggil untuk pulang ke rumah Tuhan. Dan, eyang sama eyang uti baru saja dipanggil Tuhan untuk pulang ke rumahNya." Siska menatap Halimah, ia masih kecil untuk bisa mengerti ucapan sang ibu. "Maksud mama? Eyang sama eyang uti pergi jauh ke rumah Tuhan? Trus nggak akan pulang lagi gitu? Trus kalau Siska kangen gimana Ma? Mama bisa nggak bilang sama Tuhan buat batalin panggil eyang sama eyang utinya?" Halimah mulai kembali menangis. Ia merasa sedih sekaligus bingung. Melihat Halimah menangis, Siska pun mulai menangis. "Eyang pasti pulang ke sini kan , Ma? Cuma sebentar aja kan ke rumah Tuhannya?" Siska mulai terisak-isak. Halimah merasa makin pedih, ia membawa Siska ke dalam pelukannya. "Eyang sama eyang uti nggak bisa pulang ke sini lagi, Siska. Kalau Siska kangen, Siska bisa berdoa sama Tuhan. Nanti eyang sama eyang uti datang tengokin Siska lewat mimpi." "Tapi, Siska nggak mau ketemu di mimpi, Ma. Siska maunya eyang sama eyang uti pulang ke sini." "Nggak bisa Siska. Eyang sama eyang uti udah punya rumah di surga." Siska menatap Halimah dengan air mata berderai. Ia terisak-isak. "Dulu, eyang pernah cerita kalau manusia meninggal. Kalau dia orang baik masuk surga. Kalau orang jahat dia masuk neraka. Mama bilang eyang sama eyang uti ada di surga. Jadi, eyang sama eyang uti meninggal ya, Mama?" Halimah tak kuasa menjawab ia hanya mengangguk. "I-iya Siska. Eyang sama eyang uti meninggal sayang." Akhirnya Halimah bisa mengucapkan kalimat itu. Siska menangis bertambah kencang. Ia memeluk Halimah erat- erat , membenamkan wajahnya di d**a Halimah. Mereka menangis saling berpelukan. "Kita doakan eyang dan eyang uti sama-sama nanti ya Siska." Siska tidak menjawab, ia hanya mengangguk dalam pelukan Halimah. Gadis kecil itu merasa sangat sedih membayangkan bahwa ia tidak dapat bertemu kembali dengan kakek dan neneknya. Ia merasa begitu kehilangan. "Ma, mama tidak akan menyusul eyang dan eyang uti kan? Mama nggak akan ninggalin Siska juga kan? Kalau mama pergi Siska sama siapa nanti?" Hati Halimah tergetar. Ia menatap wajah putrinya, perlahan dihapusnya air mata Siska. "Siska, semua orang pada waktunya akan kembali ke rumah Tuhan, begitu juga Mama. Tapi, Siska bisa berdoa sama Tuhan. Siska bisa minta supaya Mama panjang umur, supaya Mama bisa selalu menemani Siska sampai Siska tumbuh besar ya." "Kalau begitu, setiap shalat Siska mau doain Mama supaya Mama panjang umur. Siska nggak mau Mama pergi." Halimah tersenyum dan kembali memeluk Siska. Mereka pun kembali larut sesaat dalam kesedihan. Tak mengapa, meluapkan kesedihan lewat air mata. Sebentar saja, setelah itu mereka bisa menjalani kembali kehidupan. Dengan untaian doa yang akan mereka persembahkan bagi Komar dan Mariam. 'Semoga Bapak dan Ibu tenang di sana. Kami akan selalu mendoakan,' bisik Halimah dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD