Setelah memastikan kalau Sera sudah benar-benar pergi. Aku berlari menuju dapur, membuka kulkas lalu mengeluarkan air minum dalam botol. Tenggorokanku kering, sampai-sampai tidak terasa aku menandaskan isinya.
Untuk membuat diriku lebih tenang lagi, aku membasuh wajahku. Saat sedang mengeringkan air di wajah dengan handuk basah terdengar suara ketukan di pintu. Jantungku langsung loncat ke kerongkongan. Jangan-jangan wanita itu datang lagi.
Tadinya aku berencana untuk tidak membukakan pintu, tapi ketukan itu terus berbunyi. Jadi, aku putuskan untuk membukanya saja dengan hati-hati. Sebelumnya aku memeriksa kembali lewat jendela. Itu bukan Sera. Juga tidak ada kendaraan apa-apa yang terparkir di depan rumah. Mungkin itu tetangga atau siapa.
Orang itu kembali mengetuk pintu rumah. Lalu perlahan aku membukakan pintu. Tidak semuanya. Hanya sedikit, hanya kepalaku saja yang menyembul.
"An," tiba-tiba orang itu memajukan wajahnya tepat di depan wajahku. Reflek aku menampar wajah itu, lalu dia mengaduh.
"Abi?" Ya, aku mengenal suara itu.
"Sakit, Ana." Umpat nya.
"Astaga! Kau mengagetkanku saja." Bukannya minta maaf, aku justru memaki.
Dia berdecak sebal sambil mengusap wajahnya yang kena tampar. Pasti sakit sekali.
"Siapa suruh kau menyembulkan kepalamu seperti itu." Gerutunya.
"Kau sendiri kenapa tidak mengucapkan salam. Ku kira kau orang jahat." Padahal ketakutanku karena Sera bertandang ke rumahku. Tapi aku tidak mungkin cerita padanya soal ini.
Seringaian jahilnya mendadak muncul di wajahnya di tengah-tengah hujan lebat. Rambutnya lepek seperti habis keramas. Dia basah kuyup.
"Kau tidak akan membiarkanku masuk? mau membiarkanku mati kedinginan di luar?"
Aku memutar bola mata lalu menyampingkan badanku, membiarkan dia dengan leluasa masuk ke dalam rumah.
Aku pergi ke belakang, ke laundry room untuk mengambil handuk bersih dan memberikannya pada Abi, untuk mengeringkan badannya yang basah. Lalu menuntunnya ke kamar mandi agar dia bisa membersihkan diri.
Aku tidak bertanya tujuannya datang ke rumahku malam-malam begini, hujan pula. Aku membiarkan dia mengeringkan tubuhnya dulu, sementara aku mencari baju yang memang pantas untuknya. Bingung juga harus meminjamkan baju seperti apa.
Setelah beberapa menit mencari baju ganti akhirnya aku menemukan piyama ungu pastel yang baru saja aku beli lewat daring. Sengaja belum aku pakai karena ukurannya ternyata jumbo sekali. Dan juga piyama ini memiliki jenis yang bisa dipakai oleh berbagai jenis kelamin. Hah, kebeteluan yang begitu sempurna.
Aku memberikan piyama ini pada Abi, usai dia membersihkan diri. Dan detik berikutnya aku mendengar suara melengking di dalam kamar mandi.
"What??? Anaa!"
Aku tergagap di tempat. Abi ke luar dari kamar mandi dengan wajah menggeram.
"Ada apa?" Tanyaku was-was, melihatnya ketar-ketir.
"Tidak ada warna yang lebih unyu lagi daripada ini?"
Nah, benar dugaannku. Pasti dia akan bermasalah dengan warnanya. Aku terkekeh sambil mengaduk ramuan jahe merah dalam gelas kaca. Walau dia protes, tapi menurutku dia justru sungguh memukau mengenakan setelan piyama dengan warna ungu pastel.
"Ini bukan hotel, jadi pakai saja apa yang ada. Lagipula tidak ada pakaian laki-laki di sini."
Dia mengerutkan bibirnya, lalu melempar handuk padaku dengan kurang ajar. Aku mendelik, lalu menggantungkan handuk di jemuran yang menempel di tembok. Laundry room dan dapur memang aku jadikan satu ruangan, agar tidak terlalu memakan tempat. Dan juga agar aku bisa menjemur pakaian tanpa takut kehujanan, ketika keluar rumah.
"Apa ini?" Abi mendekat. Memerhatikan ku.
"Oh, ini jahe merah madu, untuk menghangatkan tubuhmu."
Dia menatap heran seolah sedang berpikir sesuatu. Memandang pada teko kemudian padaku secara bergantian.
"Kalau untuk menghangatkan badan, begini caranya." Dia menyunggingkan ujung bibirnya.
Detik itu juga Abi memerangkap tubuhku dari belakang hingga aku tidak bisa melakukan gerakan apapun. Aku baru akan membebaskan diri saat ku rasa cengkeraman kedua tangannya semakin erat. Wajahnya tenggelam di pundakku, serta embusan napasnya terasa begitu berat menerpa kulit leherku.
Sesaat aku bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekadar pelukan ringan. Pelukannya seakan-akan sedang mengeluarkan beban berat di dalam dirinya. Dia seolah sedang menumpahkan segala sesuatu yang sedang tercokol di dalam dirinya.
Maka dari itu aku memutuskan membiarkan kami dengan posisi kami seperti ini. Sampai dia bisa bernapas secara normal.
"Bagaimana aku bisa melepaskannya, An?" suaranya terdengar parau. "Aku tidak ingin kehilangan Rey, apa aku egois?" mataku mengerjap berkali-kali. Apa dia sedang membicarakan Sera. Sepertinya begitu.
"Tidak, Bi." Jawabku. "Semua orang tua pasti akan melakukan hal yang sama sepertimu. Tidak ada seorang ayah yang ingin kehilangan anaknya."
"Ben juga pasti akan begitu," suaranya lemah. Aku membungkam bibirku dengan cara mengulum nya. Merasa kalau aku sudah salah bicara. "Dia pasti tidak ingin kehilangan Rey. Dan akan mengajukan hak asuh Rey, jika masalah ini sampai ke persidangan." Lanjutnya. "Kecuali, kalau aku mengalah kepada Ben, atau juga Sera."
Aku menyipitkan mata. "Mengalah bagaimana?" tanyaku. Tapi, setelah beberapa saat aku tidak mendengar jawaban apa-apa darinya. Abi seolah jadi bisu.
"Kau bisa cerita apa saja padaku, Bi. Yaa di sinilah fungsiku untukmu." Ucapku lagi setelah beberapa saat tidak ada suara darinya.
Secara bersamaan Abi melonggarkan pelukannya, lalu membalikan badanku menghadapnya. Agak terkejut melihat matanya memerah dan sedikit basah. Dia menangis?
"Masalahnya justru semakin rumit. Bahkan aku nyaris berjalan di jalan yang buntu, An." Sorot matanya meredup. "Kupikir apa yang aku lakukan sudah benar. Tapi ternyata malah aku yang serba salah. Aku sudah terbiasa bersama Rey. Walaupun dia bukan bukan darah daging ku. Tapi, aku membesarkannya sejak dia dilahirkan."
"Kau tidak akan kehilangan Rey." Aku berusaha memanangkannya. Tapi dia malah tersenyum getir.
"Apa aku bilang An, aku serba salah."
Aku menghela napas panjang. Aku memang belum mengerti seperti apa persisnya yang terjadi saat ini. Tentang posisi dia yang serba salah, dan takut kehilangan Rey.
Entah bagaimana caranya, tanpa diperintah kedua tanganku terangkat merangkum wajahnya, dan secara otomatis menundukan pandangannya. Kulitnya sedikit kasar karena bulu-bulu janggut yang belum di cukur. Sepertinya di memang melupakan kegiatan ini.
Dia menyorotiku dengan tatapannya yang tepat berada di bawahnya. Aku bisa tahu ada kesedihan di dalam sana. Saat ini mungkin Abi membutuhkanku sehingga dia lari ke rumahku di tengah guyuran hujan lebat. Sebelum aku membiarkan diriku berpikir lagi, aku sudah menarik wajahnya ke bawah dan menciumnya di bibir.
Aku melakukannya selembut mungkin. Seolah tak ingin menyakitinya. Aku hanya ingin membuat bebannya terangkat. Walau hanya sedikit, dengan caraku. Abi terkesiap dan terkejut, dan sesaat dia menyadari bahwa aku benar benar menciumnya. Tanpa meminta izin, dia langsung memiringkan kepalanya agar posisi kami lebih pas dan membalas ciumanku.
Mungkin aku bisa menanyakan alasan dia berkunjung setelah ini.