Inilah Waktunya

1037 Words
Aku bergegas menuju ruang rawat inap Sera. Badanku sudah panas dingin, dan jantungku berdebar hebat. Untuk kedua kalinya aku tak ingin lagi kehilangan. Aku berbelok ke kiri melewati bagian informasi, tempat di mana perawat yang membicarakanku berada. Lalu menaiki lift menuju lantai dua. Lift seolah bergerak begitu lamban. Aku menggigit bibir bawah ku berusaha menjaga ketenangan, tapi tetap saja aku sama sekali tidak tenang. Malah semakin gugup tak terkendali. Lift berdenting, sesaat setelah pintunya terbuka aku segera keluar. Merasa kalau ruang rawat inap Sera letaknya sungguh jauh. Jantungku mencuat ke atas saat pintu kamar itu sudah terlihat dekat. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, aku memutar kenop pintu tersebut. Dan berucap dalam hati, kalau apa yang aku sangkakan tidak benar. Tapi, kita memang selalu ditampar kenyataan. Merasa dunia sama sekali tidak berpihak padaku. Semesta seolah mendukung aku untuk patah hati untuk yang kedua kali. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat pria itu, duduk di samping Sera yang berbaring di atas ranjang, dengan menyangga punggungnya oleh bantal. Dan perlahan Abi bangkit dari duduknya, kemudian mencondongkan tubuhnya pada Sera. Tanpa bisa aku bayangkan, dan tanpa diduga-duga, dia mengecup kepala wanita itu. Tontonan macam apa yang sedang berlangsung di hadapanku. Aku menggigit gigi Graham ku, wajahku mengeras. Sesaat setelah Abi mencium Sera, wanita itu seakan baru menyadari keberadaanku. Matanya membulat, lalu bisa kulihat garis tipis terbentuk di bibirnya. Seolah menatapku dengan tatapan penuh kepuasan. Aku tidak bisa menyaksikan ini lebih lama, tapi kakiku juga terasa berat untuk digerakkan. Sebelum aku tidak bisa mengendalikan perasaanku, aku harus segera kabur dari sini. Dalam pikiran, aku harus berlari kencang. Tapi, kenyataannya aku hanya menyeret kedua kakiku seperti sedang dipasung. Dengan sisa-sisa tenaga, aku keluar dari kamar ini, menutup pintunya kemudian melanjutkan melangkahkan kaki yang sangat berat. Saking tidak percayanya dengan apa yang aku saksikan, aku tidak bisa lagi mengeluarkan air mataku. Jadi, yang ada hanya sesak di d**a. Aku kembali menghela napas, sampai tak terasa kalau aku sedang ada di lobby rumah sakit. Aku mengeluarkan ponsel saat benda itu berbunyi. Nama Naya terpampang di layar. "Hallo, Nay." "Kau di mana?" "Di lobby." "Oke, tunggu. Aku ke sana." Aku mendongak, menerawang langit biru yang cerah. Ku kira aku sudah menemukan seseorang yang memang ditakdirkan untukku. Tapi sepertinya dunia masih ingin mempermainkanku. Atau aku saja yang terlalu percaya kepada bualan para pria. Tapi Abi begitu meyakinkan. Lantas, apa yang baru saja aku saksikan. Apa arti kecupan pria itu. Benar kata Naya, aku tidak boleh percaya dulu sebelum dia resmi mengganti statusnya. "An," ada yang menepuk pundakku. Naya. "Bagaimana? Sudah memastikan?" "Sepertinya kau benar. Aku harus segera waras." Naya terkikik geli. "Kalau begitu, kita pulang ke Jakarta." "Di sana sudah tidak ada yang tersisa, Nay." "Aku punya ide." Ucap Naya, dan aku terperangah menatapnya. Ide brillian apa yang sedang terlintas dipikiran Naya saat ini. *** Keesokannya, Vivi datang bersama dengan para pengawal menggunakan mobil mewah kemarin lagi. Ternyata Naya memanggil Vivi untuk datang ke sini. Katanya Naya ingin merealisasikan ide cemerlangnya bersama dengan Vivi. "Jadi, bagaimana? Bukan ide yang buruk, kan?" Vivi nampak berpikir sebentar, memandang kami dengan seksama. "Masalahnya, kau belum punya brand." "Kalau begitu, ciptakan brand, Vi." "Tidak semudah itu." "Aku mau usaha, lagipula Ana pasti sudah punya pelanggan tetap di reatorannya dulu. Tinggal promosi kembali, barangkali pelanggan Ana yang lama bisa datang kembali." "Kita mau buat apa, sih?" "Jualan es teh." Sembur Naya. Aku mengernyit bingung. "Es teh?" "Lihat di luar sana, An." Naya menunjuk ke perkebunan teh yang luas. "Kau bisa manfaatkan warisan ayahmu itu. Kebun itu bisa jadi uang." "Caranya?" Naya menghela napas, merasa jengah. "Kalau kita tidak bisa menjadi pemetik daun teh, maka kita harus menjadi penyeduh daun teh. Kita ciptakan brand es teh milik kita." "Kau pikir semua itu tidak perlu modal? Kau punya uang untuk buka usaha?" "Kau pikir untuk apa aku datangkan si nyonya miliarder ini ke sini?" Naya menunjuk Vivi yang duduk di hadapan kami, yang sedang memasang tampang bodoh. Melihat Naya tidak mengerti. "Aku? Untuk apa?" "Suntikan dana." Bisik Naya pada telinga Vivi tidak tahu malu. Aku mengusap wajah, mencoba berusaha memaklumi kelakuan Naya. "Kau kan sudah kaya raya, Vi." "Kau pikir itu uangku." Tandas Vivi. "Aku punya 800juta juga untuk membayar utang ku pada wanita ular itu." Aku menyemburkan tawa saat mendengar sebutan aneh Vivi untuk Sera. Dia memang sudah tidak sabar untuk menyelesaikan semua utang piutang itu. "Nah, begini saja. Kalau utang itu sudah kau bayarkan, otomatis Read Eat akan kembali ke tangan Ana," Naya menunjukan tangannya padaku. "Setelah semua kembali pada Ana, bagaimana kalau kau jual semua asetmu untuk buka usaha jualan es teh." Mendengar penuturan Naya membuat daguku jatuh ke bawah. Aku menganga tidak percaya. Es teh jenis apa yang Naya maksud yang modalnya harus menjual Read Eat. Dia mau buka pabrik atau apa sih. Kalau Read Eat dijual harganya pasti mahal. Melebihi utang Vivi pada Sera. Tapi, kalaupun aku mendapatkan Read Eat kembali, aku belum tentu bisa beroperasi lagi. Aku harus mulai lagi dari awal dan itu juga butuh modal baru. Kalau dipikir-dipikir ide Naya ada benarnya juga. Lebih baik aku jual Read Eat setelah itu uangnya dipakai untuk modal usaha baru. "An, kita harus kembali bangkit. Mulai lagi dari nol. Seperti dulu kau membangun Read Eat. Kau pasti bisa, An. Kalau Vivi mau, dia bisa ikut bantu kita. Aku juga akan berusaha bersama." Kata-kata Naya sangat meyakinkan. "Kau kan punya Adit. Dia bisa menyokong teh pada kita. Kemudian kita olah lagi menjadi minuman siap saji. Bagaimana?" Aku menatap Vivi meminta jawaban. Dia kan super duper brilliant. Siapa tahu dia punya masukan yang lebih bagus. "Risikonya tinggi sekali, Nay." Kata Vivi. Terdengar sangat tidak yakin. "Semua bisnis punya risiko yang tinggi. Sekarang, Ana juga sedang menanggung risiko dari bisnis itu. Nah, maka dari itu kau harus bantu kita, Vi. Kau kan punya pengalaman dalam bisnis kuliner." "Aku setuju!" Seruku tiba-tiba. Membuat kaget Naya dan Vivi. "Kalau kita tidak mencobanya, kita tidak akan pernah tahu bagaimana hasil akhirnya." Naya menjentikan jarinya. "Sekarang, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah menyelesaikan masalah Vivi dan Sera. Lunasi utang piutang terlebih dahulu." "Katanya harus menunggu wanita itu kembali pulih." "Dia sudah sangat sehat walafiat. Bila perlu sekarang juga kita selsaikan." Tandasku tajam. Aku tahu, ada nada dendam kesumat dari caraku berkata. Inilah waktunya. Aku harus kembali bangkit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD