Alarm di ponsel Barra kembali membangunkannya. Dengan seegra ia pun pergi mandi. Beribadah, setelah kepergian sang Mama ia begitu malas-malasan jika diminta untuk lebih dekat kepada Tuhan. Sebab dirinyaa yang selalu merasa jika semua itu hanyalah percuma. Dengan sang Mama yang tak pernah Tuhan datangkan di dalam mimpinya setelah ia lulus SD, ia menganggap jika Tuhan, telah menghukumnya. Karena memang berulang kali ia meminta akan hal itu, juga meminta agar Tuhan segera mengambil nyawanya, namun tak kunjung terkabulkan. Hingga kini ia rasa hanya akan percuma saja jika pun ia beribadah dan taat pada-Nya. Seperti dulu dikala sang Mama yang sellau saja mengajarkannya untuk tetap meminta kepada Rabb-Nya semata dikala mereka sedang dalam kondisi apapun itu.
Kini Barra baru saja selesai mengenakan seragamnya. Sengaja ia berlama-lama berada di kamarnya sebab ia tak ingin jika harus berada satu meja makan bersama dengan sang Papa. Rasa muak itu masih saja mendera dirinya, apalagi dikala nanti Papa akan membahas soal perkuliahan Barra yang memang sebentar lagi Barra akan tamat SMA. Berulang kali Papa meminta kepada Bi Tina, asisten rumah tangganya nya untuk memanggilkan Barra, namun berulang kali pula Barra menolaknya dengan sebuah alasan jika ia masih berada di dalam kamar mandi. Hingga kini waktu sarapan Papa telah habis dan dengan segera Papa melesat pergi. Barulah setelahnya kini, Barra segera keluar dari kamarnya dengan seringaian nakalnya. Sebab ia merasa tenang dengan tidak adanya keberadaan sang Papa disana.
Barra ambil sepotong roti panggang buatan Bi Tina dan mulai melahapnya. Lalu segera ia teguk setengah gelas susunya dan seera ia beranjak begitu saja dari meja makan. Seperti biasa, kembali Barra kendarai mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. bukan menuju ke sekolahnya tentunya. Tapi ke sebuah kafe langganannya. Sebelum memasuki kafe seperti biasa Barra menggati terlebih dahulu seragamnya dengan pakaian biasa, lalu ia kenakan pula sebuah sweater untuk menutupi kepalanya. Agar tak ada siswa-siswi atau pun guru sekolahnya yang mengetahui keberadaannya disana. Ya, walaupun Barra memiliki banyak teman di sekolahnya, ia selalu saja bolos sekolah sendirian sebab ia tak ingin di cap sebagai pembawa pengaruh buruk untuk mereka semua.
Seperti biasa, mulai Barra sesap ekspresso pesanannya seraya kembali ia gambarkan wajah mendiang Mama. Ya, selain melepas penatnya dengan bermain game, Barra pun memang hobi menggambar. Sebab memang cita-cita terpendamnya yang ingin menjadi seorang seniman. Namun apa daya dikala sang Papa yang terus saja memaksanya untuk menjadi penerus bisnisnya itu. Tapi meski begitu, Barra akan tetap menentangnya. Sebab ia memang sudah berjanji pada dirinya sendiri jika ia harus membuat Papa merasakan kesedihan juga kehancuran yang juga ia rasakan. Dan kini, setelah Barra menggambarkan wajah sang Mama, selalu saja terbayang di otaknya seperti apa indahnya kasih sayang dari sang Ibu yang memang selalu saja masih terasa nyata pada dirinya.
Kala itu di sebuah taman bermain. Usia Barra baru saja genap tujuh tahun. Barra yang memang hobi bermain kasti tengah asik bermain kasti bersama dengan sang Papa. Sedangkan Mama tengah menghampiri seorang penjual ice cream cone agar mereka dapat menikmatinya bersama setelah lelah bermain. Perisa stroberi untuk Mama, coklat untuk Papa dan Vanila untuknya. Ya, Barra memang penggemar rasa Vanila. Setelah membelinya, Mama panggil Barra dan Papanya untuk segera duduk dikursi taman itu di sampingnya. Mereka nikmati es krim itu bersama dengan penuh canda tawa. Bahka sesekali Papa dengan sengaja mengotori pipi Barra dengan es krim miliknya dan mereka saling balas satu sama lain. Sungguh membahagiakan juga ingin dapat Barra mengulangnya.
Kembali lagi ke hari ini. Airmata Barra selalu saja menitih diatas gambar buatannya. Karenanya, segera ia singkirkan gambar itu dari depannya dan segera ia simpan. Sebab ia tak ingin jika gambar itu ternoda dengan airmata kepedihannya itu. Dengan segera ia seka airmatanya itu seraya ia sesap ekspressonya hingga tak tersisa. Mengingat masa kecilnya memang hanya akan membuka sebuah luka yang berkesudahan. Namun memang hanya dengan mengingatnya ia mampu mengobati setiap rasa rindunya itu. Dan kini untuk melupakan setiap rasa penatnya, Barra mulai kembali memainkan gamenya. Entah sudah berapa gelas kopi yang ia pesan. Juga berapa piring camilan yang menemaninya. Yang jelas ia merasakan sebuah ketenangan dan dikala waktu pulang sekolah telah tiba, ia segera pergi dari sana.
Di dalam mobilnya, segera Barra kenakan seragamnya dan ia memilih untuk mengunjungi makam sang Mama dengan se bouquet bunga Lily yang telah di belinya. Ya, Barra memang selalu melakukan semua itu dikala ia sedang tak ingin ke sekolah. Dan hal yang paling membuatnya malas kesekolah ialah dikala ia harus meladeni mulut jahat Darren yang selalu saja menghina keluarganya. Walau sebenarnya ia tak pernah terkalahkan dalam segala hal oleh Darren. Termasuk soal perempuan. Karena sebenarnya, sudah cukup lama Darren menyukai Olivia, namun selalu saja Olivia terus mengejar-ngejar Barra, meski Barra tak pernah mengindahkannya. Dan itulah alasan utama Darren yang terus saja berusaha menjatuhkan Barra, dengan setiap hinaan jahatnya itu.
Kini baru saja Barra tiba di makan sang Mama. Ia letakan sebouquet bunga lily itu dengan senyuman manisnya. “Assalamu’alaikum, Ma. Barra, rindu sekali sama, Mama. Makanya sore ini, Barra, kembali datang. Mama, pasti sudah bahagia kan disana. Mama, sudah menemukan keabadian itu, sebuah keabadian yang gak pernah lagi membawa, Mama, kepada kesedihan. Berbeda jauh, Ma, dengan aku. Dengan aku yang saat ini masih saja berada didalam kesedihan itu.
“Tapi, Ma, entah mengapa aku tak pernah yakin jika nantinya kita akan kembali di pertemukan. Karena aku, sudah tak lagi menjadi seorang, Barra, yang baik. penurut, membangakan, sayang orangtua, juga taat akan agama. Barra, nakal, Ma. Barra, hancurkan hidup, Barra, sendiri. Karena, Barra, yang sudah terlalu muak dengan kehidupan ini. Karena, Barra, yang merasa jika tak ada lagi gunanya, Barra, menjadi anak yang seperti dulu. Kepada siapa, Barra, akan menunjukan kebaikan, Barra, Ma? Papa? Barra, rasa, Papa, gak pantas jika harus, Barra, perlakukan dengan baik. Karena, Papa, juga gak bisa memperlakukan, Mama, dengan baik. Hingga, Mama, pergi degan begitu meyedihkan,” ungkap Barra dengan airmata yang terus saja menganak sungai dikedua pipinya.
Kini waktu menunjukan pukul setengah enam sore. Adzan Magrib tengah berkumandang. Bebarengan dengan getar di ponsel Barra yang sejak tadi memang ia abaikan. Sebab memang sudah berulang kali, Papa menghubunginya. Namun memang tak ada niatan sekali pun Barra untuk menerima panggilan itu.
***
“Pelarian tak akan berujung kebahagiaan. Karena pelarian hanya akan membuatmu jauh dari ketenangan.” -Tulisannisa-
To be continue