Akhirnya Hera dan Adrian menempati Rumah mereka. Sebuah rumah bercat putih hitam dan coklat, berlantai 2. Rumah minimalis yang nampak kecil dari luar namun begitu luas di dalamnya.
Hera baru saja selesai mengemasi barang-barang miliknya. Sebelumnya, barang-barangnya yang dibawa dari Apartemen hanya di letakan begitu saja di kamarnya membuat Hera harus mentatanya. Tidak salah kan kalau Hera mengatakan Adrian memiliki kebaikan yang sedikit.
Seharusnya jika dia punya kebaikan hati yang banyak, sudah sekalian dia mentatanya di tempat-tempat yang sesuai.
Pria itu malah berkata, 'aku kira ada baiknya kau yang membereskan barang-barang mu sendiri, membongkar barang milik orang lain itu tidak baik'.
Padahal dia membongkar barang-barangku tanpa ijin di Apartemen Berta dan membawanya kemari. Dasar pria pelit bilang saja jika dia tidak mau mengeluarkan uang lagi.
Tokk
Tokk
Tokk
"Kau bisa mendengarku, manusia di dalam sana masih bernyawa kan?"
Orang bilang pria yang baru saja terpikirkan olehku dan tiba-tiba dia datang padamu, berarti kalian satu hati. Ada juga yang bilang orang itu akan panjang umur.
Yang jelas untuk pria seperti Adrian aku rasa perkataan orang tua semuanya dusta.
Satu hati dia bilang!
Hera mendengus seraya bangkit menjadi terduduk, matanya menatap malas pintu kamarnya yang sejak tadi terkena pukulan dari tangan seorang pria yang tidak mempunyai kesabaran dalam menunggu.
"Haruskah aku menelpon 911"
BRAK!
"Hei? Hei kenapa? Hari ini aku sangat lelah Adrian. Bisa kau pergi saja karena aku sedang tidak mau berkelahi denganmu saat ini"
"Buatkan aku makanan. Sore ini aku ada urusan dan saat pulang nanti aku mau ada nasi beserta lauk pauknya di atas meja makan"
Hera mendesah lelah, kalau bukan karena tubuhnya yang sedang mengalami kelelahan seperti ini, Hera pasti akan melakukannya walau dengan hati menggerutu, tapi saat ini. Tubuhnya butuh istirahat"Kau bisa makan di luar"
"aku tidak suka makanan instan, dan lagi aku punya kau, untuk apa aku menghabiskan uangku lagi dengan makan di luar. Itu pemborosan namanya"
"Apa!"gumam Hera tidak percaya. Aku istrinya atau pembantunya. Tidak salahkan aku mengatakannya pria pelit.
"Jangan hancurkan rumah ini, aku pergi"pamitnya. Tubuhnya berbalik memunggungi Hera lalu melangkah pergi meninggalkannya dengan segala rasa kekesalannya yang membuncah.
Hera meremas kedua tangannya kesal, pria itu benar- benar membuatnya ingin memotong tubuhnya menjadi potongan kecil-kecil. Bolehkah? Soalnya sifatnya itu benar-benar membuat emosi Hera meluap-luap.
"Hera sabar, kau harus sabar"gumamnya menguatkan diri.
"Ingat saja 50 juta dollar dan rumah ini yang akan menjadi milikmu, maka semuanya akan menjadi mudah"
***
"Kau harus minum ginseng, itu ramuan untuk kesehatan pria"
"Minum, atau buat saja sup ginseng dari Korea kudengar itu bagus"
"Kau juga bisa membelinya secara online"
Adrian memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut akibat ocehan tak berguna yang di lontarkan kedua pekerja sekaligus sahabatnya ini. Dia sungguh tidak mengerti apa yang kedua orang itu katakan.
Sup ginseng?
Untuk apa sup ginseng?
"Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan, ada apa sebenarnya ini ?"
"kau benar-benar
Melakukannya ?"
Evan bertanya, terdengar menuntut dengan wajahnya yang nampak begitu penasaran.
Adrian mengangkat sebelah alisnya melihat ke arah Deren dan Evan bergantian, menatap heran kedua pria itu dengan pandangan aneh.
"Apa yang kalian bicarakan sejak tadi ? melakukan apa ? apa maksudnya?"
Plak!
Evan menepok keningnya sendiri bahkan Deren terlihat begitu frustasi. Setelah berbicara sangat lama dengan rasa penasaran yang berkobar, pria itu malah tidak mengerti apa yang di katakannya.
"Sejak tadi kami terus berbicara kau tidak mengerti?"
"Kau membuang energi kami "Evan merenggut, di banding Deren dia lebih penasaran saat ini.
"Apa kau melakukannya pada Hera? "
"Melakukan apa yang suami istri lakukan di malam pertama mereka menikah"ujar Evan.
"Kau menyentuhnya?"
"Apa reaksinya, dia wanita yang kau bayar ! dia tidak marah"sambung Deren.
"Kau menyukainya?"
"Mau berbagi cerita pada kami?"lanjut Deren.
"Aku dengar dia mengatakan kau begitu payah, itulah sebabnya kami sangat merekomendasikan sup ginseng padamu"timpal Evan.
Bla.... bla... bla... bla...
"HEI"Satu bentakan yang sukses membuat kedua pria itu membungkam mulutnya seketika.
"Aku tidak melakukannya padanya. Lagi pula.... tunggu"
"Kalian tahu darimana? Kalian berdua menguping..... ??"
***
Seattle, 01.00 am.
Adrian memasuki Rumahnya yang sudah gelap gulita. Wajar karena waktu sudah menunjukan pukul 1 pagi.
Baru saja ingin melangkah naik ke lantai atas ia teringat sesuatu. Adrian melengang pergi ke arah dapur, menatap tutup saji yang berada di atas meja.
Tangannya terulur membuka tutup saji tersebut dan mendapati sebuah piring putih di sana.
"Akh.... Apa ini ?! Apa dia bercanda, makanan ini mana bisa ku makan"Adrian menghela nafasnya kesal, walaupun gadis itu memasak, Adrian juga tidak akan makan malam ini, perutnya sudah terlalu penuh dengan daging yang ditraktir Evan dan Deren sebagai permintaan maaf karena sudah menguping di malam pertamanya.
Tapi mengingat gadis itu tidak melakukan apa yang di suruhnya malah membuatnya menjadi kesal. Kakinya melangkah kasar menaiki anak tangga untuk menuju ke lantai dua namun langkahnya tiba-tiba terhenti.
Kedua mata sipitnya melebar, saat mendapati seorang gadis yang tengah menuruni anak tangga. Hera Allison, gadis itu berjalan dengan cepat menuruni setiap anak tangga menuju ruang tamu.
Tubuhnya melewati Adrian begitu saja dengan mata terpejam.
Adrian terdiam saat Hera melewatinya, pria itu terlihat terkejut karena prosesnya yang terbilang begitu cepat. Hera menghentikan langkahnya di ruang tamu, tangannya mengambil remote TV dan menyalakannya, lalu berbaring di atas sofa.
Adrian berjalan mendekati Hera yang terbaring di atas sofa.
Matanya menatap ke arah TV dan Hera secara bergantian, hingga akhirnya matanya terhenti untuk menatapnya.
"Dia tidur"gumam Adrian tak percaya, ia melempar tatapan horornya pada Hera.
"Dia benar-benar membuatku takut"
***
Adrian membuka pintu kamarnya, sebuah setelan kemeja biru yang di lapisi jas hitam sudah melekat di tubuhnya, matanya menangkap sebuah suara pintu terbuka, Hera keluar dari kamar tidur nya yang berada tepat di sebrang, tak jauh dari tempatnya.
Kedua mata mereka bertemu, hanya terjadi beberapa detik hingga akhirnya gadis itu membuang arah pandangnya dengan angkuh membuat Adrian mendengus remeh.
Adrian menutup pintu kamarnya. Kakinya melangkah cepat berusaha menyusul wanita itu.
"Kenapa kau tidak memasak? aku sudah bilang padamu untuk memasak nona Park"protesnya saat sudah bisa menyamakan langkah kakinya dengan Hera.
"Aku sudah memasak, memangnya kau tidak lihat makanan di dalam tutup saji!"
"Maksudmu Burger ? Itu yang kau sebut makanan ? Aku sudah bilang padamu kalau aku mau Pasta"
Adrian menghentikan langkahnya cepat, hampir saja dia menabrak Hera yang berhenti tiba-tiba di depannya.
Hera berbalik, menatap malas Adrian seraya melebarkan telapak tangannya tepat di depan wajah pria itu.
"kenapa?!”tanya Adrian tak mengerti.
"Berikan aku uang belanja, kau kira bagaimana caranya aku bisa memasak kalau bahan-bahan untuk memasak saja tidak ada"
"Aku tidak bisa membelinya, kau tahu kan aku tidak punya uang"
Adrian memutar kedua bola matanya malas, tangannya meraguh dompet yang berada di saku belakang celananya. Diam-diam Hera sedikit mengintip ke dalam dompet Adrian, namun pria itu langsung menariknya hingga membuat Hera mendengus sebal.
"Ini 500 ribu dollar, belanjalah ....lalu masakan aku sesuatu yang bisa di makan"
"baiklah, terima kasih Tuan Refano"
Hera mengambil uang yang Adrian sodorkan padanya, lalu berjalan menaiki anak tangga meninggalkan Adrian yang masih terdiam di tempatnya.
"KAU MAU KEMANA?"teriak Adrian, mendongak memandang wanita itu yang kini menaiki anak tangga menuju lantai 2.
"Berbelanja tentu saja, kau sarapan saja di luar. Aku tidak memasak karena tidak ada bahan yang bisa ku masak. Aku akan memasak untuk makan malam nanti"
"Aishh... HEI"protes Adrian.
***
Lotte Mart.
Seattle, 09.00. am
"Banyak sekali pilihan di sini, apa yang harus ku pilih??! pengharum ruangan rasa jeruk atau pengharum ruangan rasa strawberry"gumamnya nampak berpikir. 2 pengharum itu di hirupnya untuk mengetahui bagaimana aroma dari pengharum tersebut.
"Rasa jeruk lebih menyegarkan"Ucap seseorang membuat Hera menoleh padanya, senyuman terukir di bibirnya tatkala mendapati seorang pria yang sedang berjalan ke arahnya dengan troli belanja yang didorongnya.
"Sudah lama kita tidak bertemu nona Allison"ucapnya saat sudah berada di samping Hera.
"Denis"seru Hera senang.
"Kapan kau sampai ?!! Sejak kapan?! Kenapa tidak memberitahu ku"lontaran pertanyaan Hera bertubi-tubi.
Pria itu terkekeh, wanita di hadapannya ini ternyata belum berubah seperti saat dia meninggalkannya dulu.
Keperibadiannya masihlah sama.
"Aku baru sampai dua hari yang lalu, kejutan. Kau terkejut? aku sudah sampai sekarang dan kita bertemu di sini. Tidak ku sangka aku akan bertemu denganmu secepat ini. Tadinya aku mau mencarimu di Kantor polisi"
"Tsk! Kau berlebihan !"Hera terkekeh mendengarnya.
"Bisa aku mentraktirmu coffee, banyak hal yang ingin ku bicarakan denganmu"tawar Denis pada Hera. Dia sungguh merindukan adik perempuan. Sudah lama tidak bertemu, membuatnya ingin sedikit lebih lama menghabiskan waktu dengannya.
"Tentu saja, aku selalu punya waktu untukmu "
***
Starbuck Caffe.
12.00 pm.
Kini keduanya berada di sebuah Cafe dengan di temani 2 cangkir coffee dan waffel topping ice cream yang terlihat sangat menggugah selera.
"Sejak kapan Denis di Seattle?"tanya Hera membuka percakapan di antara mereka.
"Sekitar 2 hari yang lalu, aku ingin buat kejutan. Rencananya aku akan pergi ke Apartemenmu"
"Begitu ya, oh ya . Aku sudah tidak tinggal di sana, aku sudah pindah"
"Dimana ? Masih di Seattle kan?"
"tentu saja, aku tidak akan pindah kemana-mana. Kau kira aku akan kemana? LA? Aku pasti akan tersesat di sana karena aku tidak bisa bahasa inggris"
"Ckckck.. kalau kau pindah ke LA kita bisa bertemu di sana. Lagi pula kenapa kau pindah?"
Hera mencoba berpikir sebelum berbicara, takut-takut dirinya keceplosan soal menikah dengan Adrian Refano.
"Ya,.... mencari suasana baru, hehe"
"Bagaimana Perusahaan mu di LA ? Kau akan balik ke LA lagi setelah ini?"
Pria itu tersenyum, selalu tersenyum itulah kenapa Hera menyukainya. Si senior kampus yang sangat berarti baginya.
Denis, seorang senior di tempat kuliahnya dulu.
Berbeda 3 tahun dengannya, seorang pria dewasa yang suka tersenyum dan memiliki kepribadian yang sangat baik.
Pria yang mampu membuat Hera giat menulis n****+, pria yang membuat Hera tersenyum tidak jelas, pria yang membuatnya ingin menjadi seorang penulis terkenal sepertinya. Panutan, sekaligus cinta pertamanya. Denis.
"Aku rasa.. aku akan menetap di Amerika, aku merindukan Burger, dan aku rasa... aku merindukan adikku yang satu ini"
Pipi Hera merona merah bibirnya tersenyum. Merasakan sebuah aliran listrik menjalar di sepanjang urat nadinya. Merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya hingga membuatnya merasa kegelian.
Dan membuat senyuman di bibirnya tidak bisa luntur dari wajahnya.
"Aku juga merindukan senior"ucap Hera malu-malu.
Wanita polos yang selalu berkata jujur akan perasaan yang sedang di rasakannya, itulah kenapa Denis merasa senang dengan wanita itu. Wanita yang tidak pernah menutupi bagaimana perasaannya, wanita yang tidak pandai berbohong dan terkesan terlalu jujur.
"Bagaimana dengan tulisan yang kau buat ? Sudah ada berapa buku sekarang ?"
Hera menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, terhitung 2 tahun setelah Denis pergi.
Berapa total buku yang dihasilkannya ya....?
"Tidak ada"
"Apa?!!"Denis cukup terkejut, dirinya begitu tahu, Hera gadis yang berbakat dalam menulis.
Bahkan saat kuliah, sudah ada 8 buku yang wanita itu hasilkan, lumayan banyak bagi penulis pemula seperti Hera.
"Kenapa?”
"Ada beberapa naskah yang sudah ku buat, entah kenapa semuanya ditolak oleh penerbit, itu membuatku frustasi"
Slurrrppp
Denis menyeruput coffee miliknya.
"Coba bawa padaku, mungkin aku bisa membantumu"
"Benarkah ?"seru Hera terkejut, matanya menatap Denis berbinar.
"Iya berikan padaku. Aku mau melihatnya"
"Aku akan membawanya dan mentraktirmu makan siang, aku janji"janjinya pada Denis. Tuhan baru saja datang memberikan malaikat penolong untuknya.
Denis menyeruput coffee miliknya, wanita itu selalu membuatnya memiliki mood yang baik.
***
Denis menghentikan laju mobilnya tepat di depan rumah Hera dan Adrian.
"Terima Kasih atas tumpangannya , kapan-kapan aku akan mentraktirmu makan siang"
Pria itu tersenyum dengan bibir yang tertarik membentuk seutas bulan sabit.
Hera keluar dari dalam mobil Denis, diikuti pria itu seraya membantu Hera mengeluarkan belanjaan dari dalam bagasi mobilnya.
"Hei, istriku sedang apa kau bersama seorang pria. Beraninya kau berselingkuh di belakangku"
Hera dan Denis menoleh dan mendapati Adrian yang sedang berdiri di depan pintu mobilnya di dalam ruang garasi.
Hera merenggut, rahasia yang mencoba dia tutupi malah terbongkar begitu saja. Dan itu semua ulah Adrian Refano. Lagi pula kenapa bisa dia sudah pulang jam 2 siang begini bukannya Perusahaan pulang pukul 5 sore .
Lagi pula atas dasar apa pria itu mengatakan hal itu, beraninya membuat nya malu. Apa lagi di depan Denis. Rasanya Hera mau menyumpal mulut pria itu dengan sayur brokoli yang di belinya tadi. Tidak apa kan? Hera benar-benar geram saat ini.
Pria itu menatap kedua sejoli itu dengan raut wajah tidak suka, hal itu terlihat jelas dari sorot matanya yang menajam.
Adrian berjalan menghampiri Hera, satu tangannya menarik tangan Hera untuk berdiri di sampingnya. Hera hanya bisa menatap Adrian bingung, pria itu terlihat aneh di matanya. Apa dia sakit ?
Apa pria itu sudah terjedot pintu mobil, atau salah sarapan di luar sana. Hera benar-benar harus membuat sarapan lain kali, sepertinya pria itu sudah salah makan pagi ini.
Lihatkan bagaimana cara dia menatap, terlihat jelas sekali.
Seperti,...... seperti sedang cemburu.
HAH! Pria itu tidak mungkin sedang cemburu padanya kan?????!!!!!!!!!!
Lagi pula, kenapa harus cemburu. Mereka berdua tidak ada hubungan apa-apa, hanya sebatas atasan dengan bawahan, tidak, presdir dengan sekertaris, aishh... lebih tepatnya, majikan dengan b***k.
Matanya menatap tidak suka pada pria yang kini melukiskan senyuman di bibirnya.
"Terima Kasih sudah mengantar istriku pulang. Denis "