Lebih Ganteng Dari Suamiku

1112 Words
Deanisa Setelah aku pikir akan tenang jika tinggal di rumah yang sudah dipersiapkan oleh suamiku. Kami akan bebas untuk tidak saling berkomunikasi atau bahkan menjaga jarak. Hanya Allah yang tahu tentang apa yang terjadi dalam rumah tangga kami. Namun sepertinya ujian langsung berada di depan mata. Oh Allah, betapa sayangnya Engkau padaku karena sesungguhnya ini ujian yang tidak mudah. Aku kaget ketika tahu bahwa tetangga kami adalah mantan kekasih suamiku. Mereka juga pengantin baru, setahuku. Aku memperhatikan gerak-gerik suamiku ketika tahu siapa yang menjadi tetangga kami. Terlebih emosinya terlihat saat melihat adegan sepasang suami-istri tetangga itu dari jendela kamar kami. Suamiku pasti cemburu. Sepertinya aku harus bersikap dewasa untuk menghadapinya, sabar Icha semua ujian gak ada yang mudah. Dengan rendah hati, aku mengajak dia untuk bertamu dan mengenalkan diri ke tetangga sebelah. Sekalian ingin melihat dari dekat secantik apa seorang artis pujaan suamiku ini. "Assalamu'alaikum," "Waalaikumsalam, ada perlu apa Pak, Bu." "Saya tetangga sebelah ingin silaturahim dengan pemilik rumah ini," kataku dan wanita paruh baya yang menyambut kedatangan kami ini mempersilahkan kami untuk masuk. Aku dan suamiku duduk bersebelahan, lirikkan mataku memperhatikan gestur tubuhnya yang sedikit tegang. Kenapa harus tegang sih, toh wanita itu juga sudah menikah. Gak perlu sakit hati antara satu dengan yang lain bukan? Tak berapa lama, wanita paruh baya yang menyambut kami tadi turun dari tangga, segera menghampiri dan mengatakan, "Tunggu sebentar ya Pak, Bu karena mereka mungkin masih kecapean, mau minum hangat atau dingin." "Gak usah Bi, kami hanya berkenalan saja." Aku melirik suamiku dan dia tarik napas, pasti cemburu karena memikirkan hal yang lain. "Panggil si mbok aja Bu, kan kita tetangga." "Oh iya Mbok, terimakasih." Setelah si mbok pergi, aku lirik suamiku lagi dan berkata, "Tegang banget ya Mas, biasa aja dong." "Kamu sengaja ya?" "Sengaja kenapa?" Aku tak meneruskan obrolan ketika sepasang pengantin baru itu keluar dari kamar dan terlihat mesra. Dan mata ini tak bosan untuk melirik suamiku kesekian kalinya. Seperti dugaanku, dia kikuk, dan merasa tak nyaman. Hembusan napasnya berulang kali terdengar. Terlebih saat wanita itu tersenyum pada kami, melepaskan rangkulan tangannya di lengan suaminya. MasyaAllah, cantik. Pantas saja suamiku tak bisa melupakan dia. Dan suaminya, Ya Allah, lebih ganteng daripada suamiku. "Selamat ya Kak Qienan dan siapa?" Aku dan suamiku berdiri, kami saling jabat tangan namun dengan suaminya aku mengatupkan tangan di d**a. "Saya Deanisa, senang bisa bertemu Mbak." "Oh saya juga." Dia wanita yang ramah dan kelihatan tulus tidak berpura-pura baik. Tetapi tetap saja aku gak suka. Mata besarnya itu masih memperhatikan suamiku, bahkan bibirnya berapa kali dikulum agar terlihat basah. Suamiku juga, sering meliriknya daripada memperhatikan pria yang sedang mengajaknya bicara. Dasar gak ada adab, kesal juga aku. Tiba-tiba saja suamiku mengajak suami sang artis ini untuk bicara. Entah apa yang ingin dibicarakan yang jelas aku sedikit kaku untuk mengajak bicara seorang wanita yang selalu bertahta di dalam hati suamiku. "Bagaimana semalam resepsinya, lancar?" "Alhamdulillah lancar mbak. Kalau resepsi pernikahan seorang artis pasti ramai ya," balasku. Dia memutar bola matanya dan masih kelihatan cantik, lalu tersenyum manis. "Aku memang artis tapi yang banyak kolega itu orang tua dari suamiku. Anak panti, yayasan dan semua kalangan ada bercampur baru jadi satu seperti konser deh pokoknya." "MasyaAllah, berkah ya mbak memberi makan anak panti juga." "Iya, keluarga suamiku itu orang yang taat beragama, jadi wajar kalau mereka berbagi dengan sesama." "Oh, iya... Alhamdulillah." Semoga dia merasa bersyukur mendapatkan keluarga dari pihak suami yang sangat paham ajaran agama. Aku sedikit ragu kalau suaminya bisa mendidik dia menjadi istri yang baik karena nyatanya dia masih tidak menutup aurat dengan sempurna. Setidaknya di memakai baju panjang dan tertutup dibagian tertentu seperti d**a, bahu dan betis. "Kalau begitu, suami Mbak orangnya gak terlalu memaksa ya, agar istrinya bisa tertutup." Dia tergelak, apakah tersinggung dan setelah itu dia tersenyum lalu menyuruh si mbok untuk membuatkan kami minum. Dengan santai dia mengalihkan pembicaraan. "Umur kamu berapa, kalau lihat dari mata sepertinya kamu masih terlalu muda ya untuk menikah. Sudah siap punya anak, ngurus anak, ribet dan aduh aku saja bingung mikirinya." "InsyaAllah bisa mbak dan itu pun sesuai kehendak yang di atas apakah dipercaya atau tidak." "Beruntung ya Kak Qienan, eh maksudku suamimu. Kamu orang yang sabar dan pasti bisa menghadapi pria yang sedikit temperamen." Aku kaget mendengarnya dan dia tertawa, apakah kelihatan kalau aku kaget. "Gak usah tegang Cha, santai saja. Aku kasih tips deh supaya kamu bisa menghadapi seorang Qienan." Aku tersinggung dan menolak tegas, "Gak usah, saya lebih suka otodidak berdasarkan pengalaman." Dia tertawa lagi, apakah dia ingin meremehkan aku yang pasti tidak akan tahan dengan watak suamiku nanti. Lama-lama wanita ini cukup menyebalkan juga ya. "Ya sudahlah, asal kamu tahan aja diketusin terus sama dia, Qienan itu kalau gak suka, bawaanya ketus melulu." "Oh ya, saya juga bisa ketus kalau dia begitu. Yang penting dia mau menjadi suami saya dan proses mencintai itu butuh waktu yang tidak cepat jika tidak ada pengganggu, benar kan Mbak." Dia mengangguk sembari tersenyum, semoga dia paham sindiran halusku ini. Entah apa yang diobrolin suamiku dan suaminya. Semoga saja tidak ada perdebatan yang berakhir dengan perkelahian karena cemburu. *** Makan malam Kami makan tanpa berbincang, sangat sunyi dan tidak semangat. Biasanya di dalam keluargaku, kami pasti saling bercanda saat di meja makan. Siapa yang harus menghabiskan nasi, lauk dan sayur. Keadaan sepi seperti ini terkesan horor. "Deanisa." Tiba-tiba saja dia memanggilku, firasatku buruk melihat wajahnya yang sepertinya punya maksud tertentu. Dan benar adanya, dia menginginkan sesuatu yang di luar akal sehat yakni 'PERTUKARAN PASANGAN'. "Kamu gak punya iman!" Aku berteriak kesal ketika kami saling mendebat satu sama lain. Dia anggap kami barang yang bisa ditukar. Dan saking kesalnya aku menawarkan dia Poligami. "Kamu manusia biasa Icha--" "Aisyah, Hafsah, dan istri Rasulullah semuanya juga manusia biasa. Dilahirkan dan dibesarkan juga oleh manusia biasa. Kenapa saya gak bisa kalau memang saya sanggup!" Aku menantangnya, mungkinkah ini durhaka pada suami. Tetapi, bagaimana bisa aku membiarkan dia bersikap egois yang seolah menawarkan istrinya untuk pria lain. Sungguh, aku tidak yakin jika pria sebelah itu akan setuju untuk menukar istrinya yang cantik dan bisa ia pamerkan kemana-mana dengan aku yang selalu tertutup. "Baik, besok kita rundingkan berempat." Aku diam saja tak menjawab. Dia berdiri setelah selesai bicara, pergi meninggalkan meja makan terlebih dahulu dan mengambil kunci mobil lalu keluar rumah. Kakiku lemah untuk menapak dan air mataku menetes begitu saja. Sedih sekali jika menikah dengan pria yang tidak paham tentang hati seorang wanita. Selesai makan aku kembali ke kamar dan mengambil ponsel untuk menghilangkan rasa kesal dalam hati. Satu pesan masuk yang berisi, 'Ngumpul yuk besok, pengantin baru sudah boleh keluar bukan?' 'SUDAH, OKE.' balasku. Sebelum aku memulai perdebatan dengan tetangga sebelah besok, aku ingin bertemu dengan teman-temanku demi menyiapkan mental sakit hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD