What's wrong with you, Sera?

1028 Words
Aku turun dari mobil Ben tanpa berpikir jernih. Akibatnya aku harus kembali ke sekolah Rey untuk mengambil mobilku yang tertinggal. Sejak perjalananku menuju sekolah Rey, aku terus menghubungi Abi. Tapi ponselnya tidak bisa di hubungi membuat aku khawatir. Sekolah sudah sepi saat aku sampai di sana seperti tidak ada perayaan apa-apa sebelumnya. Mobilku masih terparkir sendirian. Dan ponsel Abi masih tidak bisa aku telepon. Jadi, aku putuskan untuk langsung ke rumahnya saja. Gerbang rumah Abi terbuka, terlihat sebuah jazz putih terparkir di depan pagar. Sepertinya ada tamu. Aku berhenti sebentar sebelum aku memutuskan untuk tidak turun. Namun, belum sempat aku melajukan mobilku, sosok Abi dengan seorang wanita yang membuat kepercayaan diriku hilang keluar dari dalam rumah. Aku mencengkeram stir mobil, memerhatikan mereka secara lekat-lekat. Mendadak aku terserang panas dingin. Wanita itu tersenyum manis sekali pada Abi. Bisa ku lihat pria itu juga sama sekali tidak terganggu dengan kehadirannya. Gelagat Abi menunjukan kalau dia bukan pria patah hati yang ditinggal pergi oleh sang pujaan. Selama ini dia pasti tahu keberadaan Sera. Tapi kenapa justru dia mengatakan pada semua orang kalau Sera sudah meninggal. Sesekali tangan Sera memeriksa wajah Abi yang masih terlihat babak belur, dan Abi yang meringis seperti kesakitan. Kupikir tadi dia sedang sekarat dan diambang kematian. Tapi nyatanya dia masih bisa tegak berdiri disamping wanita yang dia cintai dalam-dalam. Selama sesaat aku termenung, tiba-tiba muncul sebuah ingatan. Bagaimana kalau selama ini mereka bekerja sama menutupi kebenaran ini. Lalu inilah waktunya untuk mereka kembali bersama. Spekulasi itu semakin kuat saat ku lihat tangan pria itu mengusap punggung Sera sebelum wanita itu masuk ke dalam jazz putih tersebut. Tidak mungkin sikap Abi bisa semanis itu kalau hubungan mereka tidak baik-baik saja. Aku menarik napas dalam. Seketika aku tersadar kalau ketakutanku selama ini menjadi kenyataan. Perasaan Abi yang begitu besar pada Sera tidak benar-benar terkubur. Seharusnya aku tahu itu. Dan seketika merasa beruntung aku belum sempat mengatakan padanya soal perasaanku. Ketika mobil Sera sudah melaju lebih dulu, aku menurunkan rem tangan, menginjak kopling dan memindahkan persneling. Tepat saat mobilku mulai melaju, Abi melihat ke arahku. Bisa ku lihat wajahnya yang lebam memunculkam ekspresk terkejut. Tapi, dia tidak berbuat apa-apa. Diam di tempat. Tidak juga berusaha mengejarku. Hah memangnya aku ini siapa. Tapi, baguslah. Dia tidak sampai dilarikan ke kamar jenazah. Malah aku yang saat ini mendadak menjadi seperti mayat hidup. *** Sebelum jam menunjukan pukul 5 sore, Ben sudah muncul di Read Eat. Tidak biasanya dia tepat waktu saat janjian. Ben masih menatapku tajam saat aku menaruh secangkir kopi hitam di atas meja. Aku tahu banyak sekali yang ingin dia sampaikan saat ini. Tapi seperti apa kata Abi, Ben memiliki krisis komunikasi. Aku mengetuk-ngetukan jemari pada permukaan meja kayu. Mendapati jarum jam seolah bergerak lamban. Aku memang tidak sabar untuk melihat bagaimana reaksi Ben dan Sera saat mereka bertemu nanti. Pasti akan menjadi pemandangan yang mengharukan, melebihi acara televisi termehek-mehek. Bagaimana? aku memang kekasih yang luar biasa. Oh, mantan kekasih lebih tepatnya. Ben meneguk kembali kopinya. Matanya bergerak menyusuri seluruh kafe bagaikan jari-jari seorang buta pada huruf braille. Tanpa diperintah sudut bibirku terangkat. Entah kenapa saat ini aku suka wajahnya yang panik, tidak sabar serta kepalanya yang plontos, yang hanya ditumbuhi rambut pendek seperti rumput sintetis di taman belakang rumah. Pandanganku mengikuti gerakannya kemudian berhenti seketika pada sosok wanita dengan balutan dres tanpa lengan warna pink salem. Berjalan ke arahku membawa tas tangan warna hitam yang dia sampirkan di pergelangannya. Rambutnya yang coklat bergelombang terurai menari-nari bagaikan iklan sampo di televisi. Dia begitu sangat sempurna. Hinggap beberapa pasang mata pria pengunjing Read Eat terpaku saat dia berjalab melewati mereka. Kecantikan yang paripurna kalau Naya katakan. Ben menyadari itu. Dia mematung di tempat, mencengkeram cangkir kopi yang aku yakini masih panas. Tapi tangannya kebas karena sama sekali tidak merasa kepanasan. Aku tahu sebentar lagi kenyataan itu akan datang. Pertimbangan yang dia tanyakan tidak akan lagi berfungsi. Dia akan segera melepaskanku dengan sukarela tanpa aku harus memohon padanya. Aku khawatir, Ben akan terkena serangan jantung begitu Sera sampai di meja kami. Dia berusaha untuk bangkit, tapi badannya bergerak mundur seperti orang mabuk. "Hai," aku diam melihat Ben di sebrang sana yang masih tertegun seperti melihat hantu. Kedua matanya membulat sempurna. "Sera." Akhirnya, Ben mendapatkan kesadarannya. Aku memutar bola mata. Sera diam saja. Tidak panik atau pun terkejut. Seolah dia tahu kalau hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Tapi aku tahu, dia sedang membangun tembok pertahanan diri yang tinggi. Apa aku bilang, semua wanita memiliki topengnya masing-masing, dan hanya wanita cerdas yang tahu kapan dia harus menggunakan topengnya. "Hai, Ben," ujar Sera santai. Sedangkan aku menatap wanita itu tidak percaya. Lihai sekali dia. Aku mendengus. Bagaimana bisa dia se kalem ini di hadapan pria yang telah menghancurkan hidupnya. Oh, aku belum tahu cerita sebenarnya seperti apa. "Sudah lama sekali tidak melihatmu. Kau.. Baik-baik saja?" Sebelumnya, aku tidak pernah berpikir bahwa menjadi jembatan penghubung antara Ben dan Sera adalah gagasan terbaik. Ku pikir ini akan menjadi sebuah kisah sepasang kekasih yang lama tak di pertemukan, penuh air mata dan drama. Tapi pemandangan di hadapanku jauh dari ekspektasi. "Aku.. Baik." Suara Ben tercekat, nyaris kehilangan suaranya. Dan dia masih dalam keterpanaan. "Abi bilang, kau.." Sera menutup mulutnya, dan tertawa kecil. "Jangan dengarkan apa katanya, dia memang selalu berguaru." Apa?! Bergurau? Jenis candaan seperti apa yang mengatakan kematian seseorang, padahal orang itu masih hidup. Aku memalingkan wajah sambil tersenyum getir. Ini sudah pasti, Abi dan Sera pasti sudah merencanakan semuanya. Aku sudah ditipu pria itu mentah-mentah. "Tapi," "Ben, aku baik-baik saja." Sera memegang tangan Ben. Lalu memberikan senyuman kecil padanya. Kemudian menarik kursi dan duduk di hadapan kami. Tubuh Ben masih terlihat sangat kaku. Membuat aku berjalan ke arahnya, lalu menuntun tubuh Ben agar sedikit lumer, dan duduk di atas kursi. Lalu aku menyodorkan satu gelas air putih untuk Ben minum. Dia mendapati kembali kesadarannya setelah menenggak habis air mineral tersebut. Padahal air itu bukan air mantra. "Jadi, mana bukunya? Aku bisa membawanya pulang?" Sera bertanya dengan senyumnya yang indah, lalu menyibakkan rambutnya ke belakang dengan anggun. Sesaat aku terpikir bisa saja Abi tahu pertemuan ini, dan sedang tertawa di sana. Hah tontonan macam apa ini? Sungguh di luar dugaan. What's wrong with you, Sera?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD