Abi mengecup singkat keningku setelah kami mulai kehabisan napas oleh ciuman, yang awalnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan nafsu. Tapi lama-lama menjadi terburu-buru dan menginginkan lebih. Seolah tidak ada waktu lagi untuk kami melakukan hal ini.
Tangannya terulur ke belakang tubuhku, mengambil satu gelas kaca berisi jahe merah madu. Lalu tangannya yang bebas menarik tanganku untuk duduk di sofa depan televisi. Sudah aku bilang, rumah ini berukuran kecil jadi ruang tamu dan ruang untuk menonton televisi ada di satu tempat. Sengaja aku tidak menyekatnya karena akan membuat rumah semakin sempit.
"Aku akan pergi setelah hujan reda."
Ucap Abi. Padahal aku sama sekali tidak mengusirnya. Namun aku mengangguk kecil menyetujui.
"Jadi, habis dari mana kau malam-malam begini? Hujan deras pula."
Hujan diluar masih turun berderai-derai.
"Aku habis bertemu Pak Haris Hutapea. Kantornya di ruko perumahan ini."
"Siapa?"
"Pengacara." Abi menyesap jahe merah madu dengan perlahan. "Aku sedang mencoba menyelesaikan masalah perceraianku dengan Sera tanpa harus kehilangan Rey."
Tidak terasa senyumku terbit begitu saja ketika mendengar kata perceraian. Oh tidak. Perempuan macam apa aku ini.
"Kenapa takut kehilangan Rey?"
"Sera tidak mau bercerai denganku, dia mengancam akan mengambil hak asuh penuh atas Rey kalau sampai kami bercerai. Sudah dipastikan dia akan menang di pengadilan. Karena dia ibu kandungnya."
Aku menyipit menatap Abi. Jadi, rasa serba salah yang dia rasakan saat ini karena ancan dari Sera. Pantas Abi terlihat begitu kusut wajahnya.
"Kenapa dia tidak mau bercerai denganmu? Bukannya seharusnya dia bersama dengan Ben?"
Abi menggeleng lemah lalu memandangku sejenak. "Aku sendiri juga bingung kenapa dia berencana membangun keluarga bersamaku, bukan bersama Ben."
Tawa meremehkan keluar dari mulutku. Aku tahu. Benang merahnya sudah mulai terlihat sekarang. Sebelum raganya benar-benar hadir di kehidupanku, dia mengacaukan hubunganku dengan Ben. Sekarang,dia mengacaukan hubunganku dengan Abi.
Kenapa dia tidak berlari kepada Ben. Kepada laki-laki yang sudah menghamilinya, dan selama bertahun-tahun lamanya ternyata Ben masih menyimpan rasa cinta untuknya, dan mau membayar segala kesalahannya di masa lalu. Kalau dia punya cinta kepada Abi, kenapa tidak dari dulu saja dia melakukannya. Kenapa harus sekarang, setelah Abi bersamaku.
Seharusnya Sera membangun keluarga kecil bersama Ben, bukan bersama Abi. Kalau dia mau membangun rumah tangga bersama Ahi kenapa tidak dari dahulu kala, kenapa baru sekarang setelah aku jatuh cinta pada Abi. Haahh kenapa segalanya malah jadi rumit.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Aku ingat apa yang dikatakan Naya lewat telepon tadi. Apa mungkin sikapnya yang membingungkan ini ada hubungannya dengan penyakit yang dia alami saat ini.
Tapi, apa bipolar disorder juga mempengaruhi perasaan cinta pengidapnya. Maksudnya, seharusnya dia mencintai Ben, tapi karena dia 'sakit' jadi dia malah mencintai Abi. Tapi ku rasa tidak. Cinta tidak pernah salah tempat. Waktunya mungkin yang kurang tepat.
Kemungkinan besar adalah perasaan Sera kepada Ben berubah. Wanita itu justru jadi jatuh cinta kepada Abi. Dan ini gawat. Bagaimana mungkin..
Mataku mendelik pada Abi yang sedang santai menghabiskan jahe merah madu sambil memeriksa ponselnya. Bagaimana bisa dia se santai ini. Aku tidak mungkin membiarkan Sera mengambil pria ini dariku. Bila perlu, perang denganku sekalian.
"Kau tenang saja. Aku sedang berusaha. Berjuang untuk kita." tiba-tiba dia mengusap lembut kepalaku, seolah tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini. Aku tersenyum kaku. Aku yakin seribu persen kalau dia memang benar-benar bisa membaca pikiranku.
"Sejak awal semua ini salahku. Andai saja aku jujur pada Ben, kalau Sera melahirkan anaknya. Dan aku membawa Rey kepada keluarga Ben. Awalnya mungkin akan sulit, tapi tante Farida pasti akan menerima Rey dan merawat Rey dengan sangat baik. Dengan begitu, sekarang aku tidak akan kelimpungan takut kehilangan Rey."
Aku mengusap kening berusaha mencerna situasi saat ini. Tapi satu pun tidak berhasil membuat otaku menjadi jernih. Justru hanya membuat daftar penyelesaian masalah milikku jadi bertambah. Yang mana dulu yang harus aku selesaikan. Aku juga tidak tahu. Semua kacau balau semenjak wanita itu menunjukan eksistensinya di hidupku. Seharusnya dia mati saja. Astagfirullah, jangan menyumpahi orang seperti itu. Kualat nanti.
Apa aku bilang saja pada Abi kalau Sera mengidap bipolar disorder. Siapa tahu ini menjadi bahan pertimbangan hakim untuk memenangkan hal asuh anak. Tapi tunggu.. Apa cara ini dibenarkan?
"Bi, tadi Naya telepon aku. Dia mengatakan sesuatu tentang Sera padaku." Ucapku hati-hati. Menatap Abi lekat-lekat.
"Tentang apa?"
"Naya itu psikolog. Dan dia bekerja di klinik milik Emma, seorang psikiater. Naya bilang tadi siang Sera datang ke klinik Emma. Dan Naya bilang.." aku menarik napas agak dalam lalu mengembuskannya sebelum berkata. "Sera mengidap bipolar disorder."
Abi terhenyak, memundurkan tubuhnya. Wajahnya terkejut parah. "Bip.. Bipolar?" katanya agak kasar.
"Naya bilang Sera menolak diobati, jadi bisa saja penyakitnya itu membahayakan dirinya dan orang lain," Mata Abi mulai bergerak ke mana-mana. Fokusnya bukan padaku lagi. "Kalau pengadilan tahu bahwa mentalnya teeganggu, bisa jadi.."
"An, mana kunci mobilmu?"
Abi berdiri mendadak membuatku kaget. Aku juga ikut berdiri panik
"Aku kan sudah menjual mobilku."
"Shiiit."
Apa? Apakah baru saja dia mengumpat padaku.
Abi bergerak ke sana kemari entah mencari apa. Membuat aku juga mengikuti gerakannya, yang intensitasnya semakin cepat.
"Bi, ada apa?"
"Dompet." Abi berseru, seakan akan sebuah ingatan baru saja kembali. "Dompetku mana?"
"Di.. Di celanamu mungkin."
Dia beringsut pergi menuju dapur, mengacak-ngacak tumpukan baju kotor di keranjang pakaian. Lalu setelah dia menemukam dompetnya, dia kembali berlari. Kini keluar rumah. Dia berhenti sejenak, lalu menyusupkan kelima jemarinya ke rambutnya, menariknya ke belakang kemudian mengerang.
Aku cepat-cepat mengunci pintu begitu melihat Abi tanpa aba-aba menerobos hujan tanpa penghalang. Aku berniat menyusulnya, tapi aku masih waras untuk mengambil payung ukuran besar di pojok dekat pot-pot bunga milikku.
"Bi, kau mau ke mana?" dengan sekuat tenaga aku mengimbangi langkah kaki Abi yang berjalan cepat-cepat. Kesusahan memayungi tubuhnya yang tinggi, dan basah kuyup lagi.
Dia tidak menjawab. Hanya bisa diam sambil sesekali memeriksa ponselnya. Sedikit terlihat nama Sera di sana sebelum dia menempelkan ponselnya di daun telinga.
"Bi, jawab aku. Kau ini kenapa?"
"Shiit." Bukannya menjawab pertanyaannya, dia malah kembali mengumpat. Sepertinya nomor yang dituju tidak menjawab sehingga Abi kembali menghubungi nama yang sama.
Aku langsung mengimbangi langkahnya begitu aku tertinggal. Abi tidak peduli yang bahunya kini semakin basah oleh air hujan. Dan aku juga tidak menyerah untuk memayunginya seperti Paspampres.
Saat aku dengan sisa-sisa tenaga yang ku punya berusaha untuk tetap sejajar, dengan tidak tahu waktu sandal jepit yang kupakai lepas. Dan di saat yang bersamaan aku tahu kalau Abi kini bertelanjang kaki. Aku melihatnya dengan kaki yang memucat.
"Bi, tunggu." Aku tidak sempat mengambil kembali sandal jepit itu, jadi aku biarkan saja dia tergeletak kehujanan di jalan.
"Abi, please berhenti. Jelaskan padaku ada apa? Kau mau ke mana?"
"KAU BISA DIAM TIDAK?!"