Deanisa
"Saya Terima nikahnya, Deanisa binti--"
SAH!
Aku memejamkan mata dikala kata SAH itu berkumandang, air mataku menetes karena beberapa hal, yang pertama sekarang aku bukan lagi seorang anak yang bisa bermanja pada kedua orang tuaku yang sangat menyayangiku, memberikan semua yang aku mau dan selalu mendengarkan keluh kesahku dan yang kedua, aku menikah dengan seorang pria yang sudah jelas bahwa dia tidak mencintaiku, yang menginginkan aku mundur dari perjodohan ini, yang sudah memastikan tidak akan ada cinta untukku.
Aku akan keluar dari rumah penuh kasih sayang ini dan akan pindah ke rumah orang yang tidak akan pernah menyayangiku, mungkinkah?
Allah Maha tahu, dan aku sebagai hambanya hanya bisa meminta dan memohon atas kemudahan segala ujian yang akan aku hadapi kelak, mulai hari ini tanggal 11 bulan 11.
Gaun kebaya putih membalut tubuhku bermakna suci yang mana aku tidak pernah disentuh oleh pria mana pun dan aku juga tidak pernah memikirkan pria lain yang untuk menjadi imamku. Aku berikan kesucian ini pada Engkau Suamiku, yang entah dia akan terima atau tidak.
Ucapan selamat silih berganti datang dari pihak keluarga, teman-teman terbaikku dan semua orang yang mengenalku. Aku merasa canggung, aku tersenyum dibalik kain penutup wajah yang hanya melihatkan kedua mataku.
Senyumanku ternyata tidak tersambung dengan ekspresi wajah suamiku yang tampak kaku, dia tegang dan tidak ada raut kebahagiaan di sana.
Dia pasti memikirkan wanitanya yang juga akan menikah ditanggal yang sama, ya ... hari ini pun wanita itu disunting oleh pria lain.
Aku sempat berpikir jikalau dia pergi dan meninggalkan aku yang menunggu di balik layar maka rasa malu akan melekat pada keluarga besarku.
"Selamat, Icha ... semoga cepat diberi momongan ... Aamieenn."
"Aamiennn, terima kasih."
Apakah dia akan menyentuhku, apakah malam ini akan menjadi malam pertama bagi kami.
Wajah tampannya memang sangat menggoda, postur tubuhnya yang tegap membuat kesan dirinya berwibawa, cocok sebagai pemimpin kepala keluarga.
Banyak orang di luar sana mungkin merasa iri atau bahkan ingin berada di posisiku saat ini tetapi sekali lagi aku berkata, tahukah mereka jika suamiku tidak menyukaiku, tidak mencintaiku dan terang-terangan mengatakan bahwa dia mencintai wanita lain dan tidak bisa berpindah ke lain hati.
Menyakitkan tetapi harus aku coba meluluhkan hatinya. InsyaAllah jika mempunyai niat yang baik dimata Allah maka Allah akan beri jalan yang lurus ke depannya.
***
Al-Kahfi
Seumur hidupku, baru ini aku merasakan seperti patung bernyawa. Berdiri di atas panggung dengan raut wajah murah senyum, padahal senyumku ini mahal. Melihat ke bawah panggung membuat perutku bergejolak karena tamu undangan seperti lautan manusia di halaman luas yang sedang menonton konser musik.
"Senyum," kata tukang foto di bawah sana yang memberiku aba-aba untuk take shoot sesuai arahan Bunda Delmira, Ibuku tercinta.
Selesai di foto, tamu undangan yang terhormat ini bersalaman kembali padaku sembari mendoakan kami, "Semoga dapat anak kembar 9 amieeen."
Aku tertawa dengarnya dan Lala melotot syok didoakan seperti itu. Gimana gak, pasti otak kecilnya itu memikirkan dia bakal ngeluarin 9 anak secara bertahap dalam 1 waktu, memangnya kucing apa.
Lala berbisik, "Kembar dua aja syukur ya Fi jangan sampai 9, bengkak nanti punya aku. Memangnya aku bisa ngasi tahu bibit kecil yang di dalam ini, ada-ada saja. Setelah tamu terhormat berlalu tibalah tamu yang tak terhormat.
" Selamat ya Fi, sebenarnya aku tak sudi datang ke acara kau ini, gara-gara si pengkhianat itu mengambil jatahku. Teman macam apa dia, Qienan dipacarin, kau pun dinikahinya."
"Heh!!"
Lala buka suara sedikit kencang hingga telingaku mendesing. Kedua wanita ini pasang wajah seperti kucing yang mau berantem. Si tamu ini adalah teman akrab istriku, dari dulu memang dia selalu berusaha menggebet aku. Omongannya pun ceplas-ceplos tanpa disaring, makanya aku bilang dia 'Tak Terhormat'.
"La, boleh kucium ya La,"
MasyaAllah, benar kan!
"Eh, suamiku itu jangan dinodaiiii!"
Wassalam, aku tak bisa menghindar. Kalau aku dorong, dia bakal jungkir balik dari atas panggung, kasihan juga menderita malu yang abadi. Dan apesnya aku yang ternodai dengan bibirnya yang empuk, melekat dipipiku. Dia pakai lipstik atau mentega sih. Dan Lala hanya bisa mendengus kasar karena wanita itu lari dan tidak mau bersalaman dengannya. Ya Allah pertemanan macam apa yang mereka jalani.
Lala mengelap bekas lipstik di pipiku dan kembali, kami menyambut tamu yang berikutnya dan berfoto sesuai arahan hingga semuanya ini selesai.
***
Pagi harinya
Kakiku terasa pegal ketika berdiri berjam-jam tadi malam. Dan inginnya menggunakan kursi roda untuk berjalan ke luar kamar. Kami berdua sudah rapi dan siap untuk ke restoran hotel ini.
"Sarapan dulu ya Fi, habis itu ke rumah kamu atau Bunda?"
"Rumah kita La, aku sudah beli. Ukurannya kurang lebih dengan rumah kamu tapi isinya belum lengkap, nanti kamu isi saja sendiri, apa mau kamu."
"Eh, serius? Aku pikir kita bakal tinggal di rumah Ayah kamu terus aku digangguin terus tiap hari."
"Hmmm ngarep diganggu sama Pak Tua itu."
"Eh, lucu loh Fi, papah kamu itu luwes, kamu kaku."
"Papah dengan Bunda yang itu Ayah, jangan salah manggil nanti mereka gak mau jawab. Kamu mau yang luwes tetapi playboy atau yang kaku tetapi setia?"
"Cih, ngancem. Emang kamu bisa setia, dicium Retha aja kamu gak nolak."
Eh, dibahasnya pula. Aku pikir dia gak peduli, lagian bagaimana bisa aku nolak kalau si wanita subur itu langsung nemplok, gak peduli dilarang.
"Yang penting aku gak cium balik. Terus bagaimana Qienan, apakah dia sudah menjadi seorang suami yang sesungguhnya semalam."
Lala menghela napasnya pelan, raut wajahnya murung, kelopak mata yang besar itu mengatup dan kepalanya menggeleng pelan. "Gak mungkin aku minta dia untuk gak nyentuh istrinya, yah kalau dia sudah malam pertama berarti kami gak mungkin lagi bersatu."
Aku malah berpikir kalau si Qienan bakalan gak nyentuh istrinya sampai dia bisa melupakan Lala. Si cowok kaku kayak kanebo kering itu hanya Lala yang bisa jinakin dia.
Obrolan kami pun berakhir karena Lala sudah tidak selera menghabiskan sarapan paginya. Kami langsung meluncur ke rumah yang baru aku beli minggu lalu. Lebih aman jika tinggal hanya berdua dan tidak di mata-matai oleh orang tua.
Bugatti berwarna Navy kebanggaanku melaju kencang membelah kota pagi ini. Jalanan masih lenggang dan bisa ngebut dengan tertib. Tidak ada pembicaraan apa pun selama dalam perjalanan diantara kami. Saat masuk ke dalam komplek dari jalan belakang, eh gak tahunya dari jalan depan ada mobil yang sangat kami kenal.
"Kak Qienan, kamu ngundang dia ke rumah baru kita?" tanya Lala sedikit panik dan aku menggeleng.
"Ngapain gue undang dia datang kemari, yang gue takutkan kalau dia beli rumah di samping kita karena kalau gak salah developernya bilang tinggal satu yang kosong, nah berarti dia yang beli."
"MasyaAllah Al-Kahfi, kamu gimana sih!"
"Loh kok nyalahin aku. Jangan-jangan dia sengaja, nanti aku tanyain."
Dan sepertinya benar dugaanku karena mobilnya masuk ke dalam setelah pintu pagar dibuka oleh security. Dan pagarku, sudah otomatis terbuka sendiri.
Keluar mobil, mulut Lala manyun dan jalan lebih dulu. Apa sebaiknya aku jual saja rumah ini.
"La--Lala--"
Begini nih wanita kalau merajuk. Yang disalahin aku, terus aku mau nyalahin siapa, takdir atau developernya yang jual rumah itu ke Qienan. Ya Allah, kenapa skenario hidupku penuh drama, cukuplah sudah aku menikahi si Ratu Drama dan jangan buat kisah rumah tangga kami seperti sinetron kesukaan emak-emak seluruh Indonesia.