4. Goes To Tournament

3114 Words
Barra memilih untuk kembali memasukan ponselnya kedalam ranselnya. Karena memang ia tak ingin diganggu. Kini Barra rebahkan kepalanya diatas makam sang Mama. Tak peduli meski kini hari mulai petang. Barra selalu saja berharap jika saat ini sang Mama yang menjadi sandaran dirinya. Hingga kini airamatanya itu kembali menitih begitu saja membasahi kedua pipinya. Dan karena memang ia yang juga mulai merasa lelah, ia pun mulai tertidur disana. Mobil Barra yang masih terparkir disana membuat penjaga makam mulai curiga. Dengan segera seorang penjaga itu kini mulai mengelilingi makam mencoba untuk mencari keberadaan pemiliknya. Hingga dikala kini senter yang penjaga itu bawa mulai menyentrong wajah Barra. “Astaghfirullahhalladzim...” ucap lelaki setengah baya itu dengan keterkejutannya. “Pasti ini pemuda yang punya mobil itu. Dia ini sedang tertidur atau pingsan ya? Ah, sebaiknya segera kubangunkan saja lah,” lanjutnya lagi yang kini mulai berjongkok disamping Barra. Lelaki itu goyang-goyangkan tubuh Barra berulang kali hingga membuatnya mulai menggeliat. “Hey... Mas, bangun, Mas... dilarang tidur disini, Mas...” ucapnya yang masih saja menggoyang-goyangkan tubuh Barra. Karenanya kini Barra cukup terkejut dengan keberadaan si penjaga itu disana. Hingga kini ia terjingkat dan menjauh darinya. “Ya ampun, Pak! Bapak, ini mengagetkan saya saja,” ucap Barra seraya ia elus dadanya. “Ehehe, saya minta maaf, Mas. Tapi kenapa, Mas, tidur disini? Ini sudah malam lho, Mas. sebaiknya, Mas, segera pulag,” jawabnya tak enak hati. “Baik, Pak. Ini saya juga memang mau pulang, kok. Maaf karena saya merepotkan, Bapak. Ini makam, Mama, saya, Pak. Niatnya saya mau ziarah saja. Eh malah jadi ketiduran disini. sepertinya ini karena saya yang terlalu rindu sama, Mama,” jelas Barra seraya ia tersenyum. “Oh iya-iya, Mas, saya paham. Yasudah, ayo, Mas, mari saya antar ke parkiran,” ajaknya dan Barra pun mengangguk setuju. Kini mereka saling berbincang hingga di tiba parkiran. “Terima kasih banyak ya, Pak. Ini ada sedikit untuk, Bapak,” ucap Barra seraya ia tersenyum. “Wah, tidak usah, Mas. Terima kasih banyak. Lebih baik, Mas, simpan utuk biaya sekolah,” tolaknya dengan sopan. “Gak apa-apa, Pak. Saya cuma ingin beramal saja kok. Sekalian, saya mau, Bapak, itu selalu menjaga makam, Mama, saya dengan baik dan saya juga titip kirimkan Yaasin untuk, Mama,” ucapnya lagi seraya kembali ia berikan uang itu kepadanya. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya, Mas. Pasti akan saya jaga makam, Mamanya Mas, lebih baik lagi. Dan kalau saya kirim doa juga akan selalu saya sebut, almarhumah Mamanya, Mas. Semoga berkah, ya, Mas,” jawabnya dengan wajah yang sumringah. “Aaaaamiiin... sama-sama ya, Pak. Saya juga terima kasih banyak sama, Bapak. Karena Bapak juga sudah menjaga dan mengurus, Mama, dengan baik. Kalau begitu, saya permisi ya, Pak. Assalamu’alaikum,” salam Barra seraya hendak ia masuki mobilnya. “Wa’alaikumussalam, hati-hati, Mas,” jawab lelaki itu dan Barra menjawabnya dengan membunyikan klakson mobilnya. Yang kini kembali dengan kecepatan tinggi Barra kemudikan mobilnya. Sebab waktu di jam tangannya yang menunjukan pukul sembilan malam. Barra baru saja tiba dirumah. Selalu saja emosinya seakan-akan meletup-letup dikala sebentar lagi ia akan segera kembali bertemu dengan sang, Papa. Yang sudah pasti Papanya itu akan kembali memakinya karena ia yang ketahuan bolos sekolah hari ini. Hingga kini mulai ia pelankan langkah kakinya dengan harapan jika malam ini Papa sudah lebih dulu tertidur. Yang ternyata dugaannya itu salah besar. Karena seperti biasa Papa sudah menunggu kedatangannya di ruang tamu dengan ekspresi wajah penuh amarah. Yang karenanya, Barra pun turut memasang raut wajah yang sama. Sebab memang ia paling tak suka ditatap seperti itu oleh siapapun juga. Dan karena rasa kesalnya itu, sama sekali tak Barra alihkan pandangannya kearah sang Papa. Kini ia hendak berlalu begitu saja melewati Papanya tanpa salam. Namun lebih dulu Papa mencekal satu tangannya. Dengan kasar Barra berusaha melepaskan genggaman sang Papa namun tenaganya itu tak sebanding dengan cengkraman papanya yang memang begitu keras. “Lepasin, aku! Papa, ini mau apa sih, Pa, sebenarnya!” makinya dengan lantang. Membuat Papa menggeleng dengan senyuman getirnya. Yang karenanya kini Barra semakin geram melihat ekspresi sang Papa. “Ini sudah lewat jam delapan malam! Papa, juga dapat laporan jika hari ini kamu tidak pergi kesekolah! Papa, lelah Nak! Papa sudah berusaha untuk meminta maaf sama kamu soal kepergian, Mama, tapi sama sekali kamu tidak peduli! Mau kamu apa? Papa harus bagaimana lagi sekarang?!” tanya Papa yang terlihat begitu jelas jika ada sebuah kefrustrasian dimatanya. “Mauku, Pa! Lebih baik, Papa, lupakan saja semua cita-cita, Papa, yang menginginkan aku untuk menjadi pewaris tunggal semua harta yang, Papa, punya! Karena, Barra, sama sekali gak minat! Gak ada gunanya, Barra, jadi anak yang berhasil, Pa! semua cita-cita, harapan dan mimpi, Barra. Semua itu udah mati! Mati bersamaan dengan kepergian, Mama!” jelasnya seraya ia lepaskan genggaman tangan sang Papa dengan kasar. Seraya kini dengan segera ia pergi begitu saja meninggalkan sang Papa dengan langkah penuh amarah. Mendengar pengakuan Barra tentunya sang Papa semakin merasa frustrasi. Semakin merasa bersalah juga tak dapat menerima semuanya jika memang ia sudah tak lagi memiliki cara untuk bisa memperbaiki arah hidup Barra. Karena saat ini, hanya Barra lah satu-satunya harapannya. Hanya Barra pula yang baginya dapat menebus setiap kesalahannya kepada mendiang istrinya. ”Saat, Mamamu, masih kritis, Papa, sempat berjanji tepat dihadapannya untuk bisa menjagamu dengan baik, Nak. Papa juga berjanji jika, Papa, tak akan membiarkanmu tumbuh menjadi seorang anak yang kurang kasih sayang. Papa, minta maaf karena beberapa tahun belakangan Papa mebgabaikan kamu karena pekerjaan, Papa. Semua ini, Papa, lakukan bukan demi uang semata, Nak. tapi karena, Papa, tak ingin bangkrut dan membuatmu sengsara,” ungkap Papa dengan isak tangisnya yang tertahan. Hanya airmata kepedihannya yang kini menggambarkan kesedihannya. Dikamarnya, Barra lemparkan tasnya kesembarang arah. Ia segera memasuki kamar mandi dan ia basahi tubuhnya dibawah derasnya air shower. Rasanya terlalu menyedihkan dengan terus saja ia bermusuhan dengan orangtuanya sendiri. Namun memaafkannya, bagi Barra juga bukan sebuah solusi. Sebab hal itu adalah sebuah hal yang cukup menyulitkan bagi dirinya. Barra tahu betul jika semenjak Barra masuk SMA Papanya selalu saja berusaha melakukan semua yang terbaik untuk Barra. Namun karena Barra yang sudah terlalu muak dan tetap tak dapat terima atas kehilangannya maka kini ia putuskan untuk tetap pada pendiriannya. Menjadi seorang Barra yang keras kepala, penuh kebencian dan rasa dendam. Airmatanya terus saja mengalir deras sederas air shower yang mengguyurnya. Hingga dikala ia rasa keadaannya sudah membaik dengan segera ia kembali ke kamarnya. Setelah mengenakan pakaiannya dengan segera Barra pergi tidur. *** Adzan subuh yang berkumandang selalu saja membuat Barra terbangun dari tidurnya. Teringat dikala ia diajak salat berjamaah bersama dengan kedua orangtuanya. Namun kini semua ingatan itu justru semakin membuatnya merasa tersiksa. Yang karenanya, kembali Barra lebih memilih untuk memejamkan matanya dan meninggalkan kewajibannya. Walau tak jarang ia juga mendengar suara ketukan pintu dari sang Papa yang juga berusaha membangunkannya. Hingga kini kembali silaunya mentari pagi menyelinap setiap ventilasinya. Membuatnya matanya terganggu dan segera ia pergi mandi. Karena waktu sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Hanya setengah jam yang ia punya, hingga kini tanpa sedikitpun menyentuh sarapannya ia segera pergi kesekolah. Sebab memang ia yang tak ingin bolos. Hari ini adalah waktunya bertanding Basket. Ya, ia adalah seorang kapten, dan disekolah ia menjadi kebanggaan pada cabang olahraga itu karena memang tak jarang ia mampu membawa sekolahnya juara. Hal ini pula yang membuat ia begitu digilai para wanita namun semakin teramat dibenci oleh Darren. Seorang Darren yang tak dipilih menjadi kapten karena memang kemampuan bermainnya yang masih dibawah Barra. Barra baru saja tiba disekolah. Seperti biasa sudah ada beberapa wanita yang menunggunya di parkiran mobil, untuk meminjamkan buku catatan padanya juga menawarkan diri agar dikerjakan PRnya. Namun selalu, Barra menanggapinya dengan begitu dingin juga angkuh seakan-akan memang ia yang tak pernah perlu dengan mereka semua. “Bar, catetan gue jauh lebih rapi kok dari mereka semua,” tawar Liana. Siswi kelas lain. “Tulisan, Liana, sih emang bagus, Bar. But, lo tahu kan kalau dia itu lolanya sampe ketulang. Dan pasti catatan dia itu gak lengkap. So, you can choose my book,” imbuh Tissa. Teman sekelasnya. “Stooooop! Udah deh kalian semua gak usah sok-sokan berjuang minta dipilih sama Barra. Karena udah jelas, Barra gak akan milih kalian semua. Nih, Bar. Semua pelajaran yang kemarin lo ketinggalan juga lengkap. So, jadi kan kita nonton sore in i?” tawar Olivia dengan percaya dirinya. Barra hanya menanggapi mereka dengan tersenyum miring. Dan justru kini ia ambil buku milik Ranti. Yakni seorang wanita yang berpenampilan paling culun dan belum mengatakan hal sepatah katapapun. “Nanti sore gue transfer ke lo ya, bayarannya,” ucapnya dengan pongahnya. Sebab memang hari ini Papanya baru saja menransfer uang bulanannya juga ia yang sedang tak ingin pergi dengan siapapun itu. Berbeda dengan yang lain, Ranti yang memang siswi kurang mampu memilih untuk menjual hasil belajarnya kepada Barra. “Iya, Barra. Terima kasih banyak,” jawabnya seraya tersenyum tipis. Setelah Barra menjawabnya dengan anggukan juga senyuman, keduanya pun saling pergi. Hal ini membuat para wanita yang sejak tadi menunggunya ternganga sekaligus kecewa dengan pilihan Barra. Meski ini bukan untuk yang pertama kalinya Ranti dipilih oleh Barra. Namun meski begitu, Olivia tak berani melawan Ranti, karena Ranti adalah seorang putri dari supir pribadinya. Yang sudah ia anggap sebagai saudara. Dengan langkah tergesa Olivia menyusul Ranti. “Ran, wait...” pekiknya dan dengan segera Ranti menghentikan langkahnya. “Kan udah gue bilang ke lo! Kalau lo lagi butuh cuan, lo gak usah jual catatan lo itu ke, Barra. Kenapa lo gak minta sama gue aja sih tadi! Lo tahu kan, seberapa cintanya gue sama dia!” lanjutnya dengan tatapan penuh kekesalan. “Maaf, Liv. Gue udah terlalu sering pakai uang lo. Apalagi, Bapak. Jadi, gue gak mau jika semakin banyak lagi gue ngerepotin lo. Sekali lagi, gue minta maaf, Liv,” jawab Ranti dengan kepala yang menunduk. Tanpa berani ia tatap wajah Olivia. “My God! Kan gue juga udah bilang kalau lo gak perlu ngerasa gak enak sama gue! Karena uang itu gak akan berarti dibanding, Barra!” omelnya lagi seraya kini ia rengkuh kedua bahu Ranti. “Lo tuh cantik, pinter, dan berprestasi juga, Liv. Gue yakin kok, kalau lo bisa mendapatkan lelaki yang lebih dari, Barra. Jangan lo kejar seorang lelaki yang gak punya cinta seperti dia, Liv,” jawab Ranti lagi masih dengan kepala yang menunduk. Yang hal ini membuat Olivia merasa kesal. “Lo, udah gak bantu gue, terus sekarang malah lo sok-sokan nasihatin gue! Gak asik banget sih lo! Dasar cupu!” omel Olivia lagi seraya kini ia berlalu begitu saja. Sedangkan Barra. Kini ia baru saja menduduki kursinya. Disana sudah ada seorang siswi wanita yang paling berbeda dengan yang lain. Yakni satu-satunya wanita yang tak pernah mengajak, Barra, bicara. Juga menggilainya seperti para wanita itu. Clemira Chafiya namanya. Yang mereka semua biasa memanggilnya Fiya. Hal ini tentunya cukup membuat Barra merasa aneh, namun memang karena ia yang tak memedulikan hal itu dan ia anggap hal itu tak penting. Maka ia memilih untuk tak mencari tahu. Tak lama setelahnya, disusul dengan kedatangan Olivia. Yang tanpa permisi kini Olivia mengambil posisi duduk disamping Barra. Tentunya Barra merasa begitu risih juga kesal, namun ia memilih untuk tak mengindahkannya dan segera ia kenakan earphone yang selalu ia bawa. Sengaja Barra melakukan hal itu agar ia ta akan mendengar setiap perkataan Olivia. ’Sukurin lo! Udah berapa kali gue bilang gak usah deket-deket sama gue masih aja lo ngeyel!’ umpatnya dalam hati. Dan kini Olivia sedang bersungut kesal. “Oh God! Keterlaluan banget sih! Sengaja banget gitu dia langsung pakai earphonenya waktu gue duduk disini!” umpat Olivia seraya kini dengan segera ia bangkit dari posisi duduknya. Peljaran mulai berlangsung. Pelajaran pertama adalah biologi. Barra yang memang tak niat untuk belajar kini sibuk melukiskan wajah sang Ibu di buku sketsa yang selalu ia bawa. Dan dikala guru yang menerangkan pelajaran itu mendekat kearahnya dengan segera ia sembunyikan buku gambarannya. Dan kembali berpura-pura ia terfokus dengan pelajaran yang tengah berlangsung. Selalu saja kucing-kucingan seperti itu ketika ia sedang berada di kelas. Hingga saat guru itu mulai curiga padanya, kini segera ia berikan sebuah pertanyaan kepada Barra. “Barra. Jawab pertanyaan saya. Nama ilmiah tomat adalah solanum licopersicum. Sedangkan kentang adalah solanum tuberosum. Kedua tanaman ini memiliki perbedaan dan persamaan. Coba kamu sebutkan sekarang, karena jika kamu mendengar penjelasan saya, sudah pasti kamu bisa menjawabnya dengan jawaban yang tepat,” titah Bu Zia. Barra yang memiliki sebuah keyakinan pun kini mengangguk yakin seraya ia tersenyum. “Kedua tanaman itu, memiliki sebuah genus yang sama, namun spesies yang berbeda,” jawabnya pongah. Karena memang meski ia tak memerhatikannya telinganya itu tetap mendengar. Dan Barra adalah seorang anak yang pengingat. Dan jika dikala ia sedang dalam keadaan emosi, tak akan pernah ia bisa mendengar atau pun melihat apa yang orang lain lakukan. “Ya, benar. Kedua tanaman itu memang sama genus, beda spesis. Jadi, ....” kembali Bu Zia melanjutkan setiap penjelasannya dan kini Barra yang sudah merasa aman, kembali melanjutkan gambarannya. Tanpa ia ketahui jika sejak tadi, Fiya tengah memerhatikannya diam-diam. Pelajaran baru saja usai. Berlanjut ke pelajaran kedua sebelum jam istirahat dan ia akan tanding basket. Namun karena memang Barra yang kembali merasa penat, kini dengan segera ia izin pergi ke toilet. Tanpa ada yang tahu, di toilet ia kembali bermain game online. Yang baginya, dengan bermain dapat mengurangi rasa penatnya juga dapat melampiaskan semua emosi, amarah, dan kekecewaannya disana. Dan dikala ia sudah berhasil memenangkan permainan, maka kini dengan segera ia kembali kekelas agar tak terlalu di curigai dengan guru juga para temannya. “Woi... abis ngapain lo? Lama amat kencing doang,” tanya Bayu. Salah satu teman dekatnya. “Jangan-jangan nih manusia habis buang oli lagi,” imbuh Bima, temannya yang lain. Seraya kini ketiganya tengah menahan tawa mereka. “Gue, bukan kalian ya. Gue gak minat ngelampiasin semua masalah gue dengan hal-hal m***m yang gak guna. Karena ada hal lain yang jauh lebih seru,” jawabnya dengan satu alis yang menaik. “Iya dah iya... putra mahkota mah beda, Bim. Tapi kita juga mending ngopi dah sambil ngegame. Siapa tahu naik rank,” ucap Bayu lagi seraya ia rangkul bahu Barra. “Nah itu lo, tai...” jawab Barra lagi setengah berbisik. Yang karenanya kini kembali ketiganya berusaha untuk menahan tawa mereka. Karena pelajaran kali ini adalah pelajaran kimia yang guru pelajaran ini termasuk salah satu guru yang paling tegas disekolahnya. Waktu terus berlalu hingga kini tiba saatnya pertandingan hendak dimulai. Dengan bersemangat Barra mengganti seragamnya. Dan seperti biasa, dengan langkah penuh rasa percaya diri bersama Bayu dan Bima, Barra memasuki lapangan. Begitu pula dengan Darren yang juga memasukinya bersama Dino dan Dody. Saat ini mereka memang berada didalam satu tim dikala melawan tim basket sekolah lain, namun disaat kini mereka hendak memerebutkan posisi teratas, maka mereka bagai seorang musuh satu sama lain. Darren yang beitu obsesi ingin merebut posisi Barra. Dan Barra yang selalu saja menanggapinya dnegan santai sebab ia yang selalu yakin jika tanpa harus bersusah-susah ia akan bisa memenangkannya. Olivia pun sudah bersiap bersama dengan teamnya untuk segera tampil. Dengan begitu percaya dirinya ia memasuki lapangan sebagai seorang ketua cheerleaders. Mereka semua tampil dengan begitu memukau juga cukup menyita banyak pasang mata. Sebab memang mereka adalah para wanita yang cantik nun anggun. Meski begitu, sama sekali Barra tak tertarik untuk memerhatikannya, sebab memang yang ia pikirkan saat ini, hanyalah juara dan juara. Ia hanya ingin segera mendapatkan gelar terbaik agar sekolah tetap mempertahankannya disana. Dengan begitu, ia tak perlu khawatir meskipun ia akan kembali membolos. Seusai para cheerleaders itu tampil bergantian para pemain mulai bersiap di lapangan. Kini Barra dan Darren tengah saling berhadapan satu sama lain dengan tatapan tajam mereka. “Gue yakin, lo gak akan bisa lawan gue kali ini. Kemarin lo bolos karena lo kangen sama nyokap lo, kan? Kenapa lo gak sekalian aja nyusul ke surga? Oh, atau gak berani ya karena lo takut berakhir di neraka?” ucapnya dengan pongahnya. Dan saat ini Barra tahu betul jika kini Darren tengah berusaha untuk membuat Barra emosi agar tak dapat fokus untuk menjalani permainannya. Hingga kini Barra tersenyum miring dengan kedua tangan yang bersidekap. “Terserah lo aja lo mau bicara apa. Gue gak peduli! And now, mending kita buktiin aja. Siapa yang pecundang, siapa yang pemenang!” jawabnya dengan begitu pongahnya. Hingga Darren merasa kalah telah dan kini beralih justru drinya yang tengah menahan amarahnya yang tengah berapi-api. Pertandingan mulai berlangsung, Barra yang memang tak ingin jika sampai ia kalah pun kini hanya ia fokuskan dirinya pada pertandingan. Tak terlalu memerhatikan Darren yang masih saja berusaha untuk mengejeknya. Seperti biasa ia bermain dengan santai namun tetap serius. Tak terlalu ambisi juga penuh emosi. Hingga poin demi poin bisa Barra dapatkan dengan mudah. Dan setiap poin yang ia dapatkan selalu saja terdengar sorak sorai dukungan dari para pendukungnya. Yang didominasi dengan para wanita tentunya. Teriakan Olivia yang begitu keras membuat Darren semakin merasa kesal tentunya. Yang ia inginkan Olivia berhenti mengejar Barra dan jatuh kepelukannya. Namun nyatanya, Olivia begitu terobsesi pada Barra dan terus saja berusaha untuk mendapatkannya. Yang hal ini membuat Darren semakin ingin menghancurkan Barra. Bermain dengan emosi tentunya semakin membuat Barra mudah memenangkan pertandingan. Tim Barra yang akan mendominasi melawan tim sekolah lain besok siang. Namun tetap Darren ikut berpatisipasi dalam pertandingan, namun bukan sebagai pemain inti melainkan sebagai pemain cadangan. Hingga kini ia semakin menyimpan dendam dan merasa tak terima dengan setiap keputusan yang telah dibuat oleh pelatih. Barra bersama dengan timnya sudah kembali ke ruang ganti, namun Darren masih berusaha untuk memrotes dan mendapatkan posisinya sebagai peranan penting dalam turnamen nanti. “Pak Rio, gak bisa gitu dong. Ya Okkay tim saya memang kalah, tapi kan seharusnya saya masih ikutan tim inti seperti turnamen sebelumnya. Kenapa Pak Rio sealu saja lebih mengedepankan Barra dibanding saya. Padahal kan kualitas kami gak jauh beda, Pak. Bahkan saya juga sering unggul,” protes Darren dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Dar, seharusnya kamu sadar dimana letak kesalahan kamu siang ini. Kamu pikir saya hanya diam tanpa memerhatikan permainan kalian dipinggir lapangan? Saya tahu betul kamu memang memiliki kualitas yang cukup baik dalam bermain. Tapi disini, kamu jauh lebih mengedepankan emosi kamu, bukan kualitas permainan kamu. Saya tahu kalian memang gak akur, tapi disini Barra yang jauh lebih bisa mengendalikan emosinya,” jawab Pak Rio yang justru semakin membuat Darren sakit hati ketika kini Barra terus saja dipuji-puji. “Pak, kenapa, Bapak, malah jadi menyudutkan saya sih? Saya sudah berusaha bermain sehat, kok. justru memang Barra yang masih berusaha memancing emosi saya. Tolong lah, Pak, beri saya kesempatan, Saya yakin saya bisa bermain dengan baik dalam tim inti nanti,” Darren masih saja berusaha meyakinkan pelatihnya. *** “Jangan memaksakan jika memang kau tak mampu menaklukan. Karena sesuatu yang terpaksa akan membuatmu tersiksa.” -Tulisannisa- To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD