2. Muak

1092 Words
Jam pelajaran terakhir baru saja usai. Selama jam pelajaran berlangsung sama sekali tak Barra serap ikmu yang di berikan oleh gurunya. Sebab ia yang sibuk bermain game di ponselnya secara diam-diam. Kini ia mulai berjalan dengan santai menuju parkiran mobil. Sebuah mobil sport porsche 718 miliknya kini sudah siap kembali ia naiki. Namun tanpa ia sadari, dikala kini sudah ia buka kuncinya tanpa permisi Olivia segera memasuki mobilnya dan duduk disamping dirinya. Yang karenanya kini emosi Barra kembali meningkat seketika. Bara tatap tajam Olivia yang kini tengah tersenyum begitu manis kepadanya. sebuah senyuman yang sungguh membuat Barra semakin merasa muak. “Ngapain lo disini! Lancang banget lo masuk mobil gue tanpa permisi!” maki Barra dengan nada tinggi. Yang karenanya Olivia cukup tersentak, namun ia masih berusaha untuk tersenyum. “Bar, lo kok emosian terus sih ke gue? Emangnya salah ya, kalau calon pacar lo minta lo anter pulang? Udah lah, Bar, terima aja takdirnya kalau kita ini memang ocock,” jawab Olivia dengan nada manja yang membuat Barra semakin ingin Olivia enyah dari sisinya. “Heh, harapan lo itu terlalu tinggi. Karena sampai kapanpun gue gak akan pernah jadiin lo orang yang penting dalam hidup gue! So, stop here your dream high and just go! Karena gue udah muak lihat muka lo!” maki Barra yang membuat Olivia cukup emosi kini. “Apa sih, Bar, kurangnya gue?! Gue cantik, popular disekolah ini, gue juga lumayan pintar dikelas. Mereka semua itu pada ngantri tahu gak kepengin jadi cowok gue! Tapi lo, kenapa lo sesombong ini? coba jelasin apa kurangnya gue dimata lo?” ucap Olivia penuh emosi. “Are you sure, you want to know it? Kurangnya lo itu, you is a childish girl yang gak punya attitude dan harga diri! Karena kalau sikap lo dewasa dan baik, gak mungkin lo bakalan ngemis cinta ke gue dan masuk mobil ini tanpa permisi! Lo keluar sekarang, atau gue bakal nyeret lo keluar dan mempermalukan lo di depan banyak orang!” jawab Leonard yang sungguh menyakiti hati Olivia. Namun tetap ia berusaha bersikap semanis mungkin dikala kini ia turuni mobil Barra. Setelah Olivia enyah dari sisinya, dengan segera ia tancap pedal gas mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia tak segera pulang kerumah, karena kini ia kembali menongkrong di kafe langganannya yang jaraknya tak jauh dari sekolahnya. Disana ia sudah berjanjian dengan para gammer lainnya untuk kembali main bersama. Ya seperti itulah cara Barra menghilangkan rasa penat di kepalanya. Dan selalu ia kembali pulang tepat pada pukul delapan malam. Sama persis dengan waktu kepergian sang Mama kembali pada-Nya. Ya, Barra adalah seorang piatu. Sang Mama meninggal karena penyakit yang dideritanya. Yakni, radang selaput otak atau disebut juga dengan istilah meningitis. Awalnya hubungan keluarga Barra begitu harmonis. Papa begitu menyayangi juga mencintai anak dan istrinya layaknya seorang Papa pada umumnya. Dan, Barra adalah seorang juara kelas kebanggaan keluarganya. Sejak awal Papa mendengar jika Mama sakit pun, Papa terus saja berusaha menegarkan, mendukung, juga tak pernah menjauh dari sisinya. Hingga lambat laun, penyakit itu semakin mengganas di tubuh Mama disebabkan Oleh sang Papa yang ketahuan beselingkuh dengan sekertarisnya sendiri. Papanya berselingkuh karena terus saja digoda oleh wanita itu. Hingga dikala, Saffira, istrinya meninggal dunia, sang Papa begitu menyesalinya dan hingga saat ini, Papa memilih untuk tetap sendiri.  Membesarkan Barra seorang diri. Awalnya, memang Papa berusaha keras untuk membesarkan Barra dengan baik sebagai seorang single father. Tapi karena kesibukannya di kantor, juga Barra yang tahu persis soal perselingkuhan itu, sikap penurut juga giat belajarnya itu perlahan . Rankingnya yang semula selalu berada di puncak, kini menurun nenjadi yang ketiga. Di tingkat SMP semakin menurun hingga sepuluh besar. Dan di tingkat SMA tak ada lagi peringkat yang ia dapatkan. Bisa naik kelas saja, sudah sebuah keuntungan. Setibanya di rumah, sudah ada sang Papa yang menunggunya di depan pintu utama. Barra yang begitu malas menatap wajah sang Papa kini memilih segera berlalu begitu saja melewati Papanya. Karena merasa tak terima, Papa cekal satu tangan Barra dan turut menatapnya tak kalah tajam. “Kamu gak lihat ada, Papamu, disini? Dimana sopan santun kamu, hah?! Gak ucap salam! Main mauk saja tanpa permisi! Tadi pihak sekolah telpon ke Papa katanya kamu berkelahi lagi! Mau kamu itu apa sih, Bar?! Mau jadi apa kamu?!” Omel Papa dengan tegas. Barra salami dengan takdzim punggung tangan Papa seraya ia tersenyum begitu manis padanya. “Assalamu’alaikum, Papaku sayang. Mau, Barra? Tolong segera kirimkan, Barra ke Mama. Papa udah gak usah pedulikan, Barra, lagi ya. Lebih baik, Papa, fokus urus bisnis Papa yang nilainya jauh lebih berharga dari keluarga ini, ya kan, Pa? Ehehehe...“ Jawaban Barra sungguh memancing emosi Papa. Namun berusaha keras Papa bersikap lebih tenang agar tak terpancing. “Barra, Papa ini sayang sama kamu, Bar! Kamu, satu-satunya harta yang paling berharga buat, Papa, Nak. jamu calon pewaris tunggal bisnis ini,” Ya, Barra, adalah seorang calon pewaris tunggal perusahaan milik orangtuanya. Papanya Erlangga Zavier adalah seorang pemilik hotel bintang lima di Jakarta. Hidupnya bergelimangan harta, apapun yang ia mau bisa ia dapatkan dalam waktu sekejap. Terkecuali sebuah rasa kasih sayang. Kini Barra tengah kembali tersenyum miring seraya ia tatap wajah Papanya kembali dengan tatapan tajamnya.  “Sayang? Papa, bilang sayang? Kalau, Papa, memang benar-benar sayang sama, Barra, Papa gak mungkin selingkuhin Mama di saat Mama sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. And ones again, hal yang harus, Papa, tahu. Kalau memang benar, Papa, menyayangi keluarga ini. Papa gak mungkin ambil, Mama, dari Barra dengan cara yang sekotor itu, Pa! Persis jam delapan malam. Seperti malam ini, Mama kembali kepada, Tuhan. “Dan setiap, Barra, memohon kepada, Tuhan, agar, Barra, segera dipertemukan dengan, Mama, selalu saja tak terkabulkan. Itu semua karena apa, Pa? Karena, Tuhan, juga turut menghukum, Barra, dengan membiarkan, Barra, tetap hidup bersama dengan seorang lelaki sejahat, Papa!” pungkas Barra penuh penekanan disetiap katanya. Dan kini dengan segera Barra berlalu begitu saja meninggalkan sang Papa. Sebab memang, setiap setelah Barra memakinya, tak dapat Barra sembunyikan airmata kepedihannya agar tak meleleh di kedua pipi mulusnya itu. “Barra, wait, Barra... Barra, Wait... Papa, minta maaf, Nak... sudah berulang kali, Papa, bilang jika semua itu berada di luar kendali, Papa... Papa, khilaf, Nak! Papa, digoda...” pekik Papa dengan lantang namun tak sedikit pun Barra mengindahkannya. Karena kini justru Barra segera memasuki kamarnya dan membanting pintu kamarnya dengan begitu keras. Sementara Barra yang kembali menangis frustrasi didalam kamarnya. Kini Papa pun tengah mengacak rambutnya frustrasi kembali meratapi setiap kesalahan terbesar dalam hidupnya. *** “Memaafkan memang bukan perihal mudah. Namun dengan maaf, hidupmu akan lebih penuh berkah.” -Tulisannisa- To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD