2. Jatuh Cinta

1686 Words
Jatuh cinta akan membolak-balikkan logika manusia hingga mendekati gila, semisal membuat api terasa dingin dan es terasa panas membara. Aku duduk sembari menopang daguku dengan tangan kanan sementara tangan yang lain sibuk mengetuk-ngetuk meja kantin. Bola mataku memutar ke atas tanpa sadar, sedang asyik berpikir. Firman dan Asep yang juga duduk di depanku tidak peduli, sedang asyik mengunyah batagor Geboy Mang Sapri, salah satu penjual di kantin sekolahku.  Asep mengambil air minum di depannya lalu menengaknya habis. Setelah itu mengambil tisu lalu mengusap mulut dan tangannya. “Alhamdulillah, Asep sudah kenyang, Ya Allah,” katanya penuh rasa syukur sembari menengadahkan kedua tangannya ke atas lalu mengusapkan tangannya ke mukanya. Firman hanya mengamati Asep dengan ekor matanya lalu mengambil kacang dan mengemilnya. Asep yang dilihat hanya tersenyum. Keduanya sudah selesai makan, mereka pun melirikku yang belum menyentuh makananku, hanya menyeruput sedikit s**u kotakku. “Lo nggak nafsu makan, But?” tanya Firman. Aku menarik napas panjang lalu menurunkan tanganku dari daguku, mencoba duduk dengan tegak lalu mengambil satu batagor dan memakannya. “Aih, langsung makan. Nggak mau gue bantuin makan ya?” goda Firman. Aku hanya terkekeh pelan. “Kalau lo mau, ambil aja kali, Man! Nggak usah pake bilang mau bantuin makan,” kataku sambil menggeser piring batagorku ke arahnya. “Beneran nih?” tanya Firman ragu-ragu. “Iya, beneran masak hoax!” jawabku meyakinkan Firman. “Asyik,” sorak Firman dengan girang lalu mulai mengambil satu batagorku dan memakannya dengan lahap. “Wah!” pekiknya sambil senyum lebar. “Kenapa?” tanya Asep. “Sumpah enak banget!” jawab Firman sambil mengangkat kedua jempol tangannya. “Leres éta téh?[1] Belinya perasaan di tempat yang sama.” Asep tidak percaya. “Lo cobaan aja sendiri,” suruh Firman. Asep menatap lurus ke arahku dan aku hanya mengangguk, memberinya izin untuk memakan batagor milikku. Asep tersenyum girang lalu memakan satu batagorku. “Enyaak,” katanya lebih alay dari Firman. “Ya kan?” kata Firman puas. “Iyalah enak, kan gratis!” sindirku dan keduanya hanya terkekeh. “Tahu aja lo! Yang gratis emang lebih nikmat!” kata Firman sambil senyum ala iklan pasta gigi, menunjukkan deretan giginya yang besar-besar. Untung saja gigi Firman berwarna putih jadi tidak memalukan. “Lo kenapa? Muka lo kusut amat, But?” tanya Firman. “Salah Asep tuh!” jawabku sembari memandang ke arah Asep membuat sahabatku itu harus membenarkan letak pecinya karena tersentak kaget. “Aih, Asep salah naon[2]?” tanyanya cemas, khawatir sudah membuat kesalahan. Asep itu meski potongannya ustadz, hatinya serapuh tisu toilet. Terlebih dia selalu mengemban nasehat dari Emaknya, “Teu kénging ngajaheutkeun manah nu sanés Jang, bilih hirup anjeun sesah,”[3]. Asep itu keturunan Sunda, walau dia besarnya di Jakarta, tetapi belum bisa move on dari kampung halaman. Jadi, kadang kalau khilaf, dia memakai bahasa dari daerahnya. “Lo nggak salah, Sep! Si Ribut aja nih ngajak ribut!” bela Firman. Aku hanya terkekeh pelan. “Becanda gue,” kataku beralasan. “Tapi ya, emang gue sempat parno sih, Sep soalnya teringat kata-kata lo soal pemakaman tadi!” imbuhku. “Iya, bener tuh! Gue juga jadi takut dan keringat dingin!” Firman menimpali. “Aih, lo parno mah bukan karena Asep, tapi karena lo baca creepypasta ya kan?” sergahku. Firman nyengir, kembali memamerkan deretan giginya yang putih dan besar. “Kalau itu mah bukan salah Asep!” cibir Asep. Firman terbahak, geli melihat Asep mengerucutkan bibirnya sebagai bentuk kekesalan. “Jangan ngambek, Sep! Dirimu Ujang bukan Eneng,” ledek Firman. Asep menghela napas panjang. “Astagfirullah,” kata Asep sambil mengelus-elus dadanya.    Aku dan Firman hanya tersenyum geli lalu melanjutkan makan. Beberapa detik kemudian si Asep ikut bergabung, membantu memakan batagorku sehingga dalam sekejap batagorku sudah zonk[4]. “Habis,” gumam Firman. “Ya udah kelar,” sahutku. Firman hanya tersenyum kecil. “Nambahlah, But! Lo kan tajir!” bujuk Firman. “Nggak deh! Gue udah kenyang, Man,” tolakku. “Asep juga alhamdulillah udah kenyang,” celetuk Asep. “Gue nggak nanya lo, Ustadz!” desis Firman rada BT. “Asep cuma ngasih tahu!” kilah Asep. “Nggak nanya,” balas Firman. “Sekilas info!” sahut Asep lagi, belum kehilangan akal. “Terserah lo, dah.” Firman menyerah. “Udah, balik kelas yuk!” ajakku dan keduanya mengangguk setuju. *** Aku berdiri dengan perasaan kesal di depan sekolah, menunggu kedua sahabatku yang katanya masih ada urusan alam sehingga menyuruhku duluan. Sudah sekitar lima belas menit sejak bel pulang sekolah berdering dan kedua tuyul itu tidak juga datang. Menyebalkan! Bosan, kesal dan panas karena matahari bersinar sangat terik tepat berada di kepala, kuputuskan merogoh saku jaketku, berniat mencari headset milikku tetapi gagal kutemukan. Entah jatuh dimana, sepertinya hilang lagi. Akhir-akhir ini barang-barangku demen hilang sendiri, mulai dari peralatan tulis-menulis, buku catatan, lembar kerja sampai headset milikku. Sejauh ini aku sudah mengalami total kerugian hingga RP500.000 jika kuperkirakan. Walau begitu, aku tidak marah, berusaha ikhlas walau susah. Kalau kata Asep, “Ikhlasin, But! Biar gampang dapet yang baru mirip kalau lo ikhlasin yang lama buat putus, cepet dapat yang baru detik berikutnya!”. Bingung mau melakukan apa, aku pun memutuskan untuk mengamati sekelilingku, mencari pemandangan indah yang siap menghibur mata dan hatiku yang gersang. Si Tiwi ada latihan usai sekolah, jadi dia harus pulang sebelum kembali ke sekolah. Aku tidak keberatan dengan itu, lagipula aku berpacaran dengannya secara santai. Bukan tipe serius sampai harus bertingkah posesif atau agresif. Aku bukan tipe pacar yang seperti itu. Deg! Pandanganku terhenti pada seorang cewek berambut ekor kuda yang tengah berdiri dengan menendang-nendang debu. Kepalanya tertunduk, mengamati ujung sepatunya yang dihentak-hentakkan untuk menendang debu. Sepertinya dia juga menunggu seseorang. Aku mengerutkan dahiku, seperti mengenalnya. Bukan sok kenal, tapi sungguhan pernah melihatnya. Cewek itu mendongakkan kepalanya dan sengaja atau tidak, ia juga menatap ke arahku yang tengah mengamatinya. Mata kami beradu, beberapa detik dan jantungku kembali berpacu. Dia menundukkan kepalanya dengan canggung seolah itu caranya menyapaku. Aku pun merespon sapaannya dengan melambaikan tanganku. Dia tersenyum lalu mengarahkan pandangannya ke arah lain. Aku memang mengenalnya. Dia si murid baru. Siapa namanya? Lupa. Aku melirik jam tanganku, sudah 20 menit berlalu dan belum ada tanda-tanda Firman dan Asep segera datang. Iseng, aku berjalan mendekati si murid baru. “Hai,” sapaku. Si murid baru tersentak kaget, spontan mundur dan melihatku malu-malu. “Gue Ribut, ketua kelas lo!” kataku mencoba membuatnya tenang. Dia mengangguk. “Iya,” jawabnya singkat. “Lo kok belum pulang?” tanyaku, sekedar basa-basi agar bisa mengobrol dengannya. “Iya,” jawabnya singkat lagi walau kurasa sedikit tidak nyambung dengan pertanyaan yang kuajukan. Mungkin dia kikuk, begitu perkiraanku. Teman baru, sekolah baru dan lingkungan baru pasti sudah membuatnya canggung dan kaku. “Nunggu temen?” tanyaku setengah menebak alasannya belum pulang. Dia mengangguk pelan. “Boleh gue temenin?” tanyaku. Dia tampak ragu-ragu. “Gue nggak gigit, kok!” kataku mencoba meyakinkannya. Dia menggaruk-garuk belakang lehernya. Sangat terlihat dia benar-benar kebingungan untuk menjawab pertanyaan dariku. “Nama lo siapa?” tanyaku mencoba memberikan pertanyaan yang lebih gampang dijawab. “Anestesi,” jawabnya. “Huh? Anestesi?” Aku mengerutkan keningku, seperti familiar dengan kata itu. “Iya,” jawabnya singkat. “Nama lo itu? Anestesi?” tanyaku lagi, sedikit tidak percaya dengan apa yang kudengar. Dia menganggukkan kepalanya. “Aneh,” gumamku. “Kenapa?” tanyanya penasaran. “Setahu gue, Anestesi itu adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh,” jawabku menjelaskan. “Itu kan pengertian medis,” sanggahnya. “Anestesi yang itu berasal dari bahasa Yunani an- yang artinya tidak atau tanpa, dan aesthétos yang berarti kemampuan untuk merasakan, jadi anestesi adalah kemampuan untuk tidak merasakan,” lanjutnya. “Sedangkan gue, Anestesi! Itu nama gue, bukan istilah medis!” ia menekankan. Aku menaik-turunkan kepalaku sembari menatapnya dengan lekat. Aku merasa kagum karena dia bisa tahu hal seperti itu. Smart. Jarang ada cewek yang bisa tahu istilah anestesi. “Jadi lo dipanggil siapa?” tanyaku. “Tesi?” tebakku yang seketika membuatnya melotot marah ke arahku. “Anestesi!” Sedikit geram dia mengatakan itu dengan penekanan yang kuat. “Ooh, oke! Anestesi salam kenal yah!” kataku sambil mengulurkan tangan tidak lupa sambil melemparkan senyuman hangat. Anestesi terlihat ragu, dia masih enggan untuk menerima uluran tanganku. Benar-benar cewek yang menarik! “Novem!” panggilan itu membuat Anestesi segera melipat tangannya ke belakang punggung. Dia segera berlari meninggalkan aku dan berjalan menghampiri seorang cewek yang sudah menunggunya. Mereka mengobrol sebentar lalu Anestesi naik ke sepeda motor cewek itu. Anestesi duduk menyamping lalu tak lama kemudian sepeda motor mereka pun mulai melaju meninggalkan sekolah. “Sapa tuh?” “Iya, liatin sapa lo?” Aku berbalik, memandang sebal ke dua tuyul yang baru saja datang. “Lo berdua ngapain? Lama gila!” kataku protes. “Dih jangan galak-galak, But! Nanti mata lo keriput!” kata Firman setengah meledek. “Dih, padahal sendirinya udah beruban!” ketusku kesal. “Ini beruban karena kekurangan pigmen bukan udah tua!” sanggah Firman. “Nggak peduli. Dasar kakek-kakek!” ledekku lebih s***s. Firman menghela napas panjang, mencoba bersabar setelah mendengar ledekanku yang memang cukup parah itu. “Lo habis ditolak, But? s***s amat lo! Ngaca sana! Tampang lo udah mengkerut separoh noh!” pungkas Firman lalu terbahak, puas karena berhasil membalasku. “Nggak lucu!” ketusku. “Sabar, But! Kami lama karena masih nungguin pak Adang,” lerai Asep. Aku beralih pada Asep, mendadak adem. “Ngapain?” tanyaku. “Ini si Asep, kan niatnya gue mau nyolong mangga depan kelas XII, ya kan? Udah besar-besar dan menggoda iler kan? Eh, si Asep malah mulai ngoceh soal nyolong itu begini dan begitu, daripada ribet gue ajak dia ke pak Adang selaku tukang kebun, minta mangga secara terang-terangan biar halal kata si Asep,” kata Firman menjelaskan sambil sekali-kali mencibir Asep. “Dapet?” tanyaku. Asep mengangguk seraya menunjukkan kantong plastik berisi mangga yang dibawanya. “Wah, asyik!” gumamku senang. “Pesta nih!” kataku semangat. “Barusan aja lo ngomel, sekarang adem!” sindir Firman. “Ya, nggak apa-apalah namanya juga manusia, labil!” kataku beralasan. “Tadi Asep lihat Ribut ngobrol sama cewek, siapa?” tanya Asep penasaran, rupanya dia sempat melihat aku mengobrol dengan Anestesi. “Ooh, Anestesi!” jawabku. “Anestesi? Siapa?” tanya Asep heran. “Murid baru yang tadi pagi,” jawabku. “Ooh, cewek yang kikuk itu?” tebak Firman, mulai connect dengan percakapan kami. Aku mengangguk mengiyakan. “Lo tahu, Man?” tanya Asep heran. “Iyalah, dia sekelas sama kita tauk! Telmi amat lo!” desis Firman. “Lo ngomongin apa?” tanya Firman penasaran. “Basa-basi, doang! Dia kan pendiem!” jawabku. “Ooh, gue pikir lo mau nargetin dia jadi pacar lo yang selanjutnya!” goda Firman. “Nggaklah!” elakku. “Selera gue bukan kayak gitu,” “Ish, nggak boleh gitu! Pamali lho, But!” nasehat Asep. “Bener tuh! Jatuh cinta sama dia tahu rasa lo!” Firman menimpali. “Nggaklah!” Aku masih berusaha mengelak. “Mana mungkin gue bisa jatuh cinta sama cewek kikuk begitu,” gumamku mencoba yakin walau sebenarnya sedikit merasa ragu. “Lo nggak tahu?” Firman memandang tajam ke arahku. “Soal apa?” “Jatuh cinta akan membolak-balikkan logika manusia hingga mendekati gila, semisal membuat api terasa dingin dan es terasa panas membara. Jadi, lo bisa aja berpikir dia bukan tipe lo sekarang, tapi besok atau lusa, hati-hati lo bakal ngejilat ludah lo sendiri!” jawab Firman menjelaskan. “Eh?” “Tapi cowok yang suka bilang “Sebaiknya kita putus,” kayaknya nggak akan mikirin hal kayak gituan ya?” cibir Firman. “Dih,” dengusku kesal. “Udah. Pulang yuk! Asep belum sholat dhuhur nih nanti dipukul Emak,” ajak Asep. Aku dan Firman pun mengangguk setuju. Kami pun pulang bersama setelah mengambil sepeda motor kami yang masih terparkir di parkiran. Jatuh cinta sama Anestesi? Apa itu mungkin? Gue udah 97 kali pacaran dan belum pernah merasakan jatuh cinta lagi sejak cinta pertama yang kandas tanpa tujuan. Rasanya, gue terlalu memikirkan ucapan Firman. [1] Beneran? [2] Apa [3] Jangan menyakiti hati orang Nak, nanti susah hidupmu. [4] Habis
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD