Kini bergantian kedua mata Papa yang mulai berkaca. “Maaf ya, Nak. Papa, yang sudah buat kita kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidup kita,” ucapnya yang terdengar begitu sendu. “Pa! Papa, jangan berpikiran begitu lagi ya, Pa. Karena, Barra, gak mau kita sedih-sedih lagi. Bukan, Papa, yang membuat semua ini terjadi. Tapi memang takdir, Pa. Karena memang, Allah, yang terlalu sayang sama, Mama. Kepengin, Mama, segera mendekat kepada-Nya. Karena memang, Mama, adalah nalaikat kita. Yaudah yok, Pa, kita masuk aja. Karena maksud kedatangan Barra kesini itu kepengin belajar, bukan melow-melowan sama, Papa,” ajaknya seraya kini ia genggam satu tangan sang Papa untuk segera memasuki ruangannya. Papa pun menyetujuinya. Bahkan saat ini, Papa seakan kembali menemukan sesosok Barra yang