Aku menatap tante Farida dalam diam. Tersenyum kikuk mendengar pertanyaannya. Kenapa pertanyaan tersebut bisa terlontar dari mulut tante Farida secara tiba-tiba. Membuat aku terpana. Apa yang beliau tahu tentang aku dan Abi, sehingga pertanyaan itu muncul. Sudah sejauh mana beliau tahu tentang semua ini.
Karena aku juga bingung harus menjawab apa, aku hanya bisa membuka dan menutup mulutku.
"Tante memang tidak begitu paham dengan permasalahan yang kalian hadapi. Tapi, Tante berharap yang terbaik untuk kalian semua." Seolah mengerti dengan perasaanku, tante Farida tidak memperpanjang pertanyaannya.
Kemudian suara pintu dibuka berbunyi. Aku dan tante Farida menoleh bersamaan. Dokter dan seorang perawat keluar dari dalam kamar, diikuti Abi. Lalu Abi memberi kode kepada ibunya untuk menemani Rey yang ada di dalam.
"Bi," tante Farida bangkit berdiri. Aku juga mengikuti. "Tante pamit ya, mau melihat Sera sebentar. Tante juga belum pernah bertemu dengannya."
"Iya, Tante. Silakan. Maaf kalau sudah merepotkan Tante."
"Tidak sama sekali, Bi. Tante yang seharusnya berterima kasih."
Tante Farida pergi setelah berpamitan dengan Rey dan orang tua Abi. Menuju ruang rawat Sera yang ada di lantai dua rumah sakit ini. Dan menyisakan aku yang masih berdiri canggung.
"Masuk," perintah Abi. "Ibu ingin berkenalan denganmu."
Aku mendongak, lalu melotot ke arah Abi. "Kenalan?"
"Iya, ibu mau kenal sama calon istri anaknya."
"Hah?" Aku mencekal lengan Abi yang tenggelam di dalam kantung celananya. Terlihat jam tangan hitam besar bertengger di tangannya. "Bagaimana bisa kau bilang aku calon istri? Kau gila, ya?"
"Aku memang sudah tidak waras semenjak kenal denganmu. Jadi kalau aku gila karenamu, salahkan dirimu saja."
"Bi, tunggu." Lagi-lagi aku menahannya.
"Santai, dong. Ibuku tidak menggigit."
"Bi, kurasa situasinya tidak tepat. Jangan sekarang. Please." Aku memohon padanya. Mengiba agar Abi mengabulkan permintaanku.
Bukannya aku tidak mau bertemu dengan orang tua Abi, tapi kurasa memang situasi dan kondisinya tidak tepat saja. Rey masih sakit. Ditambah Abi masih berstatus suami orang. Walaupun itu hanya di atas kertas. Bagaimana ceritanya aku dikenalkan sebagai calon istri dari suami orang. Aku tidak ingin semuanya jadi tidak pas.
Abi nampak keberatan, tapi dering ponselnya menginterupsi kami. Dia merogoh kantung celananya, lalu mengusap layar ponsel dan berbicara dengan si penelepon.
Setelah dia selesai bicara, dia menatapku seolah sedang menimbang sesuatu.
"Kau mau ikut?" Tanyanya.
"Ke mana?"
"Sera."
Aku sempat tertegun. Dan belum sempat menjawab, dia sudah menautkan jemarinya di jemariku. Aku terkejut saat dia berjalan menuntunku. Aku suka lengannya yang kekar dihiasi jam tangan dengan merk terkenal. Kakinya yang panjang mengenakan celana bogo, dan badannya yang bidang dengan t-shirt polos abu-abu.
Kami menaiki lift menuju lantai dua rumah sakit. Lalu berhenti di depan ruang rawat inap Sera. Abi membuka pintu tanpa mengetuk. Suasana di dalam sungguh sepi. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aku celingukan ke sekeliling ruangan. Tapi tidak ada Sera di sini. Tempat tidurnya juga kosong. Kemudian tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Sera yang ada di atas kursi roda keluar, di dorong oleh seorang perawat.
Dia nampak tercengang melihatku, tapi segera dia menguasai diri.
"Terima kasih suster." Ucap Sera pada perawat itu sebelum pergi.
"Aku tidak bisa berjalan ke toilet sendiri. Dan juga harus dibantu untuk duduk di kursi roda. Tadi tidak ada orang di sini, jadi aku menelpomu." Tutur Sera memberi penjelasan. "Aku mau kembali ke tempat tidur."
"Kenapa tidak sekalian dibantu oleh perawat tadi?" Tanya Abi dingin.
Sera menyunggingkan senyumnya. Wajahnya tampak pucat. Tidak ada hiasan make up di sana. Tapi masih saja menawan. Bibirnya masih merah muda walau tanpa lipstik. Sungguh sangat tidak adil.
"Haruskah aku terus meminta tolong pada perawat, sedangkan suamiku ada di sini?" Aku menoleh pada Abi, untuk melihat reaksinya. Wajahnya masih datar. "Oh, ya. Aku lupa. Ternyata dia sibuk dengan wanita lain. Dan berani membawa wanita itu ke hadapanku, sambil bergandengan tangan. Apa kau tidak tahu malu, Ana?"
"Cukup, Sera." Tegas Abi. "Kau tahu ini semua tidak seperti itu kenyataannya. Kita bukan suami istri sungguhan. Dan kau sendiri yang membuat itu semua."
Wajah Sera berubah mengeras. Dia mungkin terkejut Abi bisa setegas ini padanya. Sedangkan aku hanya diam saja menyaksikan perdebatan mereka. Aku hanya tidak tahu harus bagaimana. Melerai atau ikut bicara. Sepertinya dua pilihan itu sama-sama bukan gagasan bagus.
Bisa aku rasakan Abi mencengkeram jemariku kuat-kuat. Seolah dia mau meremukkan tulang-tulang ku.
"Bantu aku untuk naik ke tempat tidur." Ucap Sera tidak nyambung.
"Kau bisa bantu dia?" Aku kembali menolehkan kepalaku cepat-cepat. Aku?
"Aku?" Tanyaku heran, menunjuk pada diriku sendiri.
"Ya, bantu Sera naik ke tempat tidur."
"Aku mau kau yang membantuku, Bi. Tidak salah, kan?"
Tatapan Sera jatuh tepat kepadaku dengan tajam. Dahiku berkerut bingung. Bukan aku jahat atau apa, tapi aku risih saja kalau harus membantu Sera.
Abi menatapku, dan aku mengedikan kepalaku tanda memberi persetujuan padanya untuk membantu Sera. Aku sama tidak keberatan. Dia sedang sakit, dan butuh bantuan. Asal bukan memanfaatkan keadaan saja.
Tautan jemari kami dilepas oleh Abi. Seketika tanganku merasa hampa, dan juga berkeringat. Pegangan tangan lama-lama tidak enak juga ternyata. Lalu Abi mendorong kursi roda Sera menuju tempat tidur.
Katanya kakinya patah, tapi entah kaki yang mana. Jadi mungkin dia tidak bisa berjalan. Aku melihat Abi mengangkat tubuh Sera dari atas kursi roda. Dan tangan Sera melingkar ke belakang leher Abi. Entah kenapa saat Abi mengangkat dan menaruhnya di atas tempat tidur, wanita itu menyunggingkan senyumnya padaku. Aku mengerutkan dahi. Ada apa dengannya.
Setelahnya, Abi menutup kaki Sera dengan selimut. Tapi saat Abi akan beranjak, Sera menahan lengan Abi.
"Temani aku di sini." Pinta Sera.
"Aku harus menemani Rey."
"Bukankah Ana ke sini untuk Rey?" Sera menatapku. Diikuti oleh Abi. "Di sini tidak ada siapa-siapa."
"Aku bisa panggilkan perawat untuk menemanimu."
"Kau tidak lupa pada janjimu, kan?" Wanita itu sangat pantang menyerah. Pandangannya menatap Abi dengan intens.
Sepertinya sebelumnya mereka ada dalam tawar menawar yang aku tidak tahu. Karena seketika saja pria itu terdiam, menundukan kepalanya seolah sudah kalah telak. Dan secara perlahan seperti menyeret langkahnya, dia mendekat padaku.
"Kau tidak keberatan aku di sini?" Tanyanya. Aku melihat Sera sekilas. Dia seperti sengaja melakukan ini di depanku.
Aku jadi teringat ucapannya tempo hari. Dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan Abi kembali. Dan aku menyadari kalau pria yang dia sesalkan kepergiannya adalah Abi. Pria yang dulu mencintainya habis-habisan. Setelah Viona, muncullah Sera. Dan kurasa wanita ini lebih berbahaya.
Lalu, aku harus bicara apa?