Episode 03.

2979 Words
Adrian sedang bercermin, melihat pantulan dirinya di sana. Pria bertuxedo putih yang tampak begitu tampan dan benar-benar tampan. Tangannya mengatur bagian depan rambutnya agar terlihat rapih.   "Putraku memang tampan"ujar sang ibu yang kini berdiri di sampingnya dengan pandangan takjub. Adrian tersenyum ia akui dirinya tampan dan bukannya beberapa orang akan berpikir seperti itu jika melihatnya saat ini.   Adrian tersenyum, matanya beralih dan mengarah pada pintu kamar yang tak jauh darinya saat bunyi pintu itu berderit, dan menampakan seorang gadis dengan gaun putih panjang yang mengekpose bagian bahunya. Rambutnya tergulung ke atas, sedikit menyisakan beberapa helai rambut dengan jepit kembang berwarna putih yang menghiasi rambutnya. Wanita itu tersenyum, seraya melangkah kan kakinya dengan perlahan. Membuat kesan anggun pada dirinya. Bak seorang model yang sedang berjalan di atas papan catwalk.   "Cantiknya Adrian bagaimana menurutmu, calon istrimu itu? Bukankah dia sangat cantik"puji sang ibu yang merasa terkesima dengan pantulan diri Hera yang sedang mencoba gaun pernikahan mereka.   "Akhh... dia benar-benar cantik"puji sang ibu, menatap takjub Hera yang kini berjalan menghampirinya.   "Biasa saja"   GUBRAK.   Hera hampir saja tersandung oleh highheels yang dipakainya sendiri setelah mendengar ucapan Adrian. Pria itu benar-benar membuat senyum di wajahnya lenyap begitu saja. Tidak adakah kata-kata manis untuk seorang wanita di sini.   Hera memandang Adrian dengan ekspresi wajah malasnya, moodnya hilang dia kira mudah tidak bergerak berjam-jam untuk melakukan make up dan memakai baju pengantin, dasar pria pelit pujian.   "Kalian serasi sekali"puji ibu Adrian lagi, matanya terlihat berbinar, menatap kagum pasangan pengantin itu. Sudah lama ia ingin melihat putra keduanya itu menikah. "Sekarang pergilah ke dalam, kalian harus berfoto.. ahh... aku benar-benar senang"   "Ayo sayang"ajak Adrian dengan menggenggam tangan Hera, menariknya lebih tepatnya.   "Aku bisa jalan sendiri"Bisiknya pelan, agar tak terdengar oleh sang ibu mertua. Hera berusaha melepaskan tangan Adrian darinya, namun tangan itu malah semakin mengerat menggenggam tangannya.   "Mam sedang memperhatikan kita, kalau pun harus mencium aku akan menciummu sekarang juga. Jangan membuat mam curiga pada kita"ancam Adrian dengan mimik wajah mengancam membuat Hera sebal melihatnya.   "Awas kalau kau berani melakukannya" Hera memberi peringatan pada pria itu. Hera bahkan sudah siap jika pria itu menciumnya maka dia akan segera melepaskan kedua sepatunya, dan melemparkannya pada Adrian atau menubrukkan kepalanya ke wajah pria itu. Hera benar-benar akan melakukannya lihat saja nanti.   "Kalau begitu lakukan perintahku" "Sekarang anggap saja kita sedang main film Beauty and The Beast, kau jadi Beast dan aku jadi Pangeran kaya raya nya yang menikah dengan beast dalam versi wanita"Hera memandangnya dengan pandangan tidak percaya. Dia barusan bilang apa? Dia pasti sedang mengigau. Hera mendecih dengan wajahnya yang tersenyum geli memandang Adrian.   "Ckckckck... kau sedang bercanda ya. Mana mungkin kau jadi pangeran itu tidak cocok, sama sekali tidak"wajah Hera berubah datar, ia menghentakan tangan Adrian lalu berjalan duluan meninggalkan Adrian yang terdiam di tempatnya.   "Bisa-bisanya dia menjadi pangenran, aku beastnya pula. pria itu pasti sudah gila, mana ada beast wanita"gerutunya sebal.   ***   Hera mengarahkan pandangannya ke jendela, sementara Adrian tengah asik mengemudikan mobil dengan pandangan fokus ke arah jalan. Begitu asik dengan pikiran mereka masing-masing.   Hera teringat bagaimana dia akan segera menjadi gelandang besok pagi karena Berta sudah mengusirnya, dan menyuruhnya segera mengosongkan tempat esok harinya. Hera kerap kali melirik Adrian ia ingin mengatakan sesuatu pada pria itu namun terasa begitu sulit.   Ini benar-benar memalukan bagaimana bisa dia meminta gaji di bayar di muka atau Hera pinjam uang saja. Apa ada pilihan lain? Tapi seperti nya memang tidak ada pilihan lain. Ini memalukan sungguh sangat memalukan, tapi memang tidak ada pilihan lain. Hera harus meminta bantuannya sekali lagi walau dalam hatinya ini sungguh masuk dalam kategori tindakan tidak terpuji.   "Adrian"panggil Hera memecah keheningan di antara mereka.   "Hmm"dehem Adrian tanpa menoleh membuat Hera memutar kedua bola matanya malas, pria ini benar-benar begitu dingin. Apa tidak bisa dia menoleh sedikit saja. Tapi masa bodohlah yang terpenting dia mendengarkan.   "Jujur ini begitu memalukan untukku, tapi aku tidak ada pilihan lain selain meminta bantuanmu" Pria itu hanya diam, terlihat begitu cuek dan itu membuat Hera gregetan, ingin sekali wanita itu mencakar wajahnya sekarang. Tapi dia harus sabar, saat kau meminta bantuan seseorang sudah seharusnya kau bersikap baik bukan.   Hera mengambil nafas dalam. Berusaha rileks, karena ini begitu adalah hal yang sangat memalukan baginya. "Bisakah aku pinjam uang padamu ? "   "Hari ini aku diusir oleh bibi pemilik Apartemen karena aku tidak bisa membayar uang sewa, dan besok aku harus mengosongkan tampat karena akan ada yang mengisinya. jadi begitu ceritanya. Sebelum aku pindah ke rumahmu aku kan harus mempunyai tempat tinggal"   "Jadi...., Jadi aku mau pinjam uang darimu untuk menyewa kamar. Begini, kau bisa potong dari uang 50 juta dollar milikku. Bisa tidak?" Hera menatap cemas Adrian yang masih menatap fokus ke arah jalan, pria itu masih dengan wajah datarnya yang masih sibuk mengemudi.   "Bicaralah sesuatu"batin Hera frustasi melihat pria itu hanya diam sejak tadi membuatnya merasa cemas. Apa permintaannya meminjam itu kelewatan tidak baik. Adrian melirik Hera sekilas, lalu kembali memandang lurus. "Tadi kau bilang apa, aku kurang fokus"   "ARRRGGGHHHHHHHHHH"batin Hera berteriak frustasi.   "Aishh ..benar-benar, kau benar-benar akhh. Kau anggap apa aku ini, aishh"ucap Hera frustasi   "Bisa kau ulangi"tanya Adrian yang kini melirik Hera. Hera mengeram kesal. Ia sudah mengatakan tentang cerita sedih nasibnya yang barus saja di tendang keluar oleh bibi pemilik Apartemen karena tidak bisa membayar uang sewa. Lalu pinjam uang. Kalimat pinjam uang ituadalah kalimat yang sangat begitu sulitu untuk dikatakan. Kenapa pria itu mau mendengarnya untuk mengatakan lagi. kenapa dia tidak fokus tadi.   "Lupakan”Ucap Hera kelewat kesal. Adrian terkekeh melihat wanita itu mengeram kesal karenanya. "Kau mau aku turunkan dimana.?" Hera menoleh ke arah Adrian cepat dengan pandangan tidak percaya. Pria itu benar-benar tidak mendengar perkataannya barusan. "Kau benar-benar tidak mendengar yang ku katakan tadi ya?"   "Apa?”   “Akhhh.. turunkan aku di sini"rutuk Hera frustasi. Dia menyerah, pergi dari hadapan Adrian adalah pilihan bagus.   Adrian menyerngit bingung lantas ia menepikan mobilnya di pinggir trotoar. Hera langsung turun, dengan gebrakan pada pintu mobilnya tanpa mengatakan apapun.   Hera memilih untuk turun, menghindari tindak k*******n yang mungkin akan dia lakukan pada Adrian. Mengingat pria itu baru saja menyulut emosinya. Adrian langsung melesat pergi meninggalkan wanita itu begitu saja di pinggir jalan membuat Hera memandangnya tidak percaya.   Hera kira akan ada adegan pencegahan seperti dalam drama-drama ternyata, Itu memang hanya di dalam drama, karena pada nyatanya kini kau di tinggal dengan uang pas-passan oleh calon suamimu.   "Dasar pria tak punya perasaan"dengus Hera kesal.   ***   Starbuck Cafe. Seattle, 15.56. pm   "Sabarlah" Hera mengangguk kecil.   "Jadi semua itu akan berlangsung selama 3 bulan, heii.. kau tidak takut??"tanyanya menyelidik. Hera yang masih dalam posisi menempelkan pipinya di atas meja, mendanga, lantas bangun membetulkan posisi duduknya menjadi menghadap sang teman dengan pandangan bingung.   "Kenapa?! Takut kenapa? Memangnya apa yang harus aku takutkan?" Elena, salah seorang teman masa kecil sekaligus sahabat terdekatnya yang ia miliki. Keduanya begitu akrab bahkan sekolah mereka selalu sama agar mereka selalu bisa berteman. Elena sendiri sebenarnya berbeda 1 tahun dengan Hera, namun karena ia telat masuk sekolah satu tahun dia jadi satu angkatan dengan Hera. Namun Hera tak pernah menggunaan embel-embel kakak. Wanita itu memang tidak sopan.   Elena mendekatkan wajahnya pada daun telinga Hera, mencoba membisikan sesuatu padanya. "Takut kalau-kalau ibu mertuamu tahu tentang ini" Hera terdiam, sebenarnya ada rasa takut di dalam hatinya. Namun dia selalu menepis perasaan itu.   "Hah! Mengingat sebuah karma yang akan aku dapat saja tidak membuatku takut, mana mungkin aku takut pada ibu mertuaku. Ingin sekali aku menolak pekerjaan ini, dan uang yang akan aku dapatkan dari pria menyebalkan itu"   "Dan mengatakan padanya. Bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa dibeli dengan uang, tapi sayangnya aku tidak bisa. Mengingat kenyataannya di dunia ini memang semuanya bisa di beli dengan uang"   "Ya... kau benar"Elena setuju dengan Hera, wajahnya terlihat murung mendengar kenyataan itu. Apa yang tidak bisa di beli dengan uang udara saja tersedia di rumah sakit untuk di bayar menggunakan uang.   "ohh ya,..Elena bantu aku, aku harus pergi dari Apartemen besok pagi"   "Benarkah kenapa?!! Berta akhirnya mendepakmu dari sana?"   "Hei"protes Hera.   "Kau sih, sudah ku anjurkan kerja paruh waktu, kau malah tidak mau. Terima akibatnya. Terus saja menulis n****+ picisan seperti itu" Hera menutup kedua wajahnya kesal, jujur saja ..dia sangat menyesal saat ini, tapi mau bagaimana lagi, menulis adalah hal yang sangat di sukainya.   "Ya aku menyesal, harusnya aku kerja paruh waktu dan menulis, bodohnya aku. Sudahlah aku tidak mau memikirkannya"sesal Hera frustasi. Nasi sudah menjadi bubur semuanya tak bisa kembali terulang walau kau berdoa dengan kesungguhan pun, semuanya tidak akan bisa berubah.   ***   Hera dan Elena menaiki tangga menuju kamar Apartemen Hera. “permisi nona”ucap salah seorang pria berpakaian seragam property membawa sebuah koper menuruni tangga.   “siapa lagi yang di usir dari sini?”tanya Elena beralih memandang Hera bertanya. Hera mengendikan bahunya, tidak tahu dan tidak mau peduli.   Hera menghentikan langkahnya ketika melihat seorang pria membawa sebuah koper berjalan menuju keluar Apartemen. Bukan tanpa alasan, Hera merasa tidak asing dengan koper tersebut. Seperti memiliki barang yang sama Hera yakin sepenuhnya barang itu begitu mirip dengannya.   “itu seperti milikku”gumam Hera seraya menunjuka koper yang di bawa pria tadi.   “sepertinya memang milikmu karena berasal dari kamar Apartemenmu”Elena menunjuk kamar Apartemen Hera dengan wajah kebingungan, ia melirik Hera dengan pandangan bingung.   “itu”gumamnya seraya menunjuk ke suatu arah membuat Hera mengikuti arah tunjuk tangannya yang mengarah ke kamar Apartemennya.   “PENCURIII”teriak keduanya heboh , keduanya langsung bergegas berlari ke kamar Apartemennya.   “Apa yang kau lakukan? Mau kau apakan barang-barangku ini?”Hera merasa begitu frustasi melihat barang-barangnya di angkut paksa keluar dari kamarnya. Berta, apa ini karena perintahnya? Bukankah dia di beri kesempatan hingga besok pagi?   “Hera”panggil seseorang membuat Hera dan Elena melempar pandang ke arahnya. Kini Berta berdiri di hadapan mereka dengan wajah sendu.   “Maafkan aku kalau aku terlalu kasar padamu. Kau tidak perlu pindah secepat ini. Kau masih bisa tinggal semaumu. Kau pasti mencari uang sepanjang hari ini karena takut di usir olehku. Maafkan aku ya. Uangnya cukup besar kau berlebihan mengirimnya kalau malam ini saja kau ingin pindah dari sini”   Kedua mata Hera mengerjap bingung mendengar perkataan Berta. Ia dan Elena saling melempar pandang bingung hingga akhirnya seorang pria bergabung di antara mereka. Hera kenal siapa dia.   “Evan”dia tersenyum dengan begitu manis pada Hera lalu beralih pada Berta.   “sudah di terima uangnya Berta?”Berta mengangguk. Ia cukup terpana dengan ketampanan pria di hadapannya ini, bagaikan seorang boneka barbie yang selalu di mainkan sang cucu, ternyata boneka itu nyata dan kini sedang berdiri di hadapannya.   “harusnya dia ingat umur. Kenapa menatap pria dengan pandangan semacam itu”gerutu Elena membuat Hera menyenggol lengannya.   “Ya sudah, itu darimu wah terima kasih banyak. Itu sangat banyak sekali”ia nampak kagum dengan Evan. Wajahnya nampak berbinar, sungguh kalian akan merasa geli jika melihatnya.   “itu untuk biaya sewa Apartemen Hera. Dan kau kakak ipar”ucapnya kini beralih pada Hera.   “Sekarang kau akan pindah ke Rumah Tuan Refano agar bisa menyiapkan dirimu untuk pernikahan di lusa nanti” “Lusa nanti?”ucap Hera dan Elena berbarengan. Apa tidak salah lusa nanti? Hera bahkan belum sempat merayakan kegiatan untuk melepas masa lajangnya, jahat sekali. Lagi pula ini terlalu cepat. Hera tidak habis pikir ia harus segera menjadi seorang istri sekitar 2 hari lagi.   “tapi....”   “kita harus segera pergi ke rumah ibu mertuamu. Beliau sudah menunggumu sejak tadi”   ***   Seattle, Minggu 19.00.pm   Hera dan Adrian tengah berdiri untuk menyambut ucapan selamat pada para rekan-rekan kerja Perusahaan tamu undangan lainnya. Hera berdiri dengan sedikit mengangkat gaunnya, bibirnya terus menampakan senyuman.   "Selamat atas penikahannya Tuan Refano" Adrian membeturkan kepalan tangannya pada kedua kepalan tangan yang di sodorkan padanya. Hera mengenal salah satu pria itu, itu adalah sekertaris Adrian namanya Evan sementara satunya lagi si pria berambut merah.   Hera tidak mengenalnya tapi mereka terlihat begitu akrab, Hera dapat mengira seberapa besar jalinan persahabatan yang terjadi di antara mereka bertiga.   “Dia kah wanita 100 juta dollar itu?”tanya salah seorang pria berambut merah di sebelah Evan. Hera tersenyum padanya. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Hera.   “Deren Manager HRD di Perusahaan Adrian sekaligus sahabat karibnya yang penuh dengan harapan, yang tampan dan memiliki...”   “haaaaa, s**t! Itu tidak sama sekali tidak penting. Aku Evan kita sudah saling mengenalkan. Selamat atas pernikahanmu ya”potong Evan pada kalimat Deren.   “Terima kasih”jawab Hera. “kau cantik, dan gaunmu sangat bagus”puji Deren. “benarkan ?”Deren menyenggol lengan Adrian dengan senyum menggoda.   "Yang benar saja. Dia,... Angelina Jolie bahkan lebih cantik"tunjuk Adrian pada Hera yang membuat wanita itu menatapnya dengan kedua mata menyipit.   "Ishh"desis Hera, pria itu berani menyalakan api rupanya.   "Terima kasih”sahut Hera.   "Kau dibayar mahal oleh Adrian. Bekerja keras lah. Kalau dia macam-macam padamu hajar saja dia"ucap Deren membuat Hera dan Evan terkekeh karenanya, tidak dengan Adrian yang menatap sahabatnya itu dengan wajah datar.   "Kau mau mati Deren ?!" "Aku hanya bercanda " Adrian memutar kedua bola matanya malas, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celananya.   "Aku lapar, aku mau makan.. kita makan dulu " Deren mengangguk, dan berlalu begitu saja setelah menepuk punggung Adrian dan berlalu dari hadapan mereka berdua.   "Dia tahu"ucap Hera berbisik. "Ya, hanya mereka berdua. Sahabatku.. tidak ada yang lain. Kau tidak boleh mengatakan pada siapapun"   "Aku tahu,.. aku bukanlah anak kecil yang harus kau ingatkan"   Adrian mendengus kesal, tangannya beralih merapikan rambutnya. "Malam ini, kita tidur di rumah orang tuaku, besok baru ke rumah baru kita, sayang"ucap Adrian dengan penekanan pada kata sayang, bahkan Adrian mengatakannya dengan smirk di wajahnya.   Hera menatap Adrian dengan horor, pria itu benar-benar menyeramkan, dan panggilan itu entah kenapa terdengar begitu menyeramkan jika keluar dari mulut Adrian.   "Jangan katakan itu lagi, aku merinding mendengarnya”   ***   Adrian membuka pintu kamarnya, kamar Adrian yang akan di tempati mereka berdua malam ini. Hera mengekor di belakang Adrian, tiba-tiba begitu terkejut. "Adrian bagaimana ini ?!! Tempat tidurnya hanya ada satu"ucap Hera heboh.   "Aku tahu" Adrian berjalan mendekat ke arah tempat tidur, membuka jas dan dasi yang dipakainya. Berbeda dengan Hera, wanita itu mendudukan dirinya di atas tempat tidur.   "Kau tidak mau mandi ? mau tidur dengan gaun seperti itu -eoh!"ucap Adrian saat melihat Hera yang terlihat kerepotan dengan gaun panjangnya.   "Adrian, apa kau tidak punya kasur lagi, bagaimana ini ?"Hera nampak gelisah,di dalam kamar ini cuma ada 1 kasur itu artinya dia harus berbagi kasur dengan pria ini, dan Hera tidak mau bahkan tidak sudi.   "Mudah saja, kau tidur di bawah dengan selimut. Aku tidur di atas kasur"   Bukk>>   Sebuah bantal mendarat mulus tepat di wajah Adrian, gadis itu baru saja melemparnya dengan sebuah bantal. "Tanganku reflek. Lagi pula tega sekali kau melakukan hal itu padaku,.. aku ini wanita!!!  Bisa-bisanya kau menyuruh seorang wanita tidur di bawah sementara kau sebagai pria tidur di atas kasur. Apa kau tidak punya perasaan –huh?!!  Kau bukanlah Pria gentel"   Bukk>>   Hera mengeram, saat sebuah bantal mendarat tepat di atas kepalanya, ulah siapa lagi kalau bukan Adrian Refano, memang ada siapa lagi di sini, hantu?!! Yang benar saja?!!! "HEI!"teriak Hera kesal.   “Kenapa! Aku hanya mencontohkan, itu adalah tidakan kalau seorang pria tidak punya perasaan. Sementara aku, aku memiliki perasaan bahkan aku menahan diriku untuk tidak membalas memukulmu dengan bantal sejak tadi"   Emosi Hera meluap, kalau saja ini sebuah animasi kartun maka sebuah asap sudah keluar dari kepalanya. "Itu barusan apa?!! Kau barusan memukulku dengan bantal Adrian Refano" "Aku bilang aku hanya mencontohkan"   "KAU?!!!"geram Hera.   *** Di luar ruang kamar Adrian, Evan dan Deren mulai memasang telinga mereka, mendengar suara apapun yang  berasal dari dalam sana dengan penasaran.   "Adrian, pelan-pelan aku ini wanita. Ini begitu keras dan menyakitian"   Evan dan Deren saling melempar pandangan terkejut. "Aku tidak peduli, kau membuatku kesal" "Hei~ aishh . Tubuhku sakit Adrian Refano. Kau benar-benar. Kalau bermain jangan kasar!" "Rasakan itu" "Ahh~ aku lelah"desah Adrian. "kau payah, kau seperti seorang wanita. Kau bukanlah seorang pria" "Kau duluan atau aku duluan yang mandi" "Aku duluan" "Tolong tarik ini" Evan dan Deren kembali melempar pandangan horor. "Arghh... sakit, kau kasar sekali"   "Adrian  bersemangat sekali melakukannya?"gumam Evan berbisik.   "Aku rasa Hera yang paling bersemangat"sahut Deren. "Aku kira dia tidak akan menyentuh Hera" "Aku juga berpikir seperti itu, ternyata pikiranku salah" "Aku akan bertanya padanya besok"seru Evan yang di balas anggukan kepala dari Deren. “Lebih baik kita pergi sekarang, sepertinya sudah selesai"   *** Di dalam kamar..   "Arggh,.. sakit, kau kasar sekali" Hera menyentuh kepalanya yang terasa sedikit nyeri.   "ini"Adrian menyerahkan sebuah ikat rambut putih kembang pada Hera, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur.   "Menyakitkan sekali, kau menariknya tanpa perasaan"ucap Hera saat merasakan sakit di kepalanya.   "Aku pria, melakukan segala sesuatu dengan perasaan bukanlah seorang pria, itu wanita"   Hera menoleh pada Adrian yang kini berbaring di atas kasur di sisinya. "Hei Tuan Refano, kau lemah sekali. Karena perang bantal ini aku yang menang, jadi aku yang tidur di kasur"   "Terserah"   ***   "Jadi bagaimana?"Keduanya tengah beracak pinggang menatap kasur berukuran king size itu dengan bingung.   "Begini, guling ini kita taruh di tengah sebagai pembatas. Aku ataupun kau, tidak ada yang boleh melewatinya,.. siapapun yang melewatinya akan di tendang keluar tempat tidur, kau mengerti" Adrian mengangguk setuju dengan itu. "Tapi tunggu, sepertinya gulingnya terlalu ke arahku, ini tidak di tengah"protes Adrian seraya memindahkannya ke arah Hera. "Sekarang aku yang sempit"protes Hera seraya menggesernya ke arah Adrian.   "HEI" "HEI" "HEI"   Keduanya terus menggeser bantal guling tersebut, tidak ada niatan untuk saling mengalah di antara keduanya.   20 menit kemudian.   "Baiklah, aku 15 jengkal, berapa jengkal luas milikmu Adrian" Adrian mengukur luas miliknya dari guling yang berada di tengah, terlihat sibuk dengan angka yang terucap dari bibirnya.   "14, 15... sama denganmu"   "Baiklah.. masalahnya sudah selesai. Sekarang aku mau tidur" Hera loncat ke tempat tidur, membelakangi Adrian seraya menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya hingga ke kepala.   "Yang benar saja..  aku harus satu tempat tidur dengan wanita sepertinya"dengus Adrian membuat Hera meliriknya sinis.   "Aku mendengarnya Adrian"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD