5. Jadi hanya mimpi?

1091 Words
Happy reading dears * Untung suasana rumah masih sepi, dan yang lebih utama, untung ibunya juga belum pulang, membuat Ela di depan pintu warna coklet menghembuskan nafasnya lega. Tangannya yang mungil dan lentik terlihat menyeka keringatnya juga. Keringat takut dan dingin yang keluar sepanjang Ela berjalan dengan tertatih dari kamar Tuan Malik yang ada di lantai dua hingga di kamarnya dan ibunya yang ada tepat di belakang dapur di lantai 1. Dan Ela dengan tangan gemetar, kedua lutut yang gemetar juga, membuka dengan perlahan pintu coklet yang ada di depannya. Dan di saat pintu di depannya sudah terbuka, Ela menghembuskan nafasnya lega. Dan Ela tidak sanggup lagi, perlahan tapi pasti, tubuh mungil Ela sudah jatuh meluruh di atas lantai. "Sakit... sakit punya Ela ibu. Sakit... Ela nggak kuat lagi..."Ucap Ela dengan wajah pahitnya. Tangannya sudah ada di depan perutnya, memeluk, meremas, dan menekan perutnya juga yang tak kalah sakit dan kram seperti itunya di bawah sana. Itunya yang rasanya ingin copot dari tubuh Ela. Tubuh Ela yang saat ini dengan menyedihkan, karena tidak sanggup menahan rasa sakit di pusat intimnya apabila ia berjalan, Ela merangkak saat ini untuk menuju kamar mandi. Ya, kamar mandi yang ingin Ela tuju untuk pertama kali. Ela rasanya ingin mati, Ela ingin menyiram itunya yang terasa lengket juga di bawah sana. Ela juga ingin gosok gigi, Ela... Ela rasanya mau muntah di saat ingatannya melayang di saat Tuan Malik cium bibir dan mulutnya, bahkan Tuan Malik menggigit lidahnya juga, dan yang lebih membuat Ela jijik, air ludah Tuan Malik masuk ke dalam mulutnya, begitupun dengan air ludahnya yang masuk ke dalam mulut Tuan Malik. Ela jijik. Lehernya juga terasa lengket oleh air ludah Tuan Malik juga. Tuan Malik yang menggigit bahkan menghisap lehernya juga tadi. Tapi, baru sekitar semeter Ela merangkak, rangkakkan Ela terhenti di saat Ela mengingat... Ela... Ela dengan cerobohnya tidak mengunci bahkan menutup pintu kamarnya di depan sana, dan entah kekuatan dari mana, Ela sudah bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju pintu. Menutup rapat pintu cokelat itu, lalu menguncinya. Dan wajah Ela terlihat mengernyit, sial! Di saat Ela takut karena ia lupa menutup dan kunci pintu beberapa detik yang lalu, pusat intimnya tidak sakit lagi, tapi saat ini, pusat intimnya terasa sakit lagi saat ini, malah berkali-kali lipat rasa sakit dan perihnya. "Apakah... apakah milikku terluka? Atau milikku robek di bawah sana?"Ucap Ela panik dan takut. Dan Ela dalam sekejap sudah berjalan menuju lemari pakaian 2 pintu. Satu pintu untuk pakaian ibunya, dan satu pintu untuk pakaian dirinya. Ela... Ela mencari obat merah di dalam laci, dan Ela tersenyum lega, obat merah sudah ada di tangan Ela... Ela akan menetesi itunya di saat mandi nanti dengan obat mereh. Dan dengan langkah tak sabar, Ela kembali berjalan menuju kamar mandi. Tapi, sekali lagi, baru sekitar 3 langkah Ela melangkah, langkah Ela terhenti di saat Ela ingat... "Celana dalamku bisa kotor dan berwarna merah kalau pake obat merah..."Bisik Ela pelan. Wajah sedikit semangatnya dalam sekejap sudah kembali mendung dan meredup saat ini. Dan Ela dengan lemas, melempar obat merah itu di atas ranjang tempat tidur dirinya dan ibunya. Dan Ela dengan kedua mata yang berkaca-kaca, terlihat meneliti dan menjelajah kamar kecil ini untuk mencari sesuatu yang akan Ela jadikan obat untuk mengobati pusat intimnya di bawah sana. Tapi, sayang. Ela tidak menemukan apa-apa. Dan setetes, dua tetes bahkan 3 tetes air mata dengan buliran besar sudah jatuh membasahi kedua pipi Ela saat ini. Ela yang saat ini, sangat menyesali. Kenapa... Kenapa ia tidak pintar? Kenapa ia tidak sekolah dan hanya sekolah sampai kelas 6 SD dulu. Kenapa ia harus keluar di saat ia baru duduk di SMP kelas 1. Kenapa ibu dulu mengeluarkan ia dari sekolah? Kenapa ia harus jadi anak yang bodoh dan takut? Kenapa ia juga menjadi orang yang sangat lemah dan payah? Kenapa? Dan apa alasan ibunya dulu, mengeluarkan ia dari sekolah? Apa? Apa alasannya? "Ibu..."Bisik Ela takut. Takut, Ela sudah membuang waktu sedari tadi, pasti ibunya sudah pulang dari pasar. Tidak! Ibunya tidak boleh tahu kalau ia tadi berada dalam jarak yang dekat dengan Tuan Malik. Ibunya juga tidak boleh tahu kalau Tuan Malik juga bahkan sudah perkosa dirinya. Ela nggak mau ibunya mati. Dan oleh karena itu, Ela harus segera mandi, dan bahkan untuk menuju kamar mandi, Ela berlari agar lebih cepat. Tapi, sekali lagi, larian kecil Ela harus terhenti, di saat Ela merasa ada... ada yang mengalir dari pusat intimnya, lalu membasahi pahanya, dan merembes deras hingga di bawah kedua tumitnya di bawah sana. Pandangan Ela juga dalam sekejap terasa berkunang-kunang, Ela ingin pingsan. Tapi, Ela tahan sebisa mungkin. Dan dengan gerakan kaku, lemah, Ela menatap kearah kedua kakinya. Dan ela terlonjak kaget, melihat darah merah segar lah yang merembes mengotori kedua kakinya di bawah sana. Dan yang terbayang di pikiran Ela, adalah ucapan Mbak Afni yang pernah Mbak Afni ucap 2 tahun yang lalu di saat Mbak Afni hamil ... kalau apa yang terjadi pada dirinya saat ini... "Tidaaaaaaaakkkk.... Aku... Aku bukan pembunuh. Aku... Aku nggak bunuh anakku. Aku...." Plak Ucapan Ela terhenti di saat ada seseorang yang menampar agak kuat dan kasar pipinya. Membuat kedua mata Ela yang hampir tertutup karena pingsan, kembali terbuka dengan sangat lebar. "Syukur lah kamu sudah terbangun, Ela." dan Ela dengan reflek menatap keasal suara. "Mbak Afni?"Ucap Ela linglung mendapat anggukan dari seorang perempuan yang Ela panggil Mbak Afni barusan. "Ya, Mbak cari kamu kemana-mana, ternyata kamu ada di sini, ada di taman ini, kamu tertidur di ayunan? Dan lihat lah, bajumu sudah kotor, artinya kamu terjatuh di ayunan, dan kamu mengalami mimpi buruk. Sejak 5 menit yang lalu, Mbak berusaha membangunkanmu, tapi kamu nggak bangun-bangun. Maaf, lalu Mbak tampar pipi kamu, kamu terbangun, kamu bahkan menangis dalam mimpimu. Apa yang kamu mimpikan tadi, Ela?"Ucap mbak Afni pelan membuat kepala Ela terasa sangat sakit mendengarnya. Ela yang saat ini, terlihat menatap kearah kedua kakinya. Kakinya bersih. Tidak ada darah merah segar. Kedua kakinya hanya terkotor oleh noda tanah. Kedua kakinya yang tidak memakai rok panjang setumit, tapi rok balon yang Ela pakai saat ini hanya sepanjang di bawah lutut. Ela juga, menatap pakaiannya. Pakaiannya warna hitam, bukan warna merah seperti yang ada dalam mimpinya. "Jadi... jadi... aku hanya mimpi? Hanya mimpi buruk semuanya sedari tadi?"Ucap Ela dengan nada suara yang sangat gemetar. Dan dalam sekejap, Ela melakukan sujud syukur di depan Mbak Afni yang merupakan salah satu pembantu yang sudah kerja hampir 10 tahun juga di rumah keluarga Aerifin ini sama seperti Ela dan juga ibunya. Sekali lagi, Ela senang. Semua perlakuan jahat Tuan Malik nggak nyata. Hanya mimpi buruknya saja tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD