Apa dia bilang?
Abi menatap sendu padaku. Bukannya aku mau membanding-bandingkan. Saat dulu Ben melamar ku, wajahnya berseri, senyum tulus mengembang, bucket bunga, dan cincin emas permata. Sedangkan Abi, wajahnya nampak sedih, seolah dia sedang dipaksa mengajakku menikah.
Permintaannya bukan seperti permintaan tulus, tapi seperti menawarkan jalan keluar. Aku tertawa kecil. Dia sudah berada di jalan buntu. Tapi, menjadikan pernikahan sebagai jalan keluar untuk sebuah masalah bukan gagasan yang baik.
"Kau mengajakku menikah, di saat dirimu masih menjadi suami orang." Aku menyemburkan tawa meremehkan. "Kau lebih tidak tahu diri dari pria tak tahu diri." Aku menekan ujung jariku di depan Abi. "Mau dicatat di pengadilan mana namaku saat menikah denganmu? Hah? Mau kau jadikan apa aku nanti? Istri kedua? Istri simpanan? Dan menikah dengan cara apa? Menikah siri? Iya?" Cecar ku murka. "Kau... You are jerk, Bi."
Aku melangkah pergi dari tempatku berdiri. Berjalan sempoyongan karena menginjak bebatuan.
"An, tunggu." Dia mencekal lenganku. Tapi segera aku tepis.
"Kau mau menikah denganku?" tanyaku dengan nada menantang.
"Ya,"
"Ceraikan dulu istrimu!" Aku menggeram dengan menyoroti matanya dengan tajam.
Oh, apakah aku terdengar seperti wanita keja? Tapi, dunia juga kejam padaku. Nampaknya, aku memang sedang dalam fase kacau balau parah. Sedang tidak bisa diajak diskusi dengan kepala dingin. Jadi, kelakuanku persis seperti remaja yang merajuk. Pergi dan menghindar. Bukannya menetap, mencari jalan keluar. Tapi kurasa sudah tidak ada jalan keluar untuk masalahku saat ini.
"Aku sudah membicarakan ini pada pengacara ku. Gugatan perceraian akan segera masuk ke pengadilan. Semua bisa di proses setelah Sera sembuh." Dia nyaris berteriak di belakangku. Langkahku terhenti mendengar semuanya. "Sekali lagi aku minta padamu, sebentar saja, tunggu aku."
Mataku terpejam, lalu menghela napas kasar. Berbalik kembali melihatnya berdiri di sana. Kedua bahunya merosot. Ekspresi wajahnya sudah tak tertolong lagi.
"Karena aku perempuan, aku akan menunggu." Ucapku pada akhirnya. "Tapi tidak selamanya."
Walau sedikit, aku melihat senyumnya terbit di wajahnya. Dan aku harap semuanya memang sesuai dengan rencana.
***
Hari ini aku bersyukur, aku dikabarkan kalau Rey sudah sadarkan diri. Karena Naya masih berada di Lembang sementara yang lain sudah pulang, jadi aku minta Naya untuk menemaniku pergi ke rumah sakit. Untuk melihat kondisi Rey.
Aku mendapat notifikasi pesan w******p dari Abi yang memberitahu ruang rawat Rey. Jadi, ketika aku dan Naya sampai di rumah sakit, aku langsung menuju ruang rawat Rey. Dia ada di ruang anak VIP. Ternyata bangsal anak berbeda dari bangsal orang dewasa. Pada ruangan anak terlihat lebih segar karena dinding dihiasi lukisan khas anak-anak. Bergambar berbagai macam binatang.
Lorong nya pun terang benderang. Ruang tunggu dengan kursi warna-warni. Baru saja kakiku mencapai pintu, aku menemukan banyak pasang sepatu dan sandal di rak. Sepertinya sedang ada banyak orang di dalam. Aku ragu untuk masuk, tapi Naya sudah terlanjur membukakan pintunya.
Saat pintu terbuka, semua pasang mata yang ada di dalam menoleh pada kami. Aku dikejutkan oleh keberadaan tante Farida dan juga Ben. Lalu ada seorang wanita paruh baya, dan pria tambun dengan rambut beruban. Aku mengangguk pelan dan tersenyum canggung pada mereka yang ada di sini. Lalu menyeret langkah kaki yang terasa berat.
"Yang mulia ratu," suara Rey terdengar nyaring, seperti bukan orang yang baru saja terbangun dari koma. Syukurlah anak itu tidak kehilangan keceriaannya.
"Hai, Rey." Sahutku tersenyum kaku. "Bagaimana keadaan prajuritku?"
"Aku merasa lebih kuat." Seru Rey sambil mengangkat kedua tangannya, membentuk otot.
Lalu aku melihat tante Farida yang berdiri tak jauh dari Rey. "Tante," Aku mendekat, lalu menyalami tante Farida.
Aku sudah lama tidak bertemu dengan beliau. Terakhir berkomunikasi saat batalnya pernikahanku dengan Ben. Tante Farida menghubungiku lewat telepon. Ben menceritakan semuanya pada tante Farida soal batalnya pernikahan kami. Termasuk kalau Ben punya anak diluar nikah. Mungkin tante Farida sudah diperkenalkan kepada Rey. Tapi sebagai apa. Mana mungkin orang-orang dewasa ini berkata jujur pada anak usia 6 tahun.
"Apa kabar, Ana?" Tante Farida memelukku lalu mengusap punggungku lembut.
"Baik, Tante. Kabar Tante sendiri bagaimana?"
Tante Farida tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum teduh padaku. "Baik, sayang." Tukasnya lemah lembut.
Ben beruntung memiliki ibu seperti tante Farida. Ibu yang baik, dengan tutur kata penuh sopan santun, lemah lembut, dan juga pengertian. Sayang, kelakuan anaknya diluar batas kewajaran.
"Hai, Ben." Ben berdiri di samping tante Farida, mustahil aku tidak menyapa.
"Hai," jawab Ben dingin. Dia selalu begitu. Tidak pernah berubah. Dia perlu les vocabulary.
"An, ini ibu dan ayahku." Ucap Abi. Tahu-tahu dia sudah ada disampingku entah sejak kapan.
"Tante, Om." Aku mengangguk kecil, lalu menyalami mereka satu per satu. Ibu dan ayah Abi tersenyum.
"Ini, Ana, Bu, Yah." Tutur Abi memperkenalkan kami.
Seketika wajah ibunya Abi nampak terkejut, dengan mulut membentuk huruf O. Apa yang sudah diceritakan pria ini sehingga mereka begitu kaget melihatku.
"Heni. Ibunya Abi." Wanita dengan kerudung merah marun itu mengulurkan tangannya padaku. Dengan cepat aku menyambut uluran tangannya.
"Ana, Tante." Ucapku. "Oiya, ini, Naya. Temanku." Aku tidak lupa bersama siapa aku ke sini. Agar Naya tidak merasa terlupakan, aku memperkenalkan Naya kepada semua yang ada di sini. Naya menyalami mereka dengan sopan. Kecuali Ben dan Abi.
"Permisi, saya pamit keluar." Tiba-tiba Ben bicara. Kemudian tanpa menunggu persetujuan, dia keluar. Tapi sebelumnya dia mengusap singkat kepala Rey.
Keadaan semakin canggung saat ini. Aku melirik pada Naya. Dia juga sedang mematung di tempat. Untuk menghilangkan rasa gugup, aku menggigit bibir bawah ku. Baru saja aku akan mendekat pada Rey, tapi seorang dokter dan satu orang perawat masuk ke dalam kamar.
"Selamat pagi." Dokter itu memberi salam.
"Pagi, dokter." Koor kami bersamaan.
"Selamat pagi, Rey." Sapa dokter itu pada Rey dengan senyum menawan. "Bagaimana keadaanmu? Sudah menjadi lebih baik?"
"Aku kuat dokter. Seperti spiderman." Jawab Rey tangkas. Dan kami semua tertawa.
"Good, Rey." Dokter itu mengacungkan jempolnya ke atas. "Saya akan memeriksa kondisi Rey. Yang lain bisa tunggu di luar sebentar. "
Dan kami semua ke luar ruangan bersamaan, kecuali Abi. Dia menemani Rey di dalam.
***
Aku dan Naya duduk di bangku tunggu, di Koridor rumah sakit. Tepat saat aku akan membuka ponsel, tante Farida duduk di sampingku. Seolah mengerti, Naya langsung melipir memberi ruang pada kami.
Aku tersenyum pada tante Farida.
"Ana," Suara lembut tante Farida berdengung. "Tante minta maaf, karena belum mengunjungimu setelah kau dan Ben batal menikah. Tante mewakili Ben, untuk meminta maaf padamu karena membuatmu kecewa."
"Tidak, Tante," Sergahku cepat. "Tidak ada yang salah, dan tidak ada yang perlu dimintai maaf." Aku memegang tangan tante Farida. "Keputusan ini benar-benar pilihan kami berdua. Dan aku juga sudah buat Tante kecewa."
"Tapi, Ben. Dia.. Punya anak, An." Suara tante Farida tercekat. "Tante tidak pernah tahu. Tante.. Gagal telah mendidiknya."
"Ben juga tidak tahu, Tante. Maka dari itu, begitu Ben tahu, dia ingin menebus semuanya. Menebus kesalahannya di masa lalu."
"Dia sudah banyak melukaimu." Tutur tante Farida. Ben yang berbuat, ibunya yang begitu merasa bersalah.
"Aku sudah tidak mempermasalahkan itu." Ucapku. "Lagipula, itu terjadi jauh sebelum aku bersama Ben. Dan sekarang, kami sudah baik-baik saja." Aku tidak tahu bagian mananya yang terlihat baik-baik saja. Tapi, menceritakan detail yang terjadi kepada tante Farida juga tidak mungkin.
Tante Farida tersenyum menatapku. Senyumnya yang teduh.
"Kau... Akan menikah dengan Abi?"
Lantas pertanyaan tante Farida berikutnya membuat aku ternganga. Gelagapan, dan tidak tahu harus menjawab apa. Seolah pertanyaan tante Farida adalah soal ujian nasional yang paling sulit.