Episode 01.
Perusahaan Refano Corp.
Seattle, 11.00
"Aish, berhenti melakukan hal itu mam"
Adrian Refano menggerutu kesal, wanita paruh baya di hadapannya ini tak henti-hentinya membicarakan beberapa orang wanita yang dikenalnya, mempromosikan seorang gadis pada sang anak yang mungkin akan dapat dikencaninya.
"Ya tuhan, Adrian Refano kau tidak kasihan pada mam eoh, mam ingin menggendong seorang cucu. Sampai sekarang kau bahkan belum menikah dan mempunyai kekasih"
"Mam sudah tua, sampai kapan mam harus menunggu lagi -huh"ucap ibu Adrian dengan tampang murung. Wajanya terlihat sedih memandang sang anak yang berada di hadapannya.
Adrian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, matanya menatap malas sang ibu dengan tatapan frustasi. Bukannya Adrian tidak mau menikah hanya saja ia merasa belum menginginkannya untuk saat ini. Masih banyak hal yang ingin di lakukannya sebagai seorang pria lajang yang memiliki jenjang karir yang bagus.
"Ada kak Alfian. Dia punya anak kan? Alan, mam mau kemanakan dia?"tatapan Adrian seolah tak percaya menatap sang ibu di hadapannya. Ia punya kakak laki-laki dan sudah memiliki seorang anak berumur 7 tahun, bukankah itu berarti sang ibu sudah memiliki cucu. Kenapa begitu memaksakannya untuk memberikan cucu padahal dia sudah mendapatkannya.
"Ya, dia sudah besar, umurnya sudah masuk 7 tahun, mam ingin seorang bayi dan bayi itu darimu”ucap ibu Adrian seraya menunjuk Adrian dengan jari telunjuknya.
"Tinggal kau yang belum berkeluarga di sini, umurmu sudah masuk kepala 3! Dan mam tidak pernah melihatmu bergandengan atau berpergian dengan seorang wanita"
"Masuk kepala tiga bagi pria di Amerika itu masih wajar dan dikatakan sehat mam"
Adrian membela diri. Bukankah di Amerika hal itu masih di anggap biasa. Kenapa ibunya ingin sekali dirinya untuk menikah.
Ibu Adrian mengeluarkan beberapa foto wanita dari dalam tasnya dan menaruhnya di atas meja tepat di hadapan Adrian.
Ia memajang, menjajarkan foto wanita-wanita itu di hadapan Adrian agar pria itu dapat melihatnya dengan jelas, lalu disandarkan punggungnya pada sandaran sofa dan menunjuk foto-foto tersebut dengan dagunya.
"Mam tidak peduli. Pilihlah salah satu dari foto itu"perintahnya dengan sedikit menuntut.
Adrian melirik sekilas pada lembar-lembar foto tersebut. Ia beralih membuang arah pandangnya ke arah lain."Tidak ada yang menarik untukku"Tolaknya, membuat sang ibu menatapnya terheran.
"Tidak ada yang menarik. Hei, apa kau seorang gay? Bagaimana bisa tidak ada yang menarik di sana? Mereka semua cantik-cantik. Mam tidak pernah melihatmu pergi berkencan, yang mam lihat kau hanya bersama si Evan kalau tidak Deren, apa kau gay huh?!!"tuduh ibu Adrian tanpa berpikir. Pasalnya, putra keduanya ini memang tak pernah terlihat membawa seorang wanita ke hadapannya. Bahkan gosip tentang kencan saja tak pernah dia dengar dari beberapa staff penggosip.
"Aku ini pria normal mam, hanya saja jangan mengaturku dalam memilih wanita. Aku akan memilih wanita pilihanku sendiri"
Adrian nampak kesal. Ia sendiri memang bukannya tidak tertarik. Adrian akui wanita itu cukup cantik namun dia sendiri masih ingin fokus terhadap pekerjaan yang sedang di gelutinya. Perusahaannya sedang dalam kemajuan besar, dan dia ingin fokus pada karirnya untuk saat ini.
"Kau bahkan tidak berdekatan dengan wanita, sampai kapan mam harus menunggu ?"Ibu Adrian nampak gusar, ia tak habis pikir tentang sang putra yang tidak bisa memilih seorang wanita untuk di jadikan pasangannya.
"Aku sudah dapat calonnya, aku tinggal menyeretnya ke hadapan mam"
"Benarkah itu? kenapa? Kenapa kau tidak memperkenalkannya pada mam ?” Mendadak wajah kesal itu berubah menjadi berbinar, ia tak tahu kalau putranya ini sudah memiliki seorang calon istri diam-diam.
“Bawa besok dia ke Rumah"seru sang ibu, membuat Adrian terkejut dengan kedua matanya yang melebar.
"Apa!!”
***
"Shitt"Adrian mengumpat seraya mendudukan dirinya pada kursi hitam beroda di dalam ruang kerja miliknya. Sebelah tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut, akibat sang ibu yang memintanya untuk membawa seorang gadis ke hadapannya besok.
Itu tadi hanyalah sebuah kebohongan, agar sang ibu dapat menghentikan permintaannya dan mengakhiri pembicaraan tentang pernikahan tapi ternyata, kebohongannya malah mengakibatkan masalah baru yang harus di hadapinya.
Bagaimana caranya mendapatkan seorang wanita dalam waktu semalam? Apa Adrian harus meminta bantuan Jinny seperti di dalam film legenda. Atau meminta jasa pacar sewaan seperti di dalam sebuah ftv. Haruskah? Katakan jika Adrian memang benar-benar harus melakukannya.
"Kau terlihat kacau, Kau baik-baik saja?”Tanpa berniat melihat ataupun melirik, Adrian sudah tahu siapa pemilik dari suara tersebut.
Saat ini dirinya tidak berniat menjawab sederet pertanyaan tak berguna, yang dilontarkan oleh pria yang sudah mendudukan dirinya di sofa ruang kerja miliknya dengan begitu nyaman. Seperti biasa, kedua orang itu selalu merasa seperti di rumahnya sendiri.
"Evan, tolong carikan aku seorang wanita"
Evan menoleh cepat ke arah Adrian. Mendengar kalimat yang pria itu lontarkan cukup membuatnya terkejut sekaligus terheran.
"Wah kau sudah tertarik dengan seorang wanita -huh! Aku kira kau seorang gay, syukurlah ternyata kau normal"rasa syukurnya jelas sebuah tamparan bagi Adrian. Mulut pria itu butuh saringan rupanya agar tak asal bicara.
"Yak, apa katamu? Memang tidak ada wanita yang menarik minatku saat ini, tapi sungguh aku ini laki-laki normal"Adrian tak habis pikir, apa ia terlihat seperti seorang pria gay ? Kenapa hanya karena kau tidak mempunyai kekasih kau di sebut sebagai gay.
"Susah sekali, kalau untukmu. Jujur saja aku kesulitan untuk mencari seorang gadis yang tahan banting dengan dirimu"ujar Deren terlihat tak yakin dengan permintaan tolong Adrian. Pria itu tak pernah berhasil untuk pergi berkencan dengan seorang wanita manapun. Garis bawahi itu manapun.
"Aku ingat terakhir kali kau ikut kencan buta, wanita itu menyirammu dengan air wine. Karena kau mengatakan riasannya seperti kue mochi, aishh aku tidak bisa melupakan itu"papar Deren pada Adrian.
"Hei, itu bukan salahku. Itu karena riasannya terlalu tebal. Aku hanya mengatakan kejujuran yang aku lihat dengan kedua mataku”
"Bagaimana dengan wanita yang berkencan denganmu kemarin lusa?!! Kenapa kau begitu terlambat? Apa kau tidak tahu waktu itu sangat berharga! Lalu setelah itu dia pergi tanpa bersuara ckkckck"sahut Evan yang terkekeh dengan perkataannya sendiri.
"Oh jangan lupa pada wanita cerewet saat valentine. Adrian mengatakan padanya, kau begitu cerewet dan banyak bicara. Tidak bisakah mulut itu terdiam beberapa menit saja. Hahahaha.. dia pergi sambil menangis"lanjut Deren membuatnya dan Evan tertawa.
"Itu karena saat makan dia terus bicara tanpa ampun, membuat mood makanku hilang"sahut Adrian membela dirinya.
"Lalu si wanita tomboy itu. Kau sebut dia gengster berbahaya?!!"lanjut Deren berkata.
"Ya.. aku hampir berkelahi dengannya waktu itu"ucap Adrian seraya memutar kedua bola matanya malas menanggapi cerita Deren.
"Ckckck... kami rasa tidak ada wanita yang cocok dengan keperibadianmu"Evan terkekeh geli mendengar cerita Deren. Evan menatap Adrian dengan mata menyipit, kedua tangannya terlipat di depan d**a dengan tampang berpikir.
"Ada yang harus kau ubah dari cara berbicaramu"Keduanya berujar membuat Adrian menyerngit menatap bingung kedua sahabatnya itu.
"Apa?”tanyanya tidak mengerti apa yang Deren dan Evan katakan.
"Mulut blak-blakan mu itu"ucap keduanya serentak.
***
"Yang benar saja, dia bilang naskah ku adalah naskah murahan. Kau tahu ini sangat berharga"umpat Hera. Satu kakinya melayang berusaha menendang sang Gedung pencakar langit yang berada di belakangnya.
"Aishh ,benar-benar ini benar-benar membuat ku frustasi.. akhhhh"ia membalikan tubuhnya dan mulai bergegas pergi dari sana. Hera melangkahkan kakinya menyusuri setapak jalan pinggir trotoar. Wajahnya nampak begitu kesal kedua kakinya berhenti lalu berbelok ke sisi jalan bermaksud untuk menyebrang hingga.....
Cekittt
Hera berjongkok seraya menutup kedua telinganya menggunakan kedua telapak tangannya spontan.
"Aku mati.. aku mati... apa aku mati ? aku pasti sudah mati"ucapnya bertubi-tubi dengan mata terpejam.
Pria itu keluar dari dalam mobilnya. Kedua mata sipitnya membesar tat kala melihat mobilnya yang berkepul asap, karena harus bercium paksa dengan pohon samping trotoar.
Adrian menoleh ke sana kemari mencari si penanggung jawab atas kerusakan mobilnya, si dalang kehancuran dari semua ini. Ia menemukannya. Seorang gadis tengah berjongkok tak jauh dari mobilnya yang kini berkepul asap.
"Oh hebat, mobil seharga 100 juta dollar ku rusak oleh seorang gadis bodoh yang ingin menyebrang"gerutunya kesal.
Kedua kakinya melangkah lebar menghampiri sang wanita. Ia menarik paksa lengan sang gadis hingga bangkit berdiri menjadi menghadap ke arahnya.
"Hei"Sang gadis berteriak terkejut, dengan perlakuan kasar Adrian yang tiba-tiba. Kedua mata Hera mengerjap menatap Adrian yang berada di hadapannya. Seperdetik hingga akhirnya ia beralih memandang ke area sekelilingnya dengan pandangan bingung.
"Eoh.. apa kau malaikat maut ? kau mau menjemputku ke Surga. Aku sudah mati ya? Apa ini Surga?!! Kenapa terlihat seperti kota Seattle"Ia terlihat kebingungan masih dengan memandang ke area sekitarnya.
Adrian menyerngit menatap sang gadis dengan aneh. Tidak salah dia bilang gadis ini bodoh kan. Adrian beralih memandang ke arah lain dengan pandangan frustasi. Lidahnya tergerak membasahi bibirnya yang terasa kering sebelum beralih pada gadis itu lagi.
"Apa kau sudah gila? aku manusia. Hilangkan dulu pikiran anehmu itu tentang akhirat. Kau tahu nyonya ? kau baru saja membuatku rugi dengan merusak mobil 100 juta dollar ku. Kau lihat itu"Tunjuk Adrian pada mobil sport Ferari merah miliknya, membuat Hera mengubah arah pandangnya dan mendapati sebuah mobil berkepul asap di sana.
"Akhh... jadi aku masih hidup syukurlah"rasa syukur yang ia rasakan karena mendapati dirinya masihlah bernyawa. Adrian terpanjat mendengarnya, tidak ada rasa penyesalan dalam ucapan wanita itu.
"Aku akan membunuhmu setelah ini, kau harus ganti kerusakan yang telah kau buat nona"ucapnya dengan emosi yang sedikit tersulut.
"Hei"protes Hera saat mendapati kertas naskahnya berserakan di jalan, mungkin efek terkejutnya tadi membuat lembar naskahnya terlempar dari tangannya hingga berceceran di lantai trotoar.
"Ya tuhan kertasku"Hera merunduk memunguti setiap lembar demi lembar naskah milikinya.
Adrian menatap sang gadis dengan frustasi, dia saat ini tengah merugi tapi gadis yang membuatnya seperti ini malah tak bereaksi apapun. Bahkan Adrian tak menerima kata maaf darinya.
"Paman bisa kau minggir. Kau menginjak naskahku"Hera menunjuk ke arah kaki Adrian dengan pandangan tak suka, melihat salah satu lembar naskah miliknya terinjak oleh pria itu.
Adrian melirik ke arah kakinya, emosinya naik tiba-tiba sampai ke ubun-ubun, wajahnya memerah. Tersulut emosinya yang tertahan. Persetan dengan aturan negara yang tak boleh membunuh, Adrian benar-benar ingin membunuh gadis yang berada di hadapannya saat ini.
"KAU... KAU TAHU AKU KORBAN DI SINI KARENA ULAH KECEROBOHAN MU.. AKU RUGI 100 JUTA DOLLAR KARENA KAU.. KAU HARUS GANTI RUGI SEKARANG JUGA, ATAU AKU AKAN MELAPORKANMU PADA POLISI"Teriak Adrian seraya menginjak-nginjak sebuah lembar naskah, yang berada di bawah kakinya dengan luapan emosinya yang menggila.
Hera menatap nanar pada lembar naskah tersebut. Miris, melihat orang lain menginjak-injak sebuah karya yang kau buat dengan susah payah.
"Aishh, benar-benar paman"Hera mengalihkan pandangannya kesal, matanya tertuju pada sebuah mobil Ferari merah yang berkepul asap di sampingnya.
"AAKH... INI MOBIL SIAPA? YA AMPUN"teriaknya heboh, ketika melihat sebuah mobil berwarna merah yang menabrak sebuah pohon di pinggir jalan dengan kepulan asap yang keluar dari bagian depan cup mesin mobil tersebut.
"Kau baru bangun dari mimpimu -huh!"Adrian benar-benar frustasi, merasa terabaikan bermenit-menit yang lalu dengan aksi protes nya tadi, tapi ternyata semuanya sia-sia. Wanita ini seakan baru saja kembali dari dimensi waktu, Adrian benar-benar tak percaya di abaikan hingga bermenit-menit lamanya.
"Akh.., Paman maafkan aku, aku sungguh minta maaf"mohon Hera dengan wajah ketakutan.
Adrian benar-benar lelah. Emosinya benar-benar berada diambang batas, mobil hancur, di panggil paman, Adrian berani yakin wajahnya masih lah imut-imut bak umur belasan tahun.
"Aku akan melaporkan mu ke polisi"Adrian mengeluarkan handphone dari saku celananya, menekan angka pada layar flat miliknya dan hal itu sukses membuat gadis yang mengabaikannya itu panik bukan main.
"Paman tolong aku, aku tidak punya uang untuk menggantinya. Akan aku lakukan apa saja untukmu, aku mohon"Adrian menatap datar sang wanita dengan pikirannya yang melayang ke suatu tempat. Hingga kedua arah pandangnya beralih memandang kembali gadis itu.
"Berdandanlah dan bertemu denganku di sini besok pagi"
***
Hera gadis itu menuruti kemauan Adrian begitu saja, setidaknya dia tidak harus membayar uang ganti rugi kalau melakukan hal ini, begitu katanya.
"Kita mau kemana, jadi dia benar-benar kaya. Berganti mobil hanya dalam waktu semalam, apa ini mobil sewaan?"batin Hera seraya melirik Adrian dari sudut matanya.
Pria itu duduk di bagian pengemudi di sebelah kirinya. Dia sudah membawa mobil jenis lain yang tak kalah mewah. Sebuah mobil Audi hitam yang tak kalah bagus dan keren, jelas ini bukanlah mobil murah dan Hera yakin harganya masihlah sama seperti mobil kemarin.
"Kita mau kemana?"tanyanya membuka percakapan di antara mereka yang sejak tadi berada dalam keheningan.
"Saat nanti aku berbicara, apapun itu. Dan kau di tanya apapun, kau hanya harus mengatakan ya. Tidak boleh yang lain kau mengerti?"ucap Adrian tanpa melihat ke arahnya. Hera mengeryit bingung. Apa maksud dari perkataannya barusan?
"Memangnya kita mau kemana, bisa kau jelaskan kenapa aku harus mengangguk dan mengatakan ya pada setiap pertanyaan yang diajukan nanti?”
Adrian mendengus, wanita di sampingnya ini begitu banyak bicara."Sudah lakukan saja, atau kau malah harus mengganti setiap kerugian atas mobilku, kira-kira sejumlah 50 juta dollar"
Hera mengantupkan mulutnya rapat-rapat. Mendengar kata 50 juta dollar membuat saraf-sarafnya membeku seketika. Ia rasa diam adalah hal yang bagus untuk dia lakukan saat ini.
"Kita sampai"Adrian memasuki area sebuah Rumah mewah bercat putih dengan halaman yang luas, bagai sebuah Istana di tengah Kota Seattle. Seperti sebuah Kerajaan Inggris, atau Gedung Putih Presiden Amerika.
Apapun itu, Hera tahu Adrian adalah seorang pria kaya raya, atau ini Rumah seorang Yakuza?!! Apa Adrian bermaksud menjualnya dan mendapatkan uang ganti rugi untuk mobil 100 juta dollar miliknya. Akhh.. pikiran bodoh itu membuat Hera frustasi.
Ternyata tebakannya salah, saat ini dia sedang berhadapan dengan dua orang wanita paruh baya yang menatapnya dengan tatapan menelisik. Apa ini mam dan nenek Adrian, kenapa mereka sangat muda? begitu modis dan kekinian, berbeda dengan dirinya yang begitu kuno.
"Jadi kau calon istri anakku?"tanya salah satu dari kedua orang wanita itu, namun lebih muda yang duduk di sofa panjang tepat di hadapan nya.
"Apa?”Hera nampak terkejut calon istri? Adrian bahkan tak mengatakan apa-apa padanya saat di mobil tadi.
"Iya"ucap Adrian kelewat cepat.
Hera menoleh ke arah Adrian terkejut, pria itu tak menjelaskan apapun tentang ini. Tapi pikiran Hera berkoneksi dengan baik, dia langsung tahu apa yang Adrian rencanakan tentang ini, berpura-pura menjadi kekasih bohongan seperti di dalam drama-drama -huh!
"Siapa namamu?"tanya wanita itu lagi dengan mimik wajah yang begitu lembut. Benar-benar terlihat ke ibuan. Hera berani yakin dia adalah ibu pria itu.
"Namaku Hera Allison"jawab Hera memperkenalkan diri.
“Aku adalah mommy nya Adrian dan ini neneknya”balasnya masihlah dengan suara yang begitu lembut, membuatnya merasa berada di ruang lingkup yang aman. Hera melirik ke arah wanita satunya lagi yang di kenalkan sebagai nenek dari pria itu. Ia menatap Hera menelisik seolah ia adalah sebuah ancaman di sini. Cukup seram jika kalian bertatapan langsung padanya.
"Apa pekerjaanmu?"tanya nenek Adrian membuat Hera terkesikap.
"Sa...saya seorang penulis n****+"
“oh penulis. Penulis apa?”tanyanya lagi.
“n****+ ketegori remaja, seperti cerita romantis”
"begitu, Kapan kalian bertemu?
dimana? Sejak kapan ?
Bagaimana bisa? Apa kau tahu Adrian kaya ?
Kau benar-benar mencintainya ?
Berapa usiamu ?
Kau kaya, tidak penting?
Kau tulus mencintai cucuku ?"
Hera hanya bisa mengerjapkan kedua matanya, saat mendengar setiap rentetan pertanyaan tanpa jeda, tanpa koma, dan tidak membiarkannya menjawab satu saja pertanyaan itu. Bahkan Hera lupa pertanyaan pertama yang diajukan wanita itu apa.
"Eughhh.."Hera nampak bingung ia harus memulai dari mana.
"Nenek, jangan bertanya seperti itu. Kami sudah saling mencintai sejak lama, hampir satu tahun. Karena ekonomi yang di alaminya membuatku tidak mengatakannya pada kalian"Adrian meraih tangan Hera. Mengelus punggung tangannya lembut dengan senyuman hangat di wajahnya yang sukses membuat Hera bergidik ngeri karenanya.
"karena aku takut kalian tidak akan menyetujui hubungan kami, karena kami berbeda derajat"
"Tunggu sebentar, dia baru saja mengatakan aku miskin.. aishh pria ini"batin Hera kesal melihat pria itu dengan pandangan protes. Hera menepis tangan Adrian dengan kasar, sedikit mendesis pada pria itu sebelum kembali menoleh pada ibu Adrian dengan menunjukan senyuman manisnya.
"Maafkan aku"ucap Hera terlihat menyesal tubuhnya membungkuk sedikit di hadapan ibu dan nenek Adrian.
"Jangan seperti ini kau di terima di sini, kami tidak pernah melihat status dalam keluarga kami. Kau sudah mencintai putraku saja aku sudah sangat senang dan berterima kasih"ucap ibu Adrian seraya tersenyum hangat pada Hera. Benar-benar sosok yang begitu keibuan bolehkah Hera berharap memiliki mertua semacam ini.
Kedua mata Hera melirik sinis Adrian yang berada di sampingnya "Apa pria ini begitu miris pada hubungan asmara nya. Kasihan"batin Hera.
"Apa orang tuamu tahu kalian berdua berpacaran ?"
Hera tersentak kaget. Mendadak wajahnya berubah sendu, sedikit tertunduk dengan menunjukan senyuman kecil dia beralih kembali memandang nenek Adrian.
"Kedua orang tuaku sudah meninggal. Mam sudah meninggal saat aku berusia 3 tahun dan ayahku meninggal sejak 5 tahun yang lalu"
Hera menjadi sedikit murung membuat Adrian meliriknya. Hera tersenyum, tersenyum menyakitkan, pertanyaan yang sedikit menggores luka pada hatinya.
Adrian melirik gadis itu, ada rasa tidak enak pada hatinya. Karena hal ini dia harus tahu sebuah rahasia pada wanita yang baru saja di kenalnya kemarin.
"Maafkan aku, aku yakin mereka pasti sudah tenang melihatmu dari surga sana, apalagi menikah dengan anakku"
“Apa menikah dengan putranya begitu hebat? Kenapa aku sedikit merasa aneh mendengarnya”batin Hera.
"Kalau begitu kami merestuinya. Ayo minum tehnya"Ucapan ibu Adrian membuat keduanya bernafas lega. Ini terlalu mudah untuk di lakukan, mendapat kepercayaan ibu tuan Refano tidaklah begitu sulit. Kini rencana mereka berjalan dengan lancar. Hera pikir ia harus bersujud-sujud di kedua kaki nenek dan ibu Adrian agar di restui ternyata tidak. Syukurlah.
Keduanya meneguk sebuah teh hangat dari cangkir bermotif bunga berwarna biru yang terlihat sangat mengagumkan, Hera yakin barang ini sangatlah mahal. Teh yang dibuat dengan manis yang pas, Hera bukanlah penyuka teh, tapi dia akui kalau teh ini sangatlah enak.
"Minggu depan"Hera dan Adrian tersentak, mereka berdua menatap bingung pada sang nenek yang masih menyeruput teh miliknya.
Dia sendiri mengarahkan pandangannya pada nenek dengan cangkir yang masih berada di tangannya. Hera kurang mendengar baik perkataan barusan tapi ia rasa ini bukanlah hal yang bagus.
"Minggu depan kalian akan menikah, kami akan menyiapkan semuanya. Berhubung Hera adalah gadis yatim piatu. Kami akan mengambil alih semuanya, kau tidak perlu khawatir"
"Apa!”ucap keduanya terkejut bukan main. Adrian dan Hera saling melempar pandang terkejut.