Terpaksa Maudy berlari ke kantor dengan tergesa. Karena ada pesan dari Dokter Ana. Ia sampai lupa dengan kewajibannya sebagai sekertarisnya Romeo.
Tangan lentik itu menekan tombol, begitu ia sampai di depan lift. Wajahnya panik dan menatap jam tangan yang melingkar di lengan manis itu. Jam tangan mahal yang lagi lagi pemberian dari Romeo. Dan ia semakin menegang ketika melihat siapa yang ada di dalam lift tersebut. Dia Romeo dan kekasihnya.
"Apakah kamu Maudy?" tanya Kleo dengan senyum yang ramah. Di samping Kleo, Romeo, dengan keanggunan yang sama mengintimidasi seperti biasa, melingkarkan lengannya di pinggang Kleo.
"I-iya, nona Kleo. Senang bertemu dengan Anda," ucap Maudy dengan suaranya yang nyaris bergetar.
Kleo menatap Maudy dengan penuh kekaguman, seolah sedang menilai seorang karya seni yang indah. "Kamu cantik sekali," puji Kleo dengan tulus, matanya berkilauan penuh ketulusan.
Romeo berdeham, suaranya terdengar parau, seakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. “Ada apa? Apa kamu sedang batuk?” tanya Kleo sambil menatap Romeo dengan tatapan penuh perhatian.
"Tidak, sayang..." jawab Romeo, suaranya terdengar lembut, namun matanya menyipit sedikit, melirik Maudy dengan pandangan yang dalam.
"Maudy, masuk saja," ajak Kleo, suaranya terdengar manis namun penuh otoritas.
Namun, Romeo segera membantah, "Tidak, sayang. Aku hanya ingin ada kita berdua saja di dalam lift ini!" Ucapannya tajam, seperti pisau yang menusuk langsung ke hati Maudy.
"Ayolah, Romeo. Dia akan terlambat nantinya," Kleo mencoba membujuk.
Romeo hanya tersenyum sinis, “Dia terlambat karena salahnya sendiri. Kenapa aku harus menolongnya?”
Kata-kata itu membuat Kleo terdiam, kehilangan kata-kata untuk menanggapi kekasihnya. "Kamu ini...," gumamnya, sebelum berbalik ke Maudy, "Maafkan aku, Maudy. Kamu mungkin harus menunggu lift yang lain."
Maudy mengangguk, menyembunyikan perasaannya yang bergejolak di balik senyum kecilnya. "Tidak apa-apa, nona. Terima kasih," jawabnya, suaranya tenang meski hatinya terasa bergetar.
Dengan gerakan perlahan, Maudy menekan tombol di luar lift, mengirim pintu tertutup di hadapannya. Tapi sebelum pintu benar-benar tertutup, tatapan Romeo dan Maudy bertemu, dalam hening yang penuh makna.
___________________
Maudy melangkah cepat di koridor, berusaha mencari lift lain yang bisa mengantarnya ke lantai tempat ia bekerja. Namun, pagi itu benar-benar sibuk, dan setiap lift tampaknya sudah penuh sesak. Dengan nafas sedikit terengah, Maudy memutuskan untuk menggunakan tangga darurat. .
Langkah kakinya terdengar menggema di tangga yang sepi, menyatu dengan detak jantungnya yang masih berdetak cepat karena pertemuan sebelumnya. Saat tiba di lantai berikutnya, dia merasa beruntung ketika melihat pintu lift yang terbuka. Namun, harapan yang baru saja tumbuh dalam hatinya kembali diiringi oleh ketidakpastian saat dia melihat sosok lelaki di dalam lift. Sosok yang ternyata adalah Gavin Syadiran, adik Romeo.
"Apa saya boleh masuk?" tanya Maudy dengan suara lembut.
"Tentu saja, Maudy. Masuklah," ujarnya dengan nada yang bersahabat.
"Bagaimana kabarmu, Maudy?" tanya Gavin.
"Baik sekali, Pak Gavin," jawab Maudy, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya sedikit bergetar.
"Syukurlah. Saya sudah tiga tahun nggak melihat kamu, dan kamu semakin cantik saja," ucap Gavin sambil terkekeh ringan.
Gavin, dengan segala keramahan dan pesonanya, tampaknya tidak tahu bahwa Maudy adalah kekasih kakaknya. Bayangan Romeo seakan melintas di pikirannya, dan Maudy bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika Gavin mengetahui hubungan terlarang itu? Mungkinkah Gavin akan memandangnya dengan jijik, atau bahkan marah?
"Terima kasih, Pak Gavin," ucap Maudy, mencoba menjaga suaranya tetap tenang meski ada sedikit getaran yang tak bisa ia sembunyikan.
"Oh, iya. Berapa usia kamu sekarang?" tanya Gavin tiba-tiba.
"25, Pak," jawab Maudy, suaranya sedikit lebih stabil, meski masih ada kekhawatiran di hatinya.
"Aku 26. Kalau kita menikah, sepertinya cocok," canda Gavin sambil terkekeh, membuat Maudy hampir tersedak oleh air liurnya sendiri. Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Gavin, seolah-olah itu adalah lelucon biasa. Namun, bagi Maudy, kata-kata itu menusuk tajam, membuat dadanya terasa sesak.
Melihat reaksi Maudy yang terkejut dan terdiam, Gavin terkekeh lagi, merasa geli dengan sikap gadis itu. "Aku hanya bercanda, Maudy. Tapi... kalau kamu mau kita seriusan, maka aku hanya perlu mengatakannya pada kakakku saja, kan?" lanjutnya dengan nada menggoda, meskipun di balik senyumnya yang ceria, ada sebuah intensitas yang tak bisa diabaikan.
Ya ampun, anak ini! batin Maudy, merasa bingung dan sedikit panik. Gavin mungkin hanya bercanda, tapi entah mengapa, ucapannya itu terasa terlalu dekat dengan kenyataan yang sebenarnya.
Maudy menatap Gavin sekilas, matanya bingung dan bibirnya enggan mengeluarkan kata-kata. Dia tidak tahu harus menjawab apa, tidak ingin memberi harapan palsu, tapi juga tidak ingin membuka rahasia yang sudah ia jaga dengan susah payah.
"Aku terus mengingat kamu selama di luar negeri. Mungkin karena aku mulai menyukai kamu," ucap Gavin dengan suara yang tiba-tiba menjadi lebih serius, membuat Maudy semakin merasa terpojok. Ucapan itu terasa begitu terang-terangan, seolah Gavin tidak lagi peduli dengan apa yang orang lain pikirkan.
Maudy menunduk, menggigit bibirnya yang manis, merasa hatinya berdebar keras. "Jangan bicara sembarangan, Pak. Saya masih betah kerja di sini," jawab Maudy, mencoba mengalihkan topik dengan sopan, meski ia tahu bahwa Gavin mungkin tidak akan mudah menyerah begitu saja.
“Kamu takut ayah ku?” tanya Gavin dengan senyuman manisnya, ia mendekatkan wajahnya pada maudy. Membuat gadis itu segera menjauhkan wajahnya.
Melihat kegugupan gadis jelita itu, Gavin semakin gemas dibuatnya. Ia menarik dagu itu dan mencium cepat bibirnya maudy, membuat gadis itu mendorong dadanya Gavin seraya melebarkan kedua matanya kaget atas keberanian laki laki itu.
“Jangan coba menjauh dariku, maudy. Aku sudah menahannya selama tiga tahun ini!”
Bisik Gavin mendorong Maudy ke dinding lift dan mendekapnya di dinding lift itu.