Aku nyaris gila

1018 Words
Kembali pada prinsip awal. Menunjukan rasa cemburu secara terang-terangan, hanya akan menurunkan kredibilitas mu sebagai wanita. Walau rasanya aku ingin mengatakan tidak pada Abi keras-keras, tapi itu tidak akan aku lakukan. Jadi, aku hanya bisa berkata. "Ya, aku bisa menemani Rey." Suaraku rendah serendah mungkin. Tapi sebelum aku keluar dari ruangan ini, aku mendekat pada Sera. Menatap wanita yang berbaring di atas ranjang rumah sakit. "Status kalian hanya di atas kertas. Sedangkan pemilik hatinya, adalah aku." Ucapku tegas tanpa ada ekspresi apapun. Kemudian pergi tanpa harus menunggunya menanggapi ocehan ku. Melewati Abi yang berdiri tak jauh dari kami. Tapi aku yakini dia tidak mendengar apa yang aku katakan. Kalau iya, dia bisa besar kepala. *** Aku mencari Naya yang tidak ada di mana pun. Aku tidak mungkin ke ruangan Rey sendirian. Di sana ada orang tua Abi, tidak bisa aku bayangkan bagaimana canggung nya kalau aku ada di sana sendiri. Tapi aku tidak menemukan Naya di mana-mana. Setelah beberapa menit mencari aku baru ingat dengan benda yang bernama ponsel. Jadi, segera aku hubungi Naya. "Hallo, Nay." "Ya, An." "Kau di mana?" "Di kantin rumah sakit. Perutku minta di isi." "Oke, aku ke sana." Rumah sakit ini cukup besar, jadi aku kesulitan mencari keberadaan kantin. Dan aku putuskan untuk bertanya kepada perawat yang duduk di bagian informasi. "Iya, masa istrinya ditinggal sendiri, sedangkan suaminya bersama wanita lain. Dan lebih parahnya suaminya membawa wanita itu ke hadapan istrinya yang sedang sakit. Tidak bisa jalan." "Perempuan seperti itu tuh yang perlu dimusnahkan." "Padahal istrinya cantik, loh." Aku tidak tahu siapa yang sedang mereka bicarakan, tapi kenapa aku merasa tersindir. "Permisi," Aku mencoba menginterupsi mereka. Dan perawat itu menoleh padaku. Seketika aku kaget bukan kepalang. Itu kan, perawat yang membantu Sera ke toilet. Benar kan, mereka pasti sedang membicarakanku. Diperkuat dengan ekspresi wajah perawat itu yang jelas-jelas terkejut seperti sudah tertangkap basah. "Ya, Mbak." Perawat itu berdiri canggung. "Saya mau tanya, kantin di mana, ya?" "Di ujung lorong sana, Mbak. Dekat dengan masjid." "Oke, terima kasih." Kemudian perawat itu mengangguk, dan aku pergi dengan tampang angkuh. Enak saja membicarakanku yang tidak-tidak. Dengan perasaan kesal, aku berjalan menyusuri lorong mencari keberadaan kantin. Sesekali bertanya kepada petugas bersih-bersih. Akhirnya setelah berputar-putar aku menemukannya juga. Kantin ini lumayan ramai oleh pengunjung dan para pekerja rumah sakit. Kantinnya cukup modern. Seperti sedang berada di resto bandara. Ada segerombolan orang-orang mengenakan jas dokter warna putih. Dan juga seragam rumah sakit seperti yang dipakai oleh perawat tadi. Di dekat stan minuman aku menemukan Naya sedang duduk sendirian. Aku segera menghampirinya dan duduk di depannya. "Hey," mata Naya melebar. Dia sedang menyantap kuah sop buntut. "Traktir dong," sungut ku pada Naya. "Kau sudah benar-benar miskin?" Cibirnya. Merasa sangat tidak berdosa. "Ada yang membicarakanku dari belakang." "Siapa?" "Para perawat di rumah sakit ini." Mata Naya menyipit, dia memiringkan kepalanya. "Kau pernah menunggak tagihan rumah sakit?" Aku berdecak. Naya sama sekali tidak asik cara becandanya. Dia masih saja lahap menyantap makanannya. Sepertinya anak ini tidak makan selama satu minggu. "Aku dituding sebagai pelakor." "Hah?" Mulut Naya menganga. Untung tidak ada makanan yang tersisa. "Rumor dari mana?" "Aku tidak tahu," bahuku terangkat ke atas. "Bagaimana bisa para perawat itu membicarakanku seperti itu." "Kenapa ada rumor seperti itu?" Aku diam sejenak. Lalu berkata. "Mungkin karena aku datang bersama Abi ke kamar inap Sera, disaat perawat itu ada di sana. Jadi, dia salah paham. Dikira aku merebut Abi dari Sera." Naya tertawa terbahak, sampai-sampai matanya tinggal satu garis. Rumor ini dianggapnya sebagai lelucon. "Tapi, An, kalau dipikir-pikir apa yang perawat itu katakan, benar." Katanya di sela-sela tawa. "Kalau orang yang tidak tahu bagaimana kisah sebenarnya, kau memang dikira sebagai perebut suami orang. Apalagi sekarang Sera sedang sakit. Wajar sih kalau perawat itu menyangkakan itu padamu." Apa yang dikatakan Naya ada benarnya juga. Selama status mereka masih suami istri, aku pasti akan dianggap orang ketiga. Walau pernikahan mereka tidak pernah ada dalam artian sebenarnya. Hanya sebuah hitam diatas putih. Tapi orang-orang tidak akan bertanya tentang kebenaran pernikahan Sera dan Abi. Dan aku juga tidak bisa menjelaskan permasalahan yang sebenarnya kepada setiap orang. Ini baru perawat itu yang bicara. Dan pasti akan ada yang lain yang salah paham. "Aku harus bagaimana?" Tanyaku cemas. "Kapan pria itu akan mengubah statusnya menjadi duda?" Aku menggeleng lemah. "Aku jadi heran, kenapa tidak dari dulu dia ceraikan wanita itu." "Dulu dia cinta mati pada Sera." "Sekarang?" "Tentu saja, tidak." Tegas ku. Tapi Naya malah mengembuskan napasnya. "Kau bisa buktikan itu?" "Dia tidak mungkin berbohong, Nay." Naya diam sambil menatapku. Tanpa terasa piring dan mangkuknya sudah kosong. Dia sudah menandaskan isinya. Saat tangan Naya menyentuh punggung tanganku yang ada di atas meja, aku mulai terserang rasa panik. Bagaimana kalau Abi berbohong tentang perasaannya padaku. Bagaimana kalau ternyata perasaannya kepada Sera masih ada. Tersimpan rapi di sana. Tiba-tiba pikiranku melayang pada Abi dan Sera yang ada di ruang rawat inap. Mungkin saja, Abi sedang menikmati waktu berdua dengan Sera. Kalau ternyata dia menginginkan itu. Dan mungkin.. Aku berdiri dari tempat duduk ku. Aku tidak bisa diam saja di sini, sementara aku mengkhawatirkan apa yang terjadi di antara Sera dan Abi di sana. Aku tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Aku tidak bisa kalau ternyata Abi membohongiku. "Kau kenapa?" Tanya Naya, setelah dia menenggak minumannya. "Mau ke mana?" "Membuktikan kalau pria itu benar-benar sudah tidak mencintai istrinya lagi." "Astaga, An. Kau persis seperti wanita perebut suami orang." Ucap Naya berlebihan. Lalu dia meng geleng-geleng kan kepalanya. "Aku tidak peduli, Nay. Aku harus memastikan kalau dia tidak berbohong." "Lalu kau mau ke mana?" "Kembali ke ruang inap Sera. Abi ada di sana sedang menemani wanita itu." Kalau apa yang ada di dalam otakku ini benar, maka saat itu juga aku dan Abi harus benar-benar selesai. Tapi, kalau apa yang aku pikirkan itu, salah. Pria itu harus cepat-cepat membuat keputusan. Aku tidak bisa hidup dalam belenggu ketidakpastian. Aku tidak mau dicap sebagai perebut suami orang. Aku tidak ingin dibicarakan tentang hal yang tidak aku lakukan. Saat ini kredibilitas ku dipertaruhkan. Sambil memikirkan apa yang terjadi di ruangan itu, aku berjalan cepat nyaris berlari menuju sana. Selama perjalanan, aku terus berharap kali ini tidak sesuai rencanaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD