3. Cewek Kikuk

1757 Words
Orang yang sendirian, belum tentu kesepian. Jika dia merasa nyaman, untuk apa bersusah-payah mengajaknya keluar dari zona nyaman? Tok tok tok Pintu digedor lagi tetapi aku pura-pura tidak mendengarnya. Tok tok tok Sekali lagi pintu digedor, kali ini cukup kuat. “Oi, buruan napa, But! Gue juga pengen pup, nih!” Suara agak  berat dan serak itu terdengar dan aku hanya menaikkan volume headset yang aku pakai. Headset yang kupakai bukan milikku, tetapi milik seseorang yang kini mulai bersumpah serapah karena aku tidak juga selesai melakukan tugas alamku. Kamar mandi rumahku memang selalu ramai setiap pagi terutama karena dia yang selalu mengomel padaku yang suka lama kalau lagi menunaikan tugas. “Njir, lo ngeluarin batu ya? Lama banget!” teriaknya kesal. Aku hanya menyandarkan punggungku ke sandaran closet duduk, berupaya mengabaikan suara-suara lain yang tidak penting. Suara alunan intrumental dari musik kesayanganku membuatku memejamkan mata. Sungguh, pagi yang damai. “Woi, gue hitung sampai tiga nih! Kalau nggak keluar juga gue dobrak nih!” Dia mulai mengancam sembari menendang-nendang pelan pintu kamar mandi. Aku menghela napas, terpaksa, demi kesejahteraan bersama. Tugas alam pun dituntaskan segera. Krieet. Aku keluar dan segera ditendang minggir oleh seorang cewek berpostur tegap dengan rambut pendek dan kulit kecokelatan. “Lama amat lo!” dengusnya kesal. “Elah, namanya juga buang hajat!” sahutku. “Nyahut aja lo! Ingat, lo ngomong sama siapa!” ketusnya lalu membanting pintu kamar mandi dengan cukup keras. Brak. “Anjir!! Ribut!! Siram napa!!!” teriaknya dan aku hanya berjalan santai meninggalkan dia yang mulai mengoceh di kamar mandi. Aku melangkah ke ruang makan, menemui ibuku yang sedang mempersiapkan sarapan. “Berantem lagi sama Angin?” tanya ibuku. Aku hanya tersenyum lalu duduk di salah satu kursi. Kuambil segelas s**u yang sudah disiapkan ibu dan menyeruputnya sedikit. “Iya, biasalah, Bu!” sahutku sembari meletakkan gelas susuku dan beralih ke roti yang sudah diberi selai oleh ibu. Ibu hanya tersenyum tipis. Geli dengan tingkah anak-anaknya. Yups, si Angin, walau begitu adalah kakakku. Dia dua tahun di atasku. Sudah kuliah. Jurusan apa, aku tidak tahu. Malas bertanya padanya yang suka mencari masalah denganku. “Kalian ini, dari kecil sampai sekarang selalu aja berisik di pagi hari!” “Salah si Angin tuh!” “Salah lo tauk!” Aku menoleh, memandang Angin yang sudah selesai urusan dengan toilet dan kini duduk di kursi sebelahku. “Bu, bikin kamar mandi satu lagi dong!” rengek Angin. “Kan kamar mandinya sudah dua,” kata Ibu. “Iya sih, tapi kan satunya suka dipakai ayah. Takut ah!” Angin mencoba beralasan. “Ya nggak apa-apa, tinggal nunggu ayah selesai kan?” kata Ibu bijak. Angin diam, enggan berdebat lagi. “Lo sih, lama amat kalau lagi pup. Lo sembelit?” tukas Angin. “Nggak,” bantahku. “Terus?” tanya Angin meminta penjelasan lebih lanjut. “Gue nggak bisa aja pup kalau nggak rileks!” jawabku. “Ooh.” Angin menaik-turunkan kepalanya. “Jadi karena itu lo suka pake headset?” Aku mengangguk sambil membuat gigitan besar di rotiku. “Wait!” Angin menyipitkan matanya sembari mencondongkan tubuhnya ke arah headset yang sedang kupakai. “Ini headset gue nih!” pekiknya sembari menarik paksa headset yang kupakai. “Pinjem gue!” kataku sambil berusaha mengunyah cepat makananku. “Pinjem apaan, lo nggak ngomong!” desis  Angin kesal. “Kan barusan bilang!” sahutku sambil menaik-turunkan satu alisku. “Nyebelin lo!” “Emang!” “Ih!” “Haha,” “Ada apa ini?” tanya Ayah yang baru datang. Aku dan Angin segera memperbaiki letak duduk kami dan makan dengan tenang. Ayah adalah manusia yang paling kami takuti sedunia. Jika diibaratkan, ayah itu adalah ombak kecil yang akan menjadi tsunami saat marah dan menerjang dalam satu sapuan. Seumur hidup, cukup sekali aku tahu rasanya ayah marah bagaimana. Aku rasa Angin juga sependapat soal itu. Dulu, tepatnya saat bulan Ramadhan, aku dan Angin yang masih SD. Kalau tidak salah mengingat, aku masih kelas satu sementara Angin sudah kelas tiga, sedang bermain berdua. Kami bermain kejar-kejaran dengan semangat sampai nyasar ke rumah kosong yang berada di ujung blok. Di sana terdapat pohon kersen yang sedang panen. Buahnya sangat lebat dan merah-merah. Kami yang memang, masih anak-anak dan mudah goyah, memanjat pohon itu dan memakan buahnya sampai sedikit kenyang. Sialnya, ketahuan ayah. Awalnya ayah tidak marah, hanya menyuruh kami turun dari pohon dan membawa kami pulang. Tiba di rumah kami berdua menerima santapan sandal di p****t kami. Kami menangis tetapi ayah tidak melepaskan kami. Ayah terus memukul kami sehingga kami meminta maaf, bukan karena takut pada ayah tetapi karena membatalkan puasa dengan sengaja. Ayahku, bukan ustadz hanya dokter gigi. Meski begitu, soal keagamaan, beliau sudah setara dengan bapaknya Asep yang seorang asisten Kyai. Asisten, belum kyai kata Asep. Entah apa bedanya. Pokoknya, setelah kejadian itu, kami tidak pernah ingin ayah marah lagi. Cukup sekali santapan sandal itu kami rasakan. “Ribut,” panggil ayah. Aku bergidik ngeri, mendadak merinding. “Ya, Yah?” sahutku. “Kalau mau ke kamar mandi sedikit pagian, kasihan Angin!” nasehat ayah. Aku mengangguk mengiyakan. “Ya, Yah!” “Angin juga. Jangan teriak pagi-pagi!” Angin mengangguk mengiyakan juga. “Yasudah, ayah berangkat duluan. Kalian juga, cepat mandi dan bersiap ke sekolah dan ke kampus masing-masing! Hati-hati di jalan! Jangan lupa berdoa. Paham?” Aku dan Angin mengangguk lalu bergantian bersalaman dengan ayah. Setelah itu ayah meneguk habis s**u yang sudah disiapkan ibu lalu menghampiri ibuku. Dikecupnya kening ibuku dengan mesra lalu didekapnya tubuh ibuku dengan penuh cinta. “Cantiknya istriku,” puji ayah yang seketika membuat ibu blushing. “Ngajar hari ini?” tanya ayah. Ibu mengangguk. “Hati-hati, kabarin kalau sudah sampai. Jangan lupa sarapan!” pesan ayah. “Iya, sayang!” sahut ibuku. Ibu meraih tangan ayah, menciumnya mesra lalu mengandeng mesra ayah. Keduanya berjalan keluar. Ibu sepertinya hendak mengantar ayah sampai ke pintu depan. Walau setiap pagi kami melihatnya, tetap saja sensasi yang kami rasakan selalu sama. “Wuih, merinding gue!” pekik Angin sambil mendekap tubuhnya sendiri. “Serasa nonton telenovela tempo dulu gue!” kata Angin lagi. Sepertinya dia merasa sedikit geli setelah melihat kemesraan ayah dan ibu barusan. Walau sebenarnya bagiku, sangat nyaman mengetahui orangtuaku seharmonis itu. Cuma ya, melihat orangtua mesra itu tidak menimbulkan efek baper, hanya suatu sensasi yang, entah bagaimana menyebutnya, geli? “Ya Allah, Angin geli!” oceh Angin sambil menggerak-gerakkan tubuhnya seperti orang yang gemetar.  “Alay lo! Buruan mandi duluan sana!” suruhku. “Dih belum kelar makan gue!” “Yaudah, gue mandi duluan ya!” kataku. “Oke!” sahut Angin lalu melanjutkan makannya sementara aku segera pergi ke kamar, mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi. *** Aku menghela napas panjang sambil memandang ke luar jendela. Hari ini tiba-tiba hujan turun, padahal bulan ini masih tergolong musim kemarau. Namun, bagaimanapun hujan adalah nikmat dan waktu teristijabah untuk berdoa sehingga harus disyukuri. Begitu kata Asep, aku hanya copypaste saja. “But, gue liat tugas lo dong!” Aku menoleh sebentar, mengamati seorang cowok berambut agak panjang yang bagian depannya sengaja dibentuk menyerupai jambul ayam jago.  “Lo nggak ngerjain lagi, Man?” tanyaku pada Firman. Firman hanya senyum-senyum. “Sumpah, otak gue nggak nyampe kalau kimia.” Firman beralasan. “Nggak nyampe, emangnya kimia di atas gedung?” sergahku. Firman hanya cengengesan. “Liat dong! Sekali aja!” Firman memohon. “Dari kelas X lo selalu bilang sekali aja, udah kelas XII kita, udah berapa banyak sekali aja yang lo bilang?” serangku. Firman mengerucutkan bibirnya. “Ya, kan sekali aja hari ini, besok sekali lagi, lusa sekali lagi aja, intinya sekali sehari!” jawab Firman santai. Aku menyipitkan mataku ke arahnya dan Firman hanya cengar-cengir. Aku keluarkan tugas kimiaku lalu kuberikan pada Firman.    “Nih! Lain kali ikut kerja kelompok kalau gue dan Asep ngerjain jadi lo nggak nyontek terus!” nasehatku.    Firman hormat sebentar.    “Yes, Sir!” sahutnya lalu mulai fokus menyalin tugas Kimia.    “Ngomong-ngomong si Asep mana?” tanyaku.    “Entah,” sahut Firman sambil mengangkat kedua bahunya sementara matanya tetap fokus ke buku yang ada di depannya.    “Dia nggak sakit kan?” “Nggak tahu,” sahut Firman sekenanya, sedang fokus. Aku melirik jam tanganku, sudah jam 06.55 WIB, lima menit lagi bel dan si Asep belum terlihat batang hidungnya. Aku menjadi sedikit mengkhawatirkannya karena selama ini dia tidak biasanya terlambat dan hanya pernah absen sakit sekali sejauh ini. Aku menatap ke arah pintu kelas, diam-diam berharap agar si Asep tiba-tiba saja muncul seperti di adegan drama. Namun yang kulihat justru Anestesi. Si murid baru itu masuk dengan kepala tertunduk, menghindari pandangan orang-orang. Dia benar-benar terlihat kikuk. Anestesi sudah menjadi murid baru selama seminggu dan belum juga bisa berbaur. Sejak kejadian dimana aku menyapanya tempo hari, aku belum bicara dengannya lagi. Dia seolah menghindariku. Entah apa alasannya. Aku sungguh ingin tahu tetapi tidak menemukan kesempatan untuk menanyakannya. Apalagi sepertinya yang harus lebih kukhawatirkan bukanlah soal dia yang menghindariku tetapi sikapnya yang terkesan menjauhi semua orang. Anestesi bisa dibilang tipe cewek pendiam dan penyendiri. Dia suka sendirian. Engan bergaul dan jarang mengobrol, hanya menjawab sekenanya dan terkadang terlihat aneh. Dia seperti memiliki dunia sendiri yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Anehnya, aku merasa kalau dunia Anestesi itu sangat menarik. Terbukti, beberapa kali aku melihatnya tersenyum, marah bahkan ketakutan sendiri. Aku ingin melihat dunia yang dilihatnya, ingin masuk dan menemaninya agar tidak sendirian. Karena sendirian, bagiku, sangat menyakitkan. “But, Ribut!” panggil Firman yang seketika membuyarkan lamunanku. “Ho?” sahutku. “Jangan bengong! Nanti lo kesambet!” “Sapa yang bengong sih? Gue nggak bengong!” sanggahku. “Kalau nggak bengong, trus lo ngapain?” tanya Firman. “Mikir!” jawabku. Firman menarik sebelah alisnya. “Mikir apaan?” tanya Firman lagi. “Sendirian,” jawabku lirih. “Huh? Maksud lo?” tanya Firman dengan ekspresi wajah bingung. “Menurut lo, sendirian itu asyik nggak?” tanyaku. Firman berpikir sebentar. “Maybe,” jawab Firman. “Kok gitu?” tanyaku meminta alasan atas jawaban yang dia berikan. “Gini But, ini menurut gue ya,” Firman memberikan penekanan membuatku memasang baik-baik telingaku untuk mendengarkan alasannya. “Orang suka sendirian itu ada alasannya. Misalkan dia pengen fokus sama sesuatu, merenungkan sesuatu atau memang sudah nyaman dengan kesendiriannya,” jelas Firman. “Ah, sama kayak lo yang betah dengan kesendirian?” sindirku. Firman memanyunkan bibirnya. “Aih, jangan ngejek dong! Fokus sama kesendirian yang lagi kita bahas, jangan bawa-bawa status jomblo!” omel Firman. “Lah baper, gue nggak ngucapin kata jomblo tauk!” kilahku. “Aih udah, pokoknya gitu!” pungkas Firman. “Yah, jangan ngambek, Man! Tapi ya, senyaman-nyamannya orang nyaman dengan kesendirian, apa dia nggak kesepian?” Firman menatapku lekat lalu tersenyum tipis. “But, orang yang sendirian belum tentu kesepian. Jika dia merasa nyaman, untuk apa bersusah-payah mengajaknya keluar dari zona nyaman? Toh orang yang memiliki banyak orang di sekitarnya belum tentu tidak kesepian. Itu soal kebahagian hati, But! Lo nggak bisa nilai cuma dari sudut pandang lo aja!” jawab Firman panjang-lebar. “Tumben, Man!” gumamku. “Apanya?” tanya Firman heran. “Lo cerdas!” jawabku lalu terbahak membuat Firman seketika memasang wajah sebal. Tak lama kemudian bel berdering dengan nyaring itu artinya jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Namun si Asep belum juga muncul. Aku menjadi semakin khawatir. “Oh!” pekik Firman tiba-tiba. Ada sebuah pesan masuk di handphone milik Firman yang ia sembunyikan di salah satu kaos kakinya. Firman membuka dan membaca pesan itu. “But,” panggilnya. “Ya?” “Nih!” Firman menunjukkan layar handphonenya padaku. USTADZ Assalamu’alaikum. Gue nggak masuk, bro! Sakit campak gue. Entar emak gue bakal ke sekolah buat ngasih surat tapi bisa dipastikan nyasar. Nggak bisa ingat jalan selain jalan ke hati bapak gue! Eaa.. serius! Kalau ada emak-emak pake kebaya, rambutnya disanggul dan kalau ngomong sunda banget, itu emak gue. Tolong segera dicari dan diantar ke ruang BK. Salam sayang, Muhammad Asep, anak tertua dan terganteng dari pasangan Bapak Muwardi dan Ibu Rohanah. Wassalamu’alaikum. Aku dan Firman berpandangan lalu tertawa geli. Setelah itu, aku segera berbagi tugas dengan Firman. Firman mencari emak Asep sedangkan aku ke ruang guru untuk memanggil guru untuk pelajaran jam pertama. Sep, gue harap lo cepat sembuh. Sekolah tanpa lo itu kayak nggak ada manis-manisnya gitu. Bukan iklan, kok! Imajinasi doang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD