1. Murid Baru

1929 Words
Tidak ada yang disebut kebetulan di dunia ini, karena semua peristiwa yang terjadi selalu mengandung hukum kausalitas ( Sebab-Akibat ) Aku baru saja memasuki ruang kelas ketika melihat dua tuyul menyunggingkan senyuman mengejek ke arahku. Mata mereka menunjukkan sebuah ejekan tetapi juga rasa penasaran yang tinggi. Aku duduk di bangkuku dan dua tuyul itu segera merapat, duduk di kursi yang berada di sebelah dan depanku. “Gue denger lo putus lagi, But!” sindir tuyul yang duduk di depanku. Aku tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. “Denger dari siapa lo?” tanyaku penasaran siapa bandar gosip yang sudah menyebarkan fakta itu. “Biasa, Harpa,” jawabnya. “Ah, si Harpa,” gumamku sembari menaik-turunkan kepalaku mencoba mengingat si Harpa yang dia maksud. “Jadi, lo putus kenapa kali ini?” tanyanya lagi. Aku hanya diam, menggaruk telingaku yang gatal. “Aih, ini bocah! Jawab dong!” protesnya. “Sabar, Man! Cepet marah itu temannya setan,” tuyul yang duduk di sebelahku melerai. Walau daripada Tuyul, dia lebih cocok disebut ustadz. Karena dia selalu memakai peci ke sekolah sehingga sering dimarahi oleh guru. “Ntar juga si Ribut ngejawab, ya kan?” kata si ustadz sambil memandang lurus ke arahku. Aku hanya tersenyum kecil. “Iya, gue jawab, kok! Sabar!” ucapku pada tuyul di depanku. “Jadi?” tanyanya lagi, tidak sabar lagi menunggu. “Udah ada yang baru,” jawabku dan dia seketika memasang wajah datar. “Lagi?” serunya lalu mendesah pelan. “Sampai kapan lo kayak gitu, But?” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku hanya tertawa geli melihat reaksi dari tuyul di depanku. Dia memang sangat lucu walau kadang sedikit menyebalkan dan membuat gemas. Nama lengkap dia adalah Firman Ramadhan, biasa dipanggil Firman. Dia merupakan seorang jomblo sejati yang kalau nembak cewek selalu ditolak. Sejauh ini sudah ditolak oleh 54 cewek yang terdiri dari 24 kakak kelas, 17 teman seangkatan, 8 adik kelas dan sisanya tidak jelas. Jika kunilai, wajah Firman belum buruk rupa tetapi entah kenapa selalu ditolak. Aku juga belum pernah bertanya alasan mengapa ia selalu ditolak. Rasanya itu bisa menyinggungnya dan aku tidak mau menukar persahabatan kami dengan rasa penasaran yang tidak penting. “Takdir,” jawab si ustadz yang seketika membuat Firman terskakmat. Jawaban dari si ustadz sudah paten dan tidak bisa dibantah. Si ustadz ini juga sahabatku, nama aslinya Muhammad Asep, biasa dipanggil Asep. Walau sejak kelas X, dia lebih dikenal sebagai ustadz. Belum pernah pacaran atau jatuh cinta, tetapi tidak pernah memberi ceramah soal cinta-cintaan atau hal-hal yang sedang ngetren. Kata-kata bijak yang selalu ia berikan saat kutanya alasannya adalah “Urusan lo bukan urusan gue, itu soal lo sama Tuhan lo!”, begitu katanya. “So, kali ini putusnya gimana?” tanya Firman penasaran dengan bagaimana caranya aku putus kali ini. “Digampar,” jawabku. “Kiri atau kanan?” tanya Firman lagi. “Kanan,” “Haha,” Firman langsung tertawa terbahak, puas sekali dia mendengar tragedi yang menimpaku. “Rekor tuh! Biasanya dua-duanya,” kata Firman di sela-sela tertawanya. Aku hanya tersenyum, sudah biasa ditertawakan begitu olehnya jadi tidak ada rasa marah. Lagipula, sudah biasa ditampar walau itu bukan sesuatu yang layak dibanggakan atau dijadikan suatu kebiasaan. Bagaimanapun, putus yang berakhir dengan tamparan, tendangan di kaki, u*****n dan juga disembur air jauh lebih baik bagiku daripada musuhan setelah putus. Konsepku masih sama dan akan selalu sama. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, seribu teman jauh lebih sedikit daripada satu musuh? Walau konsepku begitu, kuakui, ada satu cewek sebagai pengecualian. “Trus, pacar lo sekarang siapa?” tanya Firman. “Tiwi,” jawabku. “Anak basket itu?” tebak Firman memastikan Tiwi yang kumaksud. Aku mengangguk mengiyakan. “Gila lo! Gimana tuh ceritanya lo bisa pacaran sama anak basket terjudes seantero planet?” tanya Firman merasa heran sekaligus kaget. “Hehe.” Kusunggingkan sebuah senyuman tipis. “Setiap cewek memiliki kelemahan.” Firman menautkan alisnya. “Maksud lo?” tanya Firman merasa bingung. “Dia penyayang binatang,” jawabku. Firman mencondongkan tubuhnya ke depan seolah menunjukkan betapa tertariknya dia untuk mendengar ceritaku lebih jauh soal bagaimana bisa aku berpacaran dengan Tiwi, anak basket yang terkenal galak dan suka marah-marah. Hampir seluruh cowok di sekolah takut padanya sehingga dia jadi kesulitan mendapatkan pacar. Susah didekati, begitu kata teman-temanku dan karena stigma itu aku menjadi ingin mengenalnya lebih jauh. Bonusnya, dia menjadi pacarku yang ke-97 sekarang. “Buruan napa, But! Kepo gue!” desak Firman tidak sabaran. “Ckck, orang sabar disayang Tuhan lho! Jangan ngebet gitu napa, slow, slow!” tegur Asep. Firman hanya menyipitkan matanya. “Lo itu yang selow, tiap saat ngumbar ceramah. Ini sekolahan bukan pondok pesatren!” ketus Firman kesal. “Nyebarin Ilmu agama itu nggak mandang tempat kali, Man! Beda sama buang hajat, harus di toilet!” sergah Asep. “Aih, bisa di sungai atau ladang kok!” kilah Firman. “Huh?” Asep memandang kaget ke arah Firman. “Kalau kepepet,” celetukku yang kemudian disusul oleh tawa keduanya. Aku, Firman dan Asep memang sering berbeda pendapat, tapi tidak pernah bermusuhan. Sudah akrab sejak SMP dan berharap persahabatan ini akan terus berlanjut hingga akhir hayat. Walau aku sendiri yang mengatakannya, tidak ada hubungan yang kekal abadi. Suatu saat kami akan berpisah, entah karena cita-cita atau usia. Namun untuk saat ini, kami ingin menikmati kebersamaan kami seolah ini akan terus berlangsung selamanya. “Lanjutin cerita lo, dong!” pinta Firman. Aku mengangguk. “Jadi, seperti yang gue bilang, Tiwi itu penyayang binatang, terutama kucing. Dia punya banyak kucing di rumahnya, sekitar 6 ekor kalau nggak salah. Dari situ gue ngerti kalau Tiwi itu hanya luarnya yang galak, aslinya dia itu lembut. Jadi gue mulai deh nunjukin diri ke dia kalau gue juga suka kucing,” ceritaku. “Ah!” pekik Firman tiba-tiba. “Karena itu lo mendadak suka posting foto lo sama kucing di sosmed?” tebak Firman. Aku mengangguk. “Gitulah,” kataku sembari tersenyum simpul. “Padahal lo kan nggak punya kucing, kucing siapa yang lo ajak selfie?” tanya Asep. “Kucing Bu Anis,” jawabku. Asep menautkan alisnya sebentar. “Tetangga lo itu?” tanya Asep memastikan dugaannya. “Iya,” jawabku singkat. “Terniat!” puji Asep sambil mengangkat dua jempolnya. “Hehe.” Aku cengengesan. “Pantasen lo jadi suka buang makanan trus dikasih ke kucing liar dekat sekolah!” Firman memegang dagunya, mengulas kembali ingatan tentang sikapku yang dia tangkap dan anggap sebagai caraku untuk mendapatkan perhatian dari Tiwi. “Kalau itu mah bukan buat Tiwi, gue kasihan aja sama kucing-kucing liar itu!” sanggahku. “Ho, kenapa nggak lo pungut sekalian trus bawa pulang?” Firman menatapku dengan tatapan tidak percaya. “Kalau itu nggak bisa,” kataku. “Kenapa? Karena kucing liar?” tanya Firman. “Bukan,” jawabku. “Ibu gue alergi bulu kucing,” “Oh iya, lupa gue kalau ibu lo alergi!” kata Firman sambil senyum-senyum. “Trus gitu doang lo udah dapetin Tiwi?” tanya Firman ragu kalau ceritaku sudah selesai. “Gila, nggaklah! Butuh perjuangan banget gue,” bantahku. “Lanjutin kalau gitu!” suruh Firman. “Jadi, gue kan temenan sama Tiwi tuh di sosmed, dia jadi kepo kali. Soalnya gue suka posting foto sama kucing. Dia DM gue, ngobrol-ngobrol deh! Basa basi dikit, gue minta nomer kontaknya dia. Kita chatingan, deh! Lama-kelamaan gue tembak dan diterima kemarin,” kataku melanjutkan ceritaku. “So simple, mungkin karena lo itu ganteng!” Firman menatapku dengan iri. “Aih, Tiwi bukan cewek yang mikir gitu, kok!” elakku. “Dia tipe yang gimana emangnya?” tanya Asep ingin tahu. “Tipe yang suka sama yang nyaman,” jawabku. “Maksud lo?” tanya Firman belum mengerti apa yang kumaksud. “Tipe cewek yang menilai cowok dari apakah cowok itu bisa ngertiin maunya dia, kesukaannya dia, hobby dia, kesibukan dia, gitu-gitulah pokoknya!” jelasku, walau sepertinya penjelasanku begitu absurd. Aku memang lemah dalam hal menjelaskan sesuatu. “Udah kayak pake bahasa alien,” begitu kata teman-temanku saat mereka minta diajarkan kimia olehku saat belajar bersama untuk olimpiade Kimia tahun lalu. “Iya dah, pokoknya gitu, ya kan?” sindir Firman sambil menyipitkan mata ke Asep. Asep pun hanya mengangguk setuju. “Asep mah nggak paham gitu-gituan, tapi kayaknya lo harus belajar banyak ke Ribut, Man!” nasehat Asep. “Belajar ngedapetin cewek?” tanya Firman menanyakan maksud ucapan Asep. “Iyalah, lo kan ngebet pengen punya pacar biar status jomblo lo bisa pecah,” sahut Asep. “Nggaklah, gue sama Ribut beda!” tolak Firman. “Iya jelas beda, kalau sama kan kembar,” sergah Asep yang seketika membuatku terbahak. “Aih, bukan gitu maksud gue!” bantah Firman. “Maksud gue, tiap cowok itu punya cara sendiri dalam mendapatkan cinta seorang cewek. Cara Ribut meski gue terapin nggak akan seampuh kalau Ribut yang pake, sebaliknya pun kayak gitu!” kata Firman menjelaskan panjang-lebar. “Oh gitu,” kata Asep sambil mengangguk-nganggukkan kepalanya seolah dia paham dengan apa yang baru saja Firman terangkan. “Lo mau gue ajarin cara gue dapetin cewek, Sep?” tanya Firman. Asep menggeleng cepat. “Nggak,” tolaknya. “Kenapa? Karena nggak mau masa jomblo lo berakhir?” sahut Firman dengan sedikit mencibir Asep. Asep menggelengkan kepalanya sekali lagi. “Nggak, Asep mah bangga jadi jomblo. Lagian masa jomblo Asep, suatu saat pasti akan berakhir,” jelas Asep. Aku dan Firman mengarahkan pandangan kami ke Asep, sedikit tidak percaya kalau seorang ustadz sepertinya akan mengakhiri masa jomblo. You know-lah, sebutan ustadz yang dikantonginya bukan isapan jempol belaka. “Kalau nggak di pelaminan ya di pemakaman,” lanjut Asep kalem. Aku dan Firman yang mendengar ucapan lanjutan dari Asep seketika bergidik ngeri. “Astaga, Sep!” pekik Firman. “Bawa-bawa pemakaman, bikin parno lo!” gerutu Firman kesal. Asep hanya cekikikan. “Parno apaan? Manusia emang semuanya bakal mati, tinggal nunggu aja napasnya habis,” sahut Asep dengan santainya. “Dih, malah gitu! Ngeri lo!” Firman mendekap tubuhnya sendiri, sepertinya dia benar-benar merinding karena ucapan Asep. Sementara Asep hanya tertawa geli. “Ribut!” Panggilan itu membuatku dan kedua sahabatku menoleh pada sumber suara. Linda, wakil ketua kelasku tersenyum menyambut kami yang menoleh ke arahnya sekaligus. “Ada apa, Lin?” tanyaku. “Lo disuruh ke kantor guru sama wali kelas,” jawabnya. “Ngapain?” tanyaku heran. “Ada murid baru,” “Heh? Di tengah semester gini? Di saat kita udah kelas 12?” tanyaku sedikit tidak percaya. Linda mengangguk kecil. “Iya, buruan sana!” suruhnya lagi. “Oke,” kataku lalu berdiri dari dudukku. “Murid pindahannya cewek apa cowok?” “Di kelas kita, Lin?” Samar-samar aku masih mendengar Firman dan Asep yang menginterogasi Linda. Sementara aku terus menjauh, pergi ke ruang guru untuk menemui wali kelas dan si murid baru itu. Tiba di kantor guru, aku segera menemui Pak Hanafi, guru Fisika sekaligus wali kelasku. Di depan beliau berdiri seorang cewek. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisinya yang membelakangiku. “Oh, Ribut sini!” panggil pak Hanafi begitu melihatku. Aku pun mempercepat langkahku sehingga bisa segera tiba di depan pak Hanafi. “Ada apa, Pak?” tanyaku begitu aku sudah berhasil tiba di depan pak Hanafi dan berdiri sejajar dengan si murid baru. Samar-samar kucium aroma parfumnya, lavender. “Ini ada murid baru, kamu yang antar ya? Sebentar lagi kan jam pelajaran saya, tapi saya ada rapat. Jadi, kamu atur teman-temanmu agar tetap di kelas dan mengerjakan lembar tugas halaman 45 latihan 2,” jawab pak Hanafi. Aku mengangguk sebagai tanda mengerti dengan perintah yang beliau amanatkan barusan. “Yasudah, sekarang kembali ke kelasmu dengannya!” perintah Hanafi lagi sembari menunjuk ke cewek yang sejak tadi hanya menundukkan kepalanya. “Ya, Pak!” sahutku. Aku pun mulai berjalan pergi dan cewek itu mengikutiku. Dia masih berjalan sambil menunduk, satu-satunya yang bisa sedikit kulihat hanya rambutnya yang diikat ekor kuda dan berponi. Dari bahasa tubuhnya, sepertinya dia tipe cewek yang kikuk. Akan sangat mengganggu jika dia kesulitan berkomunikasi, bagaimanapun kelasku terkenal easy going sebelumnya. Dengan keadaannya yang sekarang, kurasa dia akan menjadi ombak kecil di kolam yang tenang. Sebelum tiba di kelas, aku hentikan langkahku dan berdiri menghadapnya langsung. Dia sempat kaget dan mundur selangkah, menjaga jarak dariku. Benar-benar cewek yang kikuk. Aku mengulurkan tanganku setelah beberapa saat berlalu. “Perkenalkan, gue Ribut Jagad Satria,” kataku memperkenalkan diriku. Cewek itu hanya diam lalu ia mulai meremas-remas tangannya dan memainkan kuku-kuku tangannya. Tak ada tanggapan meski sudah lama kutunggu, tanganku juga sudah lelah. Aku rasa dia belum mau berkenalan denganku. Aku tarik lagi tanganku dan mengantonginya untuk mengurangi rasa malu. “Yasudah, selamat datang di kelas XII IPA-5,” kataku memberi sambutan lalu berbalik, hendak berjalan lagi. “Aanu,” pekiknya tiba-tiba. Aku membalikkan badanku lagi, menoleh ke arahnya. Sedikit demi sedikit dia mulai mengangkat kepalanya dan seketika membuatku terbelalak. Wajahnya indah, tidak begitu cantik memang, hanya apa ya, sangat manis dan cute. “Gu-gue.” Walau agak tersedat ia memberanikan dirinya bicara. “Anestesi Novem Wahyuni,” lanjutnya lalu menghembuskan napas pelan, lega karena berhasil menyerukan namanya lalu ia tersenyum. Aku terdiam, tiba-tiba tidak bisa bergerak seolah beku. Tidak ada suara yang bisa kudengar kecuali satu hal: “Deg, deg, deg”, suara jantungku. Baru kali ini aku bertemu dengan seorang cewek dan jantungku berpacu kencang. Apakah ini kebetulan? Tidak! Tidak ada yang disebut kebetulan di dunia ini, karena semua peristiwa yang terjadi selalu mengandung hukum kausalitas ( Sebab-Akibat ). Dan aku percaya, ada sebab mengapa jantungku seperti ini. Kenapa jantung gue kayak gini? Gue belum jantungan kan? Belum nikah gue, please jangan mati dulu! s**l, ini pasti gara-gara Asep yang bicara soal pemakaman tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD