"Kakak lihat kau semakin dekat saja dengan Bos Giorgio? Sampai pulang saja kau diantar olehnya seperti tadi. Apa telah terjadi sesuatu yang spesial diantara kalian?" tanya Vivian tiba-tiba membuat Emily langsung saja tersedak minumannya di sana.
"Kakak apa, sih? Sesuatu spesial apa? Dia saja orangnya aneh begitu. Masa dia tiba-tiba saja menjadi diktator seperti itu. Melarangku ini melarangku itu. Dan ya, kurasa mentang-mentang dia bos, dia menjadi seenaknya saja. Dan yang paling tidak membuatku mengerti adalah perintahnya yang menyuruhku memakai celana saat ke kantor mulai besok. Padahal katamu dia suka menilai orang dari kebersihan kakinya. Karenanya para staff wanita di kantor memakai rok span mini, 'kan? Tapi kenapa dia menyuruhku hal yang justru sebaliknya. Aku jadi berpikiran ada yang salah dengan kakiku. Apa kakiku terlihat jelek ya? Atau mungkin menurutnya aku kurang menjaga kebersihan kaki? Tapi aku sudah menghabiskan waktu sekitar hampir 30 menit di depan cermin full body di kamar dan ya, aku tidak mendapati hal aneh sama sekali dengan kakiku. Jadi kurasa ada yang salah dengan cara kerja otaknya itu. Entah apa yang-"
"Orang yang kau jelekkan otaknya itu memiliki gelar pendidikan yang jauh lebih tinggi dari dirimu. Dia juga orang paling realistis dan idealis yang kukenal sejauh ini. Dan ya, jangan mencoba berdebat dengannya untuk hal apapun karena kau pasti yang akan kalah. Dan ya, soal perintahnya yang meminta kau memakai celana itu, anggap saja karena dia ingin merubah suasana kantor. Dan itu dimulai dari dirimu. Sudahlah. Jangan berpikir macam-macam. Kau membuat lelah dan stres dirimu sendiri jika begitu," ucap Vivian membuat Emily tersadar jika ya, dia terlalu meributkan hal kecil.
Padahal sebelumnya dia adalah orang yang bodo amat tapi, semenjak bertemu dan mengenal Giorgio dengan sifatnya yang suka mengejek dan merendahkan itu, Emily menjadi sedikit berubah karenanya.
"Ya sudahlah. Gara-gara kakak kita membicarakan tentangnya kan. Ayolah, bahkan di rumah aku aku harus mendengar seseorang membahas tentangnya lagi? Sudah cukup di kantor saja aku terlibat dengannya, tidak di rumah juga," ucap Emily yang tentu saja membuat Vivian merasa yakin jika memang benar apa kata adiknya tadi jika dia memang tidak terlibat dengan Giorgio sama sekali.
"Baiklah, setelah minum jusnya cepatlah tidur. Kau pasti lelah setelah seharian bekerja, 'kan? Aku akan menyiapkan pakaian untuk kau pakai besok ke kantor. Sekali lagi semangat bekerjanya adikku yang nakal," ucap Vivian menyemangati adiknya itu, membuat Emily menatap kakaknya itu merasa aneh.
"Jika tatapanmu sudah seperti ini padaku, kurasa itu berarti akan ada sesuatu yang besar yang ingin aku melakukannya untukmu, 'kan? Apa memangnya? Cepat bilanglah sekarang," ucap Emily terlihat memaksa kakaknya untuk mengaku dan,
"Tidak. Tidak ada apa-apa. Sudahlah akh mau pergi dulu. Keponakanmu ini juga ingin tidur," ucap Vivian sambil mengelus perut buncitnya di sana dan kemudian terlihat pergi begitu saja meninggalkan Emily sendiri yang masih di ruang makan.
'Aku akan bawa semua camilan ini ke kamar saja. Aku ingin makan sambil sekalian menonton tv. Kebetulan aku juga belum mengantuk,' batin Emily dalam hati.
Meski sedikit kesulitan membawa semua itu naik ke kamarnya, Emily dengan hati-hati tetap bersikeras ingin sampai di kamarnya bersama jus dan camilannya itu apapun yang terjadi.
"Kalian tunggu sini, ya. Aku akan ambil remote tv dan ponselku dulu," ucap Emily saat meletakkan camilannya di meja dan kemudian terlihat berjalan ke arah meja kecil di dekat ranjangnya untuk mengambil remote tv dan juga ponselnya yang terakhir dilihatnya di situ.
"Giorgio? Panggilan tak terjawab? 5 menit yang lau?" ucap Emily saat melihat notifikasi dalam ponselnya dan ya, dia tidak percaya saja Giorgio ingin mengganggu malamnya yang diharapkan akan tenang kali ini.
"Aku ingin menonton tv dan aku tidak mau siapapun menggangguku," ucap Emily kemudian memutuskan untuk tidak menelepon balik dan bersikap acuh saja pada panggilan tak terjawab dari Giorgio itu.
Lagipula jika dipikir-pikir lagi, Emily merasa Giorgio tidak memiliki hal penting untuk dibicarakan dengannya malam ini. Jadi pasti pria itu hanya ingin mengganggunya saja.
"Lihatlah, dia masih belum menyerah juga. Apa maunya sih?" ucap Emily kesal saat melihat notifikasi pesan masuk dan tentu saja dari siapa lagi kalau bukan dari Giorgio.
Dengan malas akhirnya Emily membuka pesan dari Giorgio itu dan dia kira pesan itu akan berisi tentang pekerjaan, tapi bukan. Ternyata isinya tentang...
"Dia menyuruhku menonton tv saluran 5. Tentang berita terkini," gumam Emily saat membaca pesan Giorgio itu dan karena penasaran, tanpa menunggu lagi Emily langsung menurut dengan menonton saluran 5 tentang berita dan ternyata,
"Bukankah itu Austin? Dia ditangkap polisi? Apa? Dia pengedar obat? Sungguh? Jadi selama ini mood nya yang berubah-ubah itu karena dia menggunakan obat terlarang? Oh tidak. Kuharap dia tidak pernah mencampurkan apapun makanan atau minumanku," ucap Emily terlihat menatap kasihan pada mantan kekasihnya yang terlihat tidak berdaya diborgol di dalam siaran berita itu.
Ya, meski mengingat apa yang sudah Austin lakukan padanya belum lama ini tapi, tetap saja pria itu pernah menjadi seseorang yang istimewa dalam hati Emily. Namun ya, tidak dipungkiri juga jika dia merasa bersyukur dengan penangkapan Austin itu karena, untuk beberapa tahun kedepan dia akan aman dari ancaman pria berbahaya itu. Apalagi dari pertemuan terakhir mereka, jelas sekali Austin mengatakan jika dia masih menyimpan dendam pada Emily dan berjanji akan membalasnya lain kali.
'Entah aku harus sedih atau bahagia mendengar kabar ini. Tapi yang jelas kurasa aku harus berterima kasih karena Giorgio memberiku informasi tentang ini. Baiklah. Ayo balas pesannya,' batin Emily dalam hati.
Baru saja Emily ingin membalas pesan Giorgio itu, tapi pria itu lebih dulu melakukan panggilan pada nomornya, membuat Emily langsung bersiap ingin mengangkat panggilan telepon itu tapi dia merasa sedikit ragu.
'Sudahlah. Angkat saja sebentar kemudian nanti kita beralasan mengantuk agar panggilan teleponnya tidak berlangsung lama,' batin Emily dalam hati.
"Ya, halo? Ada apa? Ini sudah malam dan-"
"Jadi kau masih bangun dan menerima pesanku, 'kan? Kenapa kau diam saja dan tidak membalasnya? Anak kecil saja bisa dengan lancar mengucapkan terima kasih. Apakah sesulit itu bagimu?"
"Jika kau meneleponku hanya untuk marah-marah saja, lebih baik matikan saja teleponnya. Jangan membuat moodku malam ini yang sudah baik menjadi rusak. Aku tadi sudah ingin mengirim pesan yang berisi ucapan terima kasih atas info yang kau beri tapi, kau saja yang terlalu cepat menelepon. Dasar tidak sabaran," ucap Emily kesal karena ya, entah mengapa jika dipikirkan lagi tidak pernah sekalipun Giorgio berbicara manis kepadanya untuk hal apapun. Pria itu selalu memerintah, menuduh, mengejek dan merendahkannya sesuka hati.
"Kau cuma beralasan saja, 'kan? Perlu kau tahu jika akulah yang menjebloskannya ke dalam penjara. Karena aku merasa tatapannya saat itu sungguh merendahkanku karena menganggap aku bukan siapa-siapa dan tidak akan bisa melakukan apa-apa, jadi aku membalasnya dengan memasukkannya ke dalam penjara. Bagaimana menurutmu? Bukankah aku hebat?"
Emily terligat memutar bola matanya malas mendengar ucapan Giorgio yang terdengar membanggakan dirinya sendiri itu tapi ya, perlu diakuinya jika memang pria itu boleh juga.
"Jadi kau menelepon juga memiliki misi pamer dan membanggakan diri kepadaku ya? Wow... aku sungguh terharu. Sudahlah aku mau tidur aku mengantuk," ucap Emily sengaja menyindir Giorgio di sana.
"Kau mau tidur? Secepat ini? Tidak bisa. Buka email yang baru saja kukirim, kau harus menyelesiakan itu dulu sebelum kau tidur karena aku membutuhkannya untuk rapat besok pagi-pagi sekali. Selamat bekerja,"
Emily membelalakkan matanya tak percaya dengan ucapan pria sebelum tadi akhirnya Giorgio memutuskan panggilan teleponnya sepihak.
Dengan cepat Emily langsung mengecek email dan ternyata benar saja, Giorgio memberinya pekerjaan di saat dia baru saja akan pergi tidur.
"KUHARAP TIDURMU TIDAK NYENYAK GIORGIO!!!"