PROLOG

1369 Words
Perpisahan akan selalu menyakitkan, bagi yang ditinggalkan maupun yang meninggalkan. Untuk mencapai sesuatu, kita perlu modal dan skill. Hal itu adalah yang selalu ayahku ajarkan sejak aku masih kecil. Ayah selalu bilang bahwa usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil, tetapi membangun dua fondasi awal sebelum melakukan usaha adalah poin terpenting. Seperti bayi yang ingin belajar berjalan, dia harus bisa merangkak lebih dulu, berdiri dengan tumpuan yang kuat baru kemudian mulai belajar melangkah. Setelah itu, ia akan dapat berjalan dengan baik walau pada awalnya akan sangat kikuk dan bersusah payah. Apa yang ayahku katakan sudah banyak diketahui, tetapi menerapkan dan mengakuinya adalah dua hal yang berbeda. Ada banyak orang yang enggan mengakui kebenaran itu, sehingga mereka melakukan sebuah usaha tanpa memiliki modal dan skill, hanya salah satunya. Akibatnya, mereka hanya menunai kegagalan karena hanya berpegang pada salah satunya. Usaha tanpa modal akan sangat lambat dan melelahkan. Kebanyakan orang akan menyerah dan berhenti sebelum sukses karena merasa terlalu lama menunggu, kurang sabar dan telaten. Demikian pula usaha tanpa skill, hanya akan seperti bertumpu pada kayu yang lapuk, menunggu waktu untuk tenggelam sendiri. Tidak! Aku tidak sedang mencoba berkelekar, menggurui atau hal lainnya, hanya sebatas mengungkapkan apa yang ada di pikiran. Anggap sebuah musik pengiring yang nantinya akan membawa ini ke tahapan selanjutnya. “Sudah satu jam,” ujarnya sembari melihat jam tangannya dengan gelisah. “ Apa yang mau lo omongin?” lanjutnya dengan wajah cemas. Aku hanya mendongakkan kepalaku, memandang wajahnya yang cukup cantik lalu melemparkan sebuah senyuman tipis. Ia tersipu, terlihat dari pipinya yang agak kemerah-merahan dan juga pupil matanya yang sedikit melebar. Ia memalingkan wajah walau ekor matanya masih tertangkap basah mencuri-curi pandang ke arahku. “Lo cantik,” pujiku dan ia semakin kikuk. Ia mengambil jus jeruk di depannya lalu menyeruputnya sedikit, sesekali ia memandangku lalu memalingkan pandangannya ke arah lain. Ia sungguh lucu, sedikit terhibur rasanya hatiku melihat tingkahnya yang masih konyol dan manis. Walau memang, kuakui, memilikinya, bukanlah hal yang ingin terus kulakukan. Drtt. Drtt. Drtt. Sebuah pesan mendarat di handphone milikku. Aku tersenyum saat dia memandangku penuh rasa ingin tahu. Aku rogoh kantong celanaku lalu melihat sebuah pesan yang masuk. Gebetan97 Gue udah punya jawaban atas pernyataan lo kemarin. Yups, gue mau pacar lo! Gotcha! Puas, kusunggingkan sebuah senyuman lalu memasukkan lagi handphone ke dalam sakuku setelah mengetikkan sebuah balasan. Me. Thanks, 30 menit lagi gue ke rumah lo. “Siapa?” tanyanya penasaran. “Teman,” jawabku santai. “Cewek ya?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Perlu apa?” tanyanya lagi. “Ngasih jawaban,” jawabku. “Jawaban apa?” ia semakin ingin tahu dan membuatku benar-benar harus mengakhiri ini. “Milea,” panggilku. Gadis manis berwajah tirus dengan hidung agak mancung itu tertegun. Tiba-tiba sorot matanya menjadi sendu, seolah ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Well, aku tidak pernah menyalahkannya jika dia bisa menebak apa yang akan terjadi, tetapi setiap tindakan memiliki risiko sendiri dan harus dipertanggungjawabkan. “Milea,” panggilku lagi saat ia mulai berkaca-kaca tanpa bisa menjawab panggilanku. Tidak! Aku bukan Dilan, nama gadis di depanku ini memang Milea. Nama lengkapnya adalah Amilea Safitri Wijaya. Saat ini dia adalah pacarku. Orangnya baik, perhatian dan menyenangkan. Wajahnya juga cantik, imut dan tidak membosankan. Hanya saja, terkadang yang seperti itu, bisa dibilang, biasa dan tidak ada tantangannya. Aku tidak sedang membuat alasan, bagaimanapun ini akan tetap berakhir dengan tidak menyenangkan. “Milea, sebaiknya kita putus saja,” ucapku dimana ia langsung membelalakkan matanya. “Ke-kenapa?” tanya Milea dengan airmata yang menggenang di kedua kelopak mata indahnya. Ia menelan ludah, seperti berusaha untuk kuat walau aku tahu dia tidak sekuat itu. “Gue udah punya pacar baru,” jawabku dengan jujur. Milea menggigit bibir bawahnya pelan, aku tahu dia kesal tetapi tak ada u*****n atau cacian yang keluar. Aku rasa mungkin dia memang berbeda. Aku terdiam, berpikir sejenak apakah aku sudah salah menduga tentangnya atau tidak. “Jadi, gue pikir daripada berselingkuh di belakang lo, gue putusin lo aja,” kataku, mencoba menjelaskan keputusan yang kuambil. Milea menunduk dalam, beberapa tetes airmatanya jatuh ke celana yang dia pakai. Rambut panjangnya terjuntai dan kulihat ia mulai terisak. Kasihan memang, tetapi akan sangat menyakitkan jika hubungan ini diteruskan. Aku memang menjadikannya pacarku, tetapi aku tidak pernah mengatakan kalau aku mencintainya. Catat itu! “Kenapa?” tanyanya dengan suara pelan. Aku terdiam, mencoba memberinya waktu. Karena sebenarnya dia tidak butuh alasan, hanya mencoba membuatku berpikir ulang agar membatalkan keputusanku. “Padahal gue udah berusaha ngelakuin yang terbaik, gertiin lo dan ngelakuin apapun yang gue bisa untuk mempertahan hubungan kita. Tapi kenapa? Kenapa lo tetep mutusin gue huh?” nada suara Milea meninggi, sepertinya emosinya mulai meluap. Awalnya aku kira dia berbeda sehingga agak ragu dengan keputusan ini, tetapi sepertinya keputusanku sudah benar. “Lo nggak salah kok, Mil! Ini sepenuhnya salah gue.” lembut, kucoba menjelaskan lagi situasinya bahwa hubungan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi. “Nggak! Ini bukan salah lo, ini salah cewek penggoda yang udah ngebuat lo berpaling dari gue! Gue nggak terima diginiin! Gue nggak bisa, gue-.” Aku bangun dari dudukku lalu kupeluk dia. Dia meronta, kupeluk lebih erat dan ia tetap berusaha menolakku. Kucoba terus dan akhirnya ia melemah. Pada akhirnya dia menangis di pelukanku hingga dadaku terasa panas dan basah karena airmatanya. Kuusap lembut rambutnya mencoba menenangkan dirinya. “Kenapa? Kenapa? Kenapa?” ia terus mengatakan kata itu seolah ia tidak sedang bertanya, hanya menyesali apa yang sedang terjadi. Putus memang menyakitkan, apapun alasan yang diberikan itu tidak akan mengubah apapun. Karena perpisahan akan selalu menyakitkan, bagi yang ditinggalkan maupun yang meninggalkan. “Gue cinta sama lo, kenapa lo tega kayak gini ke gue? Gue pengen sama lo selamanya,” gumam Milea. Aku melepas pelukanku, setengah berjongkok, kutatap dia yang dalam posisi duduk. Kutatap mata indahnya dan wajahnya yang menjadi sedikit lebih jelek karena produksi airmata membuat area wajahnya membengkak terutama di bagian mata, hidung dan pipi. Aku tersenyum kecil lalu kuusap airmata di pipinya yang baru saja turun dari kelopak matanya. “Mil, nggak ada kata selamanya di dalam sebuah hubungan!” sanggahku. “Sekuat apapun kita berusaha, kita akan bersama sementara. Lambat-laun kita akan berpisah, karena putus atau mati! Lo udah berusaha dan menjadi pacar gue lebih dari seminggu, itu udah bagus!” Milea menatapku dengan aneh, rasa sedihnya sepertinya sudah berganti menjadi rasa jengkel. “Lo bakal move on, hanya butuh waktu untuk ngelupain gue dan ngebuka hati lo buat yang lain!” kataku menimpali. “Mudah banget ya buat lo ngomong gitu?” katanya ketus. Aku tersenyum. “Yah, sudah 96 putus, sih! Pengalaman,” kataku santai. Milea berdecak kesal. “Rumor lo playboy ternyata benar ya,” cibirnya. Aku tergelak pelan. “Wah, rumor memang menyeramkan. Jadi lo percaya?” tanyaku sedikit menggodanya. “Awalnya nggak, sekarang iya!” jawab Milea dengan yakin. “Lo emang playboy nggak tahu diri!” umpatnya. Plak. Ia menamparku, cukup keras dan membuatku sedikit jengkel. Milea berdiri lalu melampirkan tas slempangnya ke pundaknya. “Kita putus! Gue nggak mau kenal lo!” dengusnya kesal. “Nggak mungkin!” kataku lalu berdiri. “Huh? Kenapa kok gitu?” tanyanya heran. “Kita satu sekolah, kelas lo di sebelah kelas gue. Lo ketua kelas dan gue juga, mau nggak mau pasti kita ketemu dan harus berinteraksi satu sama lain. Ya kan?” jelasku. Milea menggigit kesal bibirnya. “Lo dilarang bicara sama gue kalau nggak ada kepentingan kelas atau sekolah, ngerti lo!” katanya lalu berbalik pergi. Aku memandang Milea yang berjalan pergi, airmatanya sudah kering. Dia sudah tidak lagi sedih, malah sedang marah sekarang. Well, setidaknya putus yang berakhir dengan satu-dua tamparan di pipi tidak terlalu menyedihkan daripada harus putus baik-baik tetapi kemudian bermusuhan seumur hidup. Aku tidak suka putus dengan cara itu. Aku duduk kembali di kursiku lalu memakan kentang goreng yang sudah dipesan tetapi belum sempat dimakan. Rasanya masih sama, kentang goreng. Putus tidak akan mengubah rasa kentang goreng menjadi pupuk kandang. Walau aku tidak tahu, rasa pupuk kandang itu bagaimana dan belum gila untuk mencobanya. Sudah kukatakan dari awal bukan? Semua usaha membutuhkan modal dan skill. Demikian pula menjadi playboy, Don Juan atau apapun sebutan kerennya. Soal modal, kurasa menjadi tampan, kaya dan pintar bukanlah kesalahanku. Ini salah ibuku yang menikahi ayahku sehingga menjadikanku paket complete. Demikian pula skill. Aku sudah dilatih memanage waktu dengan baik karena terlahir dari keluarga yang memiliki kedisiplinan tinggi. Ayahku seorang dokter gigi sedangkan ibuku adalah seorang dosen sastra. Jadi, membaca situasi dan membolak-balikkan kata, itu sudah menjadi keahlian genetik yang diwariskan mereka kepadaku. Aku sangat menyukai keahlian ini karena sudah selevel dengan matematika. Sudah pasti, hanya butuh perhitungan yang benar dan tepat. Sebenarnya aku tidak pernah menandai diriku dengan sebutan playboy . Aku hanya berusaha untuk menerima yang datang, mengejar yang dianggap menyenangkan dan mencoba mengenal banyak karakter cewek dengan hubungan ‘pacaran’. Terlepas dari apapun  rumor tentangku yang kemudian menyebar karena kebiasaanku untuk memutuskan hubungan saat aku mendapat yang baru, itu di luar kendaliku. Aku tidak terlalu memusingkannya. Bagiku, rumor tidak menentukan siapa kita, tetapi kita yang menentukan siapa diri kita sebenarnya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD