HARUS MEMULAI HIDUP BARU

1009 Words
Melina mengamati rumah barunya. Tidak kecil, hanya memang tidak sebesar rumah Mertuanya. Namun, rumah ini bergaya minimalis yang modern. Melina tidak banyak berkomentar. Mereka diantar Komar dan Mariam ke rumah baru langsung dari Rumah Sakit. "Ini mbok Iyem, Lina. Ibu sudah membayar gaji Mbok Yem untuk tiga bulan, selanjutnya tugasmu untuk mengatur keuangan. Kulkas kalian juga sudah Ibu isi dengan bahan makanan. Kalau habis ya kamu bisa atur ulang. Mbok Yem tidur di kamar belakang. Jadi, kalau ada apa-apa kamu bisa panggil mbok Yem. Ibu tau, kalau kamu tidak bisa beberes rumah, apalagi ada bayi. Itu sebabnya Ibu menyuruh Dasep menggaji asisten rumah tangga," ujar Mariam. Dasep hanya mesem mendengar ucapan Ibunya. Anak Dasep sudah dibaringkan di dalam cribnya. Komar juga yang telah menyiapkan segalanya. "Terima kasih Pak. Rumahnya bagus, " ujar Dasep. Komar menepuk- nepuk pundak putra tunggalnya itu. "Belajarlah bertanggung jawab mulai sekarang. Toko bapak percayakan kepadamu, sebagai pemilik bapak hanya akan memantau. Ingat, kau harus bisa memisahkan mana keuangan perusahaan mana pribadi. Untuk sementara keuangan perusahaan tetap bapak yang pegang. Setiap bulan kau akan menerima transferan dari bapak," ujar Komar. Dasep hanya mengangguk. "Aku tidak mau memberi anak-anak Asi," ujar Melina tiba- tiba. "Loh, kamu ini aneh. Orang banyak mau kasi ASI, eh kamu malah nggak mau, ASI kamu kan banyak,"ujar Mariam mulai kesal. "Bayi orang lain nggak cacat, Bu. Tapi, bayiku cacat, males amat ngurusnya." "Ya, nggak apa-apa sih, kalau kamu nggak mau ngurusin, berarti kamu juga harus siap dengan ancamanku tempo hari. Kamu mau?" Dasep berkata dengan santai. Melina langsung terdiam, sambil mencebikkan bibirnya ia pun bergegas masuk kamar dan menutup pintunya. Dasep tertawa kecil melihat kelakuan Melina. "Kau apakan istrimu itu kok bisa menurut begitu, biasanya kalau belum ribut, dia belum akan berhenti," komentar Mariam. "Aku mengancam akan menceraikannya, Bu.Dan, jika kami bercerai, aku katakan dia tidak akan dapat apa pun termasuk hak asuh anak. Dia langsung diam," jawab Dasep. "Kamu ini, jangan begitu. Tidak malu kalau sampai cerai lagi?" "Ya, kalau dia macam- macam. Saya juga tidak mau punya istri yang tidak bisa diatur, Bu. " "Istri itu tulang rusuk, yang namanya tulang rusuk bengkok, kalau dipaksa diluruskan ya patah. Sama kaya perempuan. Harus pelan-pelan. Kamu didik dia baik- baik. Jangan suka membandingkan dia sama mantan istrimu. Pasti dia juga tidak akan suka. Ingat , kamu sendiri yang pilih dia, artinya kamu lihat ada kelebihan dia dibanding Halimah. Tapi, pasti dia juga punya kekurangan. Maklumi dan terima kekurangannya, karena kamu juga tidak sempurna," nasehat Komar. " Iya, Pak,saya akan berusaha untuk menjadi lebih baik." " Baguslah kalau begitu, ya sudah. Bapak dan Ibu pulang dulu. Baik- baik sama istrimu." Sementara itu, Halimah sedang gelisah menanti hasil pemeriksaan Siska. Halimah sangat berharap kaki Siska baik-baik saja dan setelah ini bisa kembali berjalan normal. Sejak kecelakaan Sisca memang memakai kruk karena kakinya patah. Setelah menunggu beberapa lama, Yoga pun keluar dari ruangannya bersama Siska dan seorang dokter spesialis kawan baik Yoga. "Bagaimana, Ga? " Yoga menarik napas panjang. "Kondisi Siska baik, hasil rontgen kakinya juga baik. Setelah ini dia bisa belajar berjalan supaya kakinya tidak kaku. " "Kau yakin?" "Aku yakin sekali, Halimah. Kawanku itu lulusan terbaik dari Harvard, jadi dia selalu teliti dalam memberikan diagnosa," jawab Yoga. "Tapi, menurut dokter Leon ...." "Dokter juga manusia Halimah, terkadang bisa salah." "Jadi, kapan Siska bisa terapi jalan? " "Secepatnya, jika kau mau aku bisa membantu." "Aku mau!Tolong , bantu Siska, Yoga. " Yoga tertawa kecil, ia menepuk pundak Halimah dengan lembut. "Ya, aku akan membantumu. Percayalah padaku, Halimah." "Siska bisa berjalan tanpa kruk lagi, Om dokter?" tanya Siska. Yoga mengelus rambut gadis kecil itu lalu menggendongnya. "Siska akan kembali berlari Siska seperti dulu. Percaya sama Om." Perlahan Siska yang tengah berada di pelukan Yoga mengecup pipi Yoga. Hati Yoga merasa terenyuh sekali. Ia melirik ke arah Halimah, dan memergoki Halimah tengah mengusap kedua netranya. "Bagaimana, jika sekarang Om mengantar Siska dan Mama pulang ya." "Iya Om. Siska mau, naik mobil Om lagi seperti tempo hari kan? " "Tentu saja, cantik" Halimah hanya tersenyum melihat keakraban antara Yoga dan Siska. Ia bersyukur ada yang peduli kepada mereka. Yoga mendudukkan Siska di kursi belakang, lalu memasangkan sabuk pengaman pada tubuh gadis kecil itu. Setelah selesai, ia bergegas membukakan pintu untuk Halimah. "Aku kan bisa sendiri, Ga," protes Halimah. Yoga hanya tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Aku suka kok." "Kamu suka, aku yang risih." "Aneh, kamu ini di perlakukan seperti nyonya besar kok malah risih." Halimah tertawa kecil sembari naik ke dalam mobil Yoga. “Nyonya besar dari mana , kamu ini ngawur." "Ya menjadi nyonya Prayoga Utama dulu, baru kamu bisa menjadi seorang nyonya." Yoga menjawab dengan ekspresi biasa saja. Halimah seketika terhenyak. Ia menatap Yoga berusaha menemukan senyum jahil atau tanda-tanda bahwa Yoga sedang mengodanya. Namun, yang Halimah dapatkan adalah wajah yang penuh kesungguhan. "Kamu kenapa? Kok ngeliatin aku kaya gitu? Aku lagi nggak bercanda, Halimah." "Halaah , kamu dari dulu kan, hobbynya iseng sama aku. Dulu kamu kalau belum bikin aku nangis belum puas." "Ya, itu kan sebenarnya untuk cari perhatian kamu. Kamunya aja yang nggak tau." "Maksudnya?" Yoga menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. "Dengar ya , Halimah. Aku dari SMA itu sudah naksir sama kamu. Mungkin orang bilang cinta monyet. Tapi,sampai aku kuliah, bahkan sampai sekarang ini, aku belum pernah merasakan perasaan yang lain pada seorang wanita. Tapi, saat kita bertemu lagi,aku merasa sesuatu yang selama ini aku cari, telah aku dapatkan. Sebenarnya, aku tadi sudah kecewa karena melihatmu dengan Siska. Tapi, aku lega, saat tau kalian sudah berpisah. Mungkin ini yang namanya takdir, Halimah,” ujar Yoga. Halimah hanya bisa diam, sementara debaran dalam dadanya makin kencang. Halimah tidak tau saat ini ia harus bagaimana. “Aku ini janda. Kamu kan bujangan, apa kata orang tua kamu nanti. Masa dokter nikah sama janda?” kata Halimah. “Insya Allah, orang tua aku ga jadi masalah. Buat orang tuaku yang paling penting adalah aku bahagia. Janda itu kan hanya status saja,” kata Yoga. “Aku juga bukan orang pinter, cuma tamatan SMP. Kerjaanku juga hanya tukang rajut, ngga sepadan sama kamu,” kata Halimah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD