Sebuah kesepakatan

1025 Words
Tanpa didampingi pengacara, aku, Naya dan Vivi pergi ke rumah sakit untuk menemui Sera. Semua harus selesai hari ini juga. Kami bertiga berjalan bersamaan di koridor rumah sakit bak pahlawan kesiangan, diikuti oleh tiga body guard Vivi yang tinggi dan besar. Kami persis seperti pasukan Charlie's Angel. Kami sampai di depan ruang rawat inap Sera. Dan saat Naya mengetuk pintu itu, dadaku bergemuruh hebat. Aku menarik napas agak dalam, menyokong oksigen banyak-banyak ke dalam paru-paru. Siapa tahu saja di dalam aku sesak napas. Begitu pintu itu dibuka, aku masih dalam keterpanaan. Sudah berapa lama aku pergi. Sepertinya sudah lama sekali. Tapi pria itu masih saja betah ada di sini. Membuat keputusanku semakin bulat. Vivi berjalan dengan stilletonya membentur lantai. Dia sudah sangat mahir menggunakan sepatu hak tinggi itu. Sepertinya dia sudah sangat nyaman. Perubahannya sudah mendarah daging. Naya dan Vivi berdiri di depan Sera yang kini duduk di atas ranjang. Abi terkesiap, menatap kaget padaku, Vivi, dan Naya. Kedua tangan Naya terlipat di depan d**a. Berdiri menantang Sera. Dia itu sedang apa sih. Mereka persis seperti anak sekolah yang sedang terlibat perkelahian. Vivi menaikan kaca mata hitamnya ke atas kepala, lalu tersenyum menatap Sera. "Hai, Ser." Sapanya sok akrab. "Bagaimana keadaanmu? Sudah sehat? Asyik berseluncur ke jurang?" Astaga, Vi. Aku mengatupkan bibirku menahan tawa. Jahat rasanya kalau harus terbahak di tengah penderitaan orang lain. Sementara yang diajak bicara hanya diam menatap heran pada Sera. "Oya, aku lupa." Vivi menepuk keningnya dengan berlebihan. "Perkenalkan," Vivi mengulurkan tangannya ke depan wajah Sera. "Aku, Vivian Demara." Seketika mata cantik Sera membulat sempurna. Ternyata dia juga syok berat. Aku masih menahan tawa melihat adegan ini. Sungguh tontonan yang sangat luar biasa. "Kau masih ingat aku?" Tanya Vivi menunjuk ke dirinya sendiri. "Tentu saja, ingat. Kau pasti tidak akan pernah melupakan orang yang berhutang padamu. Dan tujuanku datang ke sini, selain untuk melihat keadaanmu. Aku juga ingin membayar hutang ku. Berapa? 800juta?" Vivi mendekatkan wajahnya pada Sera. "Atau kau mau bunga lebih menjadi 1 miliar? Boleh." Vivi mengangguk. Kemudian membuka retsleting tasnya, merogoh sesuatu di sana. Kemudian mengeluarkan satu lembar kertas dan pulpen. "Kau bisa tuliskan di sini, berapa yang kau inginkan." Ternyata Vivi memberikan sebuah cek kepada Sera. Gila! Dia sudah jadi Sultan rupanya. Wajah Sera terperangah. Dia terkejut bukan main. Melihat Vivi dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Setelah kau tuliskan berapa nominal yang kau inginkan. Kau harus mengembalikan semua jaminan yang aku berikan kepadamu. Berikan itu pada Ana. Karena semua itu miliknya. Bukan milikmu." Nada bicara Vivi sangat angkuh. Dan dia menekan kata 'bukan milikmu' di sana. Lalu matanya melirik Abi yang tepat berada di sampingnya. Bukannya mengambil cek tersebut. Wanita itu justru menganga di tempat seperti patung lilin. Dia diam seribu bahasa. Tapi selang detik berikutnya, dia berdehem. Sekuat tenaga menguasai dirinya. Mengangkat dagunya ke atas. Tak ingin terlihat terintimidasi. Kemudian membenarkan rambutnya. Baru saja dia akan membuka mulut, tapi suara Abi menginterupsi. "Ini ada apa?" Vivi dan Naya menoleh ke atas Abi. Dan aku juga melihatnya. Posisiku yang ada di seberang dirinya memang lebih leluasa melihatnya. "Seperti yang kau dengar," ucap Naya. "Sera adalah orang yang memberi hutang kepada Vivi dengan meminta jaminan restoran milik Ana. Wanita ini, sengaja melakukan itu untuk membuat Ana bangkrut. Ya, seperti yang kau tahu. Usahanya berhasil. Sekarang Ana sudah resmi menjadi yatim piatu yang miskin. Dan juga, berhasil kehilangan cintanya." Naya menyunggingkan ujung bibirnya. Aku hanya bisa menghela napas, dan menepuk keningku. Apa-apaan sih mereka. "Melihat dari ekspresi wajahmu, kau sama sekali tidak mengerti." Timpal Vivi. "Pada saat itu aku memang butuh uang. Kemudian tiba-tiba saja orang ini datang padaku menawarkan sebuah pinjaman. Lalu dia memberikan ide yang sangat brillian. Yaitu, da ingin restoran Ana sebagai jaminan. Dan dia juga yang membantuku memalsukan semua tanda tangan Ana. Ya, pada saat itu aku yang sangat butuh uang, mengambil kesempatan itu. Tanpa tahu apa tujuan dari wanita ini. Sekarang aku sudah punya uang. Dan aku akan menebus semuanya." Sangat jelas kalau saat ini Abi sedang ditampar kenyataan. Kenyataan bahwa wanita yang dia cintai selama ini, begitu keji. Abi kehilangan kata-katanya. Jadi yang dia lakukan sekarang adalah membuka dan menutup mulutnya. Aku tidak pernah membayangkan kalau semua ini harus terbongkar di saat Sera masih terkapar. Oh tidak, wanita ini sudah kembali sehat. Jadi, aku tidak perlu merasa bersalah. "Oke, kami tidak ada waktu untuk terlalu lama birokrasi. Sepertinya kau masih dalam kondisi syok. Jadi, lebih baik aku tuliskan saja berapa nominalnya." Ucap Vivi tidak menunggu jawaban dari Abi. Kemudian Vivi menuliskan sesuatu di atas cek tersebut. "800juta. Pokok piutang nya, beserta bunganya sesuai perjanjian." Vivi membentangkan kertas putih tersebut. Belum selesai sampai disitu. Vivi mengeluarkan sebuah dokumen. Kemudian menyodorkannya ke pangkuan Sera. Bahkan wanita itu belum mengeluarkan satu patah katapun. "Ini surat perjanjian pelunasan utang piutang. Kau tanda tangan di sini sebagai bukti kalau aku sudah melunasi utangku." Vivi menyodorkan pulpen pada Sera. Tapi wanita itu malah menatap kesal pada Vivi. Karena tidak ada pergerakan apapun dari Sera, Vivi menjejalkam pulpen tersebut ke telapak tangan Sera. "Please, Ser. Aku tidak punya waktu lagi untuk menunggu. Jadi, cepat kau tanda tangan di sini." Dan akhirnya dengan wajah yang menjengkelkan, wanita itu membubuhi tanda tangannya juga di atas materai. "Oke, nanti sisanya pengacara ku yang akan mengurus. Untuk mengambil semua jaminannya." "Aku punya permintaan." Desis Sera setelah diam begitu lama. "Oke," jawab Vivi mantap. Lalu memasukan kembali dokumen berharga itu ke dalam tas. "Kau bisa minta apapun. Katakan saja." Sera mengulas senyum tipis di wajahnya yang cantik. Tatapannya berubah garang dan tajam. Menatap Vivi, Naya, dan terakhir menatapku. Dan ini lebih lama. Kemudian tatapannya beralih pada Abi. Pria itu masih berdiri di sana, dan masih membisu. Aku punya firasat yang tidak enak dengan permintaan Sera. Apa yang dia mau. Pasti sesuatu yang bisa menguntungkan nya. Wanita itu mengembuskan napasnya, lalu menyelipkan rambut ke belakang telinga dengan gaya yang anggun. "Permintaanku sangat mudah," katanya. Dan aku memasang telingaku agar tidak salah dengar. "Aku akan mengembalikan semua yang telah aku ambil dari Ana." Ujarnya serius. "Asalkan, dia kembalikan juga apa yang sudah menjadi milikku." Keningku berkerut bingung. "Maksudnya?" Tanyaku cepat. "Abyan." Katanya. "Kembalikan Abi padaku, dan aku akan mengembalikan restoranmu." Hah? Dia benar-benar sudah tidak waras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD