Kejadiannya begitu sangat cepat sehingga aku tidak tahu dari mana datangnya Ben, yang mendaratkan tinjuannya pada Abi yang kini tersungkur di lantai. Ben berada di atas Abi memukul wajah Abi bertubi-tubi. Ya, ampun bisa-bisa Abi mati kalau Ben terus meninjunya seperti ini.
"Ben! Demi Tuhan! Hentikan!"
Dalam kondisi yang masih terkejut, aku menarik kaus belakang Ben. Tapi sama sekali tidak ada perubahan. Ben terus memukul Abi seperti orang kesetanan. Aku mengawasi sekitar mencari siapa saja yang bisa menolongku. Sesaat aku menyesal telah membawa Abi ke tempat yang tidak ada orang.
"Ben, kumohon hentikan."
Kini posisinya berbalik. Abi yang ada diatas Ben. Gantian memukul wajah Ben dengan sisa-sisa tenaganya. Aku tidak bisa diam saja. Aku harus bertindak sesuatu agar mereka saling melepaskan diri. Aku harus apa, aku harus bagaimana. Tidak ada orang di sini, sementara dua orang pria t***l ini sedang menantang maut. Kenapa sih mereka harus saling memukul lagi.
Tiba-tiba ada seorang wanita yang menendang tubuh Abi hingga terjungkal. Aku terpana saat melihat Syafia sang guru yang melakukan gerakan memisahkan tersebut. Aku segera menghampiri Abi yang terkapar di lantai.
"Bi, astaga, wajahmu babak belur." Abi terbatuk lalu menyentuh tanganku yang berada di dadanya. Mencengkeram kuat sambil menatapku dengan matanya yang setengah terbuka. Aku pernah melihat korban kecelakaan dengan wajah berlumuran darah dengan hati yang teguh. Tapi melihat kondisi wajah Abi yang tidak seberapa parah dengan korban kecelakaan itu justru membuat aku tidak kuat melihatnya. "Bi, kau masih bernapas, kan?"
Belum sempat aku memastikan apakah kondisi Abi baik-baik saja, ada yang menarik tanganku hingga aku terbangun.
"Jika alasanmu membatalkan pernikahan kita adalah dia, aku tidak akan pernah menerimanya. Kau harus tetap menikah denganku, Ana."
Gila. Ben gila. Mata Abi tertutup perlahan dan tubuhnya terkelepar di lantai dengan mengenaskan. Aku berusaha menyentak tanganku agar terlepas, tapi Ben memiliki tenaga lebih kuat dan berhasil membawaku dari tubuh Abi yang mungkin bisa saja mati.
Ben sialan. Jika tidak semenyenangkan ini rasanya, aku tidak ingin menjadi Bella Swan. Aku hanya ingin mencintai dan dicintai oleh satu orang yang sama. Tidak mau dua. Tidak mau.
***
Ben mengempaskan aku ke dalam mobilnya. Menutup pintu mobil dengan kasar dan mulai menekan pedal gas sekencang yang dia bisa. Dia sama sekali tidak memedulikan tanganku yang merah akibat cekalannya, dan degup jantungku karena berkendara ugal-ugalan.
"Kau selalu mempermasalahkan perasaanku pada Sera, tapi ternyata kau sendiri yang mengkhianati hubungan kita."
"Aku tidak pernah mengkhianati hubungan kita." Kalau ciuman dengan pria lain tidak bisa disebut dengan pengkhianatan.
"Kau membatalkan pernikahan kita karena kau mencintai Abi, kan?"
"Ya! Aku mencintainya. Tapi bukan dia alasanku membatalkan pernikahan kita."
Wajahnya terperangah mendengar jawabanku. Namun dia kembali menguasai diri. "Kau selalu mengungkit masa laluku dan membuatnya sebagai masalah."
"Kau sendiri yang mengangkat masa lalumu ke permukaan. Kau sendiri yang tidak pernah melupakan masa lalumu dan tanpa sadar kau masih menyimpan masa lalumu di lubuk hatimu yang paling dalam, sampai kau lupa kalau aku juga berhak berada di hatimu."
Ben masih fokus ke jalanan. Mobilnya menyalip mobil lain dengan kecepatan tinggi. Diam-diam aku mencengkeram seat belt dan berdoa dalam hati semoga aku tidak sampai mati muda.
"Kau tidak pernah menanyakan bagaimana perasaanku saat aku tahu masa lalumu dengan Sera. Kau tidak pernah menanyakan perasaanku saat aku tahu kalau ternyata kau masih mencintai Sera. Kau juga tidak menanyakan apa yang aku rasakan saat aku tahu kalau kau punya anak diluar nikah."
Astagfirullah, untung Ben cepat membanting setir sehingga tukang ojek online itu masih berada di jalan yang seharusnya, walau motornya oleng ke kiri dan ke kanan.
"Kau juga menganggap semuanya seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak menanyakan bagaimana perasaanku setelah ku tahu hubunganmu dengan Viona itu..." aku memalingkan wajah sekilas ke jendela. "Bahkan aku tidak sanggup mengatakan jenis hubungan apa yang kau miliki dengannya."
"Baiklah!" Ben mengacak rambutnya. "Aku tahu aku salah. Aku tahu. Tapi harus seperti ini tanggapanmu padaku?"
"Kau menginginkan aku seperti apa? Aku sudah banyak memberimu waktu berpikir dan membiarkan diriku selalu berharap kalau suatu hari nanti kau berubah, tidak mengabaikanku, sedikit memperhatikan aku, tidak menjadikan aku sebagai perempuan batu loncatanmu." Mobil Ben oleng ke kanan karena menghindari CRV. Tanganku menahan tubuh ke pintu mobil. Mungkin sebentar lagi aku akan mengalami mabuk perjalanan. "Kau sama sekali tidak menghargai perasaanku dengan tidak menyimpan masa lalumu di tempat yang berbeda." Ya ampun, ya ampun di depan ada truk. Aku menahan napas saat mobil Ben melaju diantara truk dan bus. "Ben, kau mau kita mati?!" Dadaku mencelos saat baru saja kami selamat dari maut.
Setelah keadaan kembali normal aku baru ingat kalau aku belum selesai bicara. "Apa kau tidak sadar kalau kau tidak menjadikan aku prioritasmu, justru kau lebih mendahulukan dia yang tidak akan kembali ke dunia ini lagi." Tapi sekarang wanita itu sudah bangkit dari kuburnya.
Ben tidak menjawab. Dia hanya diam memandang lurus ke jalanan. Namun kecepatan mobilnya tak kunjung dia pelankan. Aku komat-kamit dalam hati saat Ben menyerobot kopaja dan masuk ke jalur Transjakarta. Menekan pedal gas lebih dalam.
Ini pelanggaran!
Ben langsung berbelok saat melewati tanda putar arah. Astaga apakah kami sedang di dalam film fast and furious.
"Berhenti, Ben!" Aku berteriak kencang. Sudah cukup. Aku mau muntah. "Berhenti, kataku."
Ben mendadak menginjak rem dalam sekali tekan, diringi dengan bantingan setir ke arah kiri, menepikan mobilnya di pinggir jalan. Aku bersumpah setelah ini, aku akan memenggal kepala Ben.
"Kau yakin kita tidak harus mempertimbangkan lagi, An?"
Wajahnya datar tapi nada bicaranya terdengar dingin. Sesaat aku melihat n****+ Kidung Sunyi di dashboard mobilnya. Ku rasa dia belum menghubungi Sera.
Aku melepas seat belt. Meraih tali tasku lalu membuka pintu seraya berkata. "Kalau kau ingin pertimbangan, temui aku di Read Eat jam 5 sore! Dan bawa n****+ Kidung Sunyi." Tandasku, sebelum aku benar-benar keluar dari mobilnya.
Hidup ini hanya perkara meninggalkan dan ditinggalkan. Kau akan mengalami salah satunya tanpa kau rencanakan. Dan aku meninggalkan Ben di dalam mobilnya yang menepi di tepi jalan tanpa rencana.
Aku akan pastikan sore ini akan menjadi babak baru bagi kehidupan Ben. Untuk masa depannya, dan juga untuk kelangsungan hidupku. Aku akan menjadi jembatan penghubung antara Ben dan masa lalunya. Masa lalu yang aku yakini masih tersimpan sangat rapi oleh Ben. Pria itu belum menyadarinya saja.