ANAK SELALU JADI KORBAN

1067 Words
"Kandungannya sudah memasuki usia lima minggu ya. Harus dijaga, jangan sampai Ibu kecapean. Dan juga makanannya diperhatikan ya, Bu" ujar dokter Andini. “Apa ada pantangan makan?” tanya Mariam. "Ah, tidak Bu. Tidak ada pantangan makan apa pun. Trimester pertama ini mungkin menantu Ibu akan mengalami morning sickness, itu sangat wajar pada ibu hamil. Untuk mengurangi mualnya boleh dibuatkan lemon tea hangat di pagi hari atau bisa juga s**u khusus ibu hamil. Atau bisa juga makan buah di pagi hari seperti semangka, melon, jeruk yang manis jika makan nasi menyebabkan mual, ya,” ujar Andini panjang lebar. "Jaga cucu saya baik- baik,ya," ujar Mariam pada Melina. "Baiklah, jika tidak ada lagi yang ditanyakan, saya akan membuatkan resep vitamin,” ujar Andini lagi. Mariam sangat senang karena Melina bisa hamil. Ia sangat menginginkan cucu lelaki. Semoga saja cucunya itu lelaki. Hari itu ia memang mengantarkan Melina ke dokter kandungan karena Dasep sedang berada di Bali untuk pameran lukisan. Sementara Komar memang memilih untuk ke toko. Komar dan Mariam memiliki toko sembako yang cukup lengkap dan besar juga. Sementara itu, Inem tampak resah, ia baru saja akan menjemput Siska di sekolah saat Mariam dan Melina pulang. "Kau belanja ke pasar sekalian jemput Siska. Beli sayuran dan juga buah-buahan untuk Non Melina," kata Mariam. "Bu, saya jemput neng Siska dulu, ya," kata Inem. "Aduuuh, saya kan nggak lama nulis catatan belanja, Tun. Kamu sekalian jalan juga ke pasar. Siska juga kan dijaga gurunya, kalau kerja sekalian dong!" bentak Mariam dengan kesal. Inem pun hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tidak berani melawan majikannya itu. Hanya saja dalam hati ia merasa sangat cemas karena sudah terlambat menjemput Siska. Sekolah Siska sebenarnya tidak terlalu jauh dari komplek rumah mereka. Hanya saja harus menyeberang jalan raya. Jadi, tidak mungkin jika Siska berjalan pulang seorang diri. Sementara itu, di sekolah Siska sedang duduk menunggu di gerbang, gurunya sudah kembali mengajar anak yang masuk siang. Sementara teman- temannya sudah dijemput semua. Siska mulai bosan, ia merasa haus dan lapar, tapi bekalnya sudah ia habiskan tadi. Botol minumnya pun sudah kosong. "Aduh, bik Inem mana sih, kok lama banget jemput aku," gumam Siska sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Apa aku pulang sendiri aja ya? Tinggal nyebrang jalan aja, aku udah laper banget," gumamnya lagi. Tanpa ada yang melihat, Siska pun berjalan ke arah jalan raya. Rasa lapar dan haus yang dirasakan gadis kecil itu membuatnya tidak mempedulikan pesan bik Inem. Gadis itu pun langsung menyebrang jalan, dan tanpa disadari sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mendekat. Saat pengemudinya melihat Siska, ia sudah terlambat untuknya menginjak rem dan ... brak! Tak ayal lagi tubuh mungil Siska pun terpental, bau amis darah tercium. Orang- orang pun mulai berdatangan. Tepat pada saat itu bik Inem pun datang. Ia langsung menjerit histeris melihat majikan kecilnya terkapar berlumuran darah. "Cepat telepon ambulance," ujar seorang ibu yang ada di sana. Salah seorang ibu yang ikut berkerumun pun dengan cepat menelepon ambulance sementara bik Inem menangis histeris di samping tubuh Siska. Sementara itu Mariam yang merasa jika Inem terlalu lama pergi berjalan mondar mandir sambil mengomel di dapur. "Aduh, Inem ini ke mana sih, disuruh belanja sama jemput Siska aja sampai lama begini!" Mariam terlihat kesal saat Inem dan Siska belum juga sampai ke rumah. “Mungkin masih di pasar, Bu,” sahut Melina. “Pasar kan nggak jauh, masa iya sampai lama begini!” Melina hanya mengangkat bahu, ibu mertuanya itu memang tidak sabaran. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara orang yang berteriak memanggil nama ibu mertuanya dari depan. Melina dan Mariam pun segera ke depan dan membuka pintu. “Loh, Bu Erte, ada apa?” tanya Mariam saat melihat bu RT di depan pintun rumahnya. “Bu Mariam, neng Siska ... bik Inem ....” “Ada apa, Bu? Kenapa dengan pembantu dan cucu saya?” Bu RT menarik napas dan mengembuskannya perlahan sebelum ia meneruskan ucapannya. “Neng Siska kecelakaan, tabrak lari. Tadi, sudah dibawa ambulance ke rumah sakit. Kebetulan saya dan suami tadi melihat kejadiannya. Suami saya ikut mengantar dan menemani bik Inem.” “Ya Allah! Ke rumah sakit mana?” “Santo Yusuf, Bu.” Mariam memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Lalu ia menoleh ke arah Melina, “ayo kita ke rumah sakit, pake becak aja,” katanya. Sesampainya di Rumah Sakit, mereka melihat bik Inem ditemani oleh Pak RT sedang duduk sambil menangis tersedu-sedu. “Maafin bibik, Neng ... harusnya tadi bibik tunggu neng Siska aja di sekolah,” ujar bik Inem disela isak tangisnya. Dan saat ia melihat Mariam, wanita berusia 40 tahun itu langsung bersujud di kaki Mariam. “Maafkan saya, Bu. Sa-saya terlambat menjemput neng Siska ... jangan pecat saya, Bu,” kata Inem ketakutan. Mariam tak menjawab, ia terdiam dan terduduk lemas. Seharusnya tadi ia membiarkan Inem menjemput Siska terlebih dahulu baru menyuruhnya ke pasar. Wanita itu merasa sangat bersalah kepada Siska. Tak lama kemudian Komar datang. Wajah mereka tampak panik, tepat saat keduanya datang dokter yang menangani Siska keluar dari ruangan. “Bagaimana kondisi cucu saya?” tanya Komar. “Pasien harus segera dioperasi dan dia juga kehilangan banyak darah. Apa di antara keluarga ada yang golongan darahnya sama dengan pasien?” “Golongan darah saya sama, saya kakeknya. Silakan ambil darah saya,” kata Komar dengan cepat. “Baiklah, kalau begitu silakan ikut saya.” Sementara itu, di tempat lain Halimah baru saja memecahkan gelas dan perasaannya mendadak tidak enak. “Kamu kenapa, Halimah?” tanya Kokom. “Nggak tau, Ceu. Tiba-tiba saya kok ingat Siska. Perasaan saya tiba-tiba nggak enak,” jawab Halimah lirih. “Pulang saja, Halimah. Dari pada kamu kerja tapi pikiranmu ke mana-mana,” kata Kokom sambil menepuk bahu Halimah dengan lembut. “Tidak apa-apa, Ceu?” “Tidak, pulanglah. Kalau ada apa-apa kamu hubungi ceceu, ya. Udah, kerjaan kamu biar diterusin sama Kang Deni.” Halimah pun mengangguk dan segera meraih tasnya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun segera pulang. Konveksi tempat Halimah bekerja tidak jauh dari rumah kontrakannya, sehingga ia cukup berjalan kaki. Namun betapa terkejut ia saat melihat Komar tampak berjalan dari arah berlawanan. “Loh, Bapak mau ke mana?” tanya Halimah. “Baru saja bapak mau ke tempat kerjamu. Ponselmu tidak aktif?” “Tadi, kebetulan baterenya habis, Pak. Bapak sama Siska? Bukannya ini hari selasa, Siska mana?” tanya Halimah sambil mencari keberadaan anaknya. Komar menepuk bahu Halimah perlahan, “Anakmu kecelakaan, Halimah. Itu sebabnya bapak datang kemari.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD