Aku tahu ini seperti bunuh diri. Tapi, aku harus memastikan segalanya. Memastikan kalau perasaannya padaku bukan hanya sebagai pelarian. Aku sudah siap dengan kenyataan pahit sekali pun. Jika Ben berubah pikiran setelah bertemu Sera, aku bisa pergi dengan tenang. Pun dengan Abi. Ya, mereka bisa baku hantam lagi karena Sera.
Seperti yang orang katakan di luar sana bahwa berbaring di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar dan membiarkan pikiran kita mengembara ke mana-mana adalah sebuah terapi sederhana agar otak kita kembali jernih. Tapi kenapa teori tersebut sama sekali tidak bekerja padaku. Sudah hampir lima belas menit aku berada di posisi berbaring di atas kamar menatap langit-langit, tapi tidak sedikit pun aku merasa isi kepalaku berubah jadi ringan. Justru bertambah penat.
Sudah berpuluh-puluh kali ponselku berteriak nyaring dan panggilan itu berasal dari Ben. Dan ini mungkin sudah yang kedua puluh kali, tapi bukan telepon masuk melainkan sebuah pesan singkat. Dengan rasa malas, aku membuka kunci layar ponsel dan sedetik setelah aku membaca pesan singkat tersebut aku terperanjat bangun dari posisi tidur. Kemudian menutup aplikasi pesan dan membuka aplikasi kalender.
Aku menepuk kening bodoh. Dalam situasi seperti ini aku bisa hilang ingatan juga. Tanpa membalas pesan dari Ben, aku segera beranjak dari tempat tidur, menyambar tas dan melesat menuju sekolah Rey.
Bagaimana aku bisa lupa dengan acara perpisahan sekolah Rey.
Aku sampai tepat setelah acara puncak itu selesai, dan dengan sangat menyesal aku sama sekali tidak melihat penampilan Rey di atas panggung. Katanya, dia menari dan bernyanyi bersama teman-temannya. Beberapa kali, Rey, mengatakan padaku agar aku datang untuk menyaksikan penampilannya, dan ku rasa sekarang dia pasti kecewa.
Dengan terburu-buru aku masuk ke dalam sebuah aula tempat diselenggarakannya acara perpisahan sekolah Rey. Sepertinya aku memiliki keberuntungan hari ini, acara unjuk bakatnya selesai, tapi acara wisudanya baru saja dimulai dan dari jarak yang lumayan jauh aku melihat Rey berada di atas panggung bersama teman-temannya mengenakan toga. Bagi anak TK baju wisuda dan toga bukanlah kostum yang istimewa, karena mereka tidak perlu sampai nangis darah demi memakai baju tersebut.
Aku bergerak karena orang-orang yang memadati aula mulai menghalangi pemandangan. Tapi belum sempat berada di tengah-tengah aula, mataku menangkap sosok pria yang berdiri di depan sana.
Seketika jantungku melesat naik ke tenggorokan. Berpacu lebih cepat dan tak beraturan. Bahkan hanya dengan melihat punggungnya saja tubuhku sudah panas dingin begini. Alih-alih tidak memedulikannya, aku justru menyentuh lengannya. Dia tersentak dan membalikan badan. Dia menegang di tempat lalu menyunggingkan senyuman yang terlihat sangat canggung.
Sejak kalimat perpisahannya beberapa hari yang lalu dan berakhirnya hubunganku dengan Ben, kurasa aku harus memberitahu dia sesuatu. Tentang aku, tentang perasaanku. Harus. Harus.
Riuhnya tepuk tangan membuat pandangan Abi teralihkan ke atas panggung. Sebelum dia menemui Rey ke sana, aku harus bicara sekarang. Di sini.
"Abi."
Kedua tangannya terlepas dari genggamanku, terangkat untuk memberikan tepuk tangan. Aku menghela napas kemudian melihat sekilas ke atas panggung. Di sana ada satu orang murid perempuan yang sedang bernyanyi.
Aku tidak boleh kehilangan kesempatan emas ini.
"Bi." Aku menarik ujung kausnya membuat dia menolehkan kepalanya padaku. "Aku mau bicara." Abi mengernyitkan dahinya dan secara otomatis mendekatkan wajahnya padaku. Aku tahu suaraku kalah dengan teriakan berisik dan tepuk tangan dari orang-orang didalam sini. "Aku mau bicara!" aku meninggikan nada suaraku. Tapi Abi masih tidak mendengar. Dasar tuli.
Ku rasa aku tidak punya waktu lagi untuk menaikan satu oktaf nada bicaraku, jadi aku menarik tangannya untuk keluar dari gedung ini. Menyingkir dari keramaian agar aku bisa menyampaikan maksud dan tujuanku.
"Ada yang harus aku katakan padamu." Aku membawanya ke sebuah koridor kelas yang sepi. Saat menatap wajahnya, aku tahu bahwa sebentar lagi kebahagiaan itu akan segera datang. "Aku tidak bisa menunggu sampai besok atau sampai satu jam lagi. Harus sekarang." Aku tahu aku terlalu banyak birokrasi. Tapi, aku juga tidak dapat menahan rasa bahagia yang membuncah di dadaku. Aku harus mengatakan pada Abi bahwa aku dan Ben berpisah. Kami batal menikah.
"Ada apa? ada masalah dengan pernikahanmu?" Abi duduk di sebuah bangku yang terbuat dari semen. Ekspresi wajahnya terlihat biasa saja dan sama sekali tidak tertarik dengan apapaun.
"Tidak." Aku menggelengkan kepala penuh semangat. "Sama sekali tidak ada masalah." Tentu saja tidak ada masalah. Karena memang tidak akan ada pernikahan.
"Kalau kau mau memaksaku untuk datang ke acara pernikahanmu besok, aku tidak mau." Tegasnya. "Aku juga tidak bisa. Aku mau pergi."
"Hah? Pergi? Ke mana?"
"Ke mana saja, yang tidak ada kau di dalamnya."
Reflek aku meninju lengannya. "Jangan bicara sembarangan."
"Aku serius."
"Abi, ini bukan saatnya untuk bercanda."
"Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk bercanda. Aku patah hati, Ana." Dia menegaskan kalimat terakhirnya. Tapi aku justru senang mendengarnya. "Kau pikir aku bisa berdiam diri, sedangkan aku membayangkan apa yang akan terjadi besok."
"Besok tidak akan terjadi apa-apa. Besok akan baik-baik saja." Aku tidak bisa untuk tidak terus tersenyum. Aku tidak sabar melihat bagaimana tampangnya kalau aku mengatakan bahwa aku batal menikah.
"Bisakah kau memiliki rasa empati terhadap perasaanku dengan tidak mengumbar kebahagiaanmu yang akan menjadi istri Ben? Tolong, Ana, aku cukup menderita dengan mengetahui kalau Ben yang memilikimu. Aku cukup hancur dengan mengetahui bahwa senyumanmu itu tidak akan pernah tertuju lagi padaku. Bahkan mungkin aku tidak akan sanggup bertemu denganmu lagi."
Ya Tuhan sejak kapan orang patah hati menjadi sumber kebahagianku sekarang. Tapi kenyatannya melihat Abi merana seperti ini membuat aku ingin bagi-bagi uang.
"Ana," dia menangkap kedua tanganku dan membawanya ke depan dadanya. "Kalau sekali lagi kau muncul di hadapanku sebelum secara resmi menjadi istri Ben, jangan salahkan aku jika aku bertindak bodoh. Aku tidak akan segan-segan untuk menghancurkan pernikahan kalian, atau kalau aku mau, aku akan buat kalian tidak akan menikah."
Aku dan Ben memang tidak akan menikah. Tidak akan. Aku ingin segera berteriak itu di depan wajahnya. Tapi tidak sekarang. Mungkin menikmati penderitaannya sedikit lebih lama akan sangat menyenangkan.
"Oke, oke." Ujarku. "Giliran aku yang bicara. Jangan memotong kalimatku sebelum aku selesai bicara. Kau hanya perlu mendengarkan."
"Aku tidak ingin mendengar jika yang akan dibicarakan mengenai kau dan Ben."
"Tapi memang itu yang akan aku bicarakan."
Dia berdecak diiringi hempasan tangannya melepaskan tanganku. Kemudian beranjak dari duduknya.
"Cukup, Ana. Kau kehilangan akal sehatmu. Aku tidak mau dengar apa-apa tentangmu dan Ben."
Aku menghela napas saat dia melangkah pergi. "Berhenti Bi, atau kau akan menyesal seumur hidupmu."
Dia menghentikan langkahnya dan aku menyusulnya kemudian berdiri di hadapannya. Dia benar-benar malas mendengarkanku. "Dengarakan Aku!" diriku menegaskan. "Aku dan Ben," aku menaruh telapak tanganku didepan d**a. "Besok diantara aku dan Ben, tidak akan pernah terjadi.."
Bugh
"Ben!"